SO - BAB 25
Ryan memejamkan mata dan menunggu Diana mengenakan kembali pakaiannya. Ryan tak mendengar pintu kamar mandi yang terbuka dan Ryan berpikir Diana mungkin masih di sini untuk mengenakan pakaiannya. "Sudah?" tanya Ryan saat merasakan kasur bergerak turun. Ia sudah memejamkan mata setidak-tidaknya dua menit.
Kedua kelopak mata Ryan terasa disentuh. Ryan membuka mata dan menemukan Diana yang telah menindihnya. Wanita itu tersenyum dan Ryan membalasnya. Ia menarik Diana untuk memeluk, namun ia mengernyit ketika ia merasakan lembut di tangannya. Ryan menurunkan pandangannya dan menemukan tangannya yang berada di pantat telanjang Diana.
Ryan mengerang. "Kenapa kau tidak berpakaian lengkap?"
Diana telah mengenakan kaosnya namun membiarkan bagian bawahnya tertutup celana dalam saja. Astaga, apakah dada menggantung di depan mata Ryan ini punya pelindung lain di dalamnya?
"Kau tidak suka?" tanya Diana.
"Aku terlalu suka," sinis Ryan. "Kenakan celanamu, Diana."
"Aku tidak mau memakai jins."
"Bukalah ranselmu dan temukan celana lain. Jangan coba-coba menggodaku," gerutu Ryan.
Diana tertawa. "Aku memang sedang menggodamu, Tuan Archer."
Ryan mendengus rendah. Ia menatap ke paha telanjang Diana yang mau tidak mau membangkitkan gairahnya. Ryan memejamkan matanya lagi. "Diana, aku serius!"
"Aku juga," kata Diana polos. Ia mengecup kedua mata Ryan hingga terbuka. Astaga, wajah polos tanpa riasan itu juga menggoda Ryan. "Apakah aku kurang... uh... seksi?"
Ryan menaikkan alisnya. "Kurang seksi? Kau bercanda? Aku ingin menerkammu saat ini juga!"
Diana tertawa lagi. Ia menjatuhkan tubuhnya di samping Ryan. Meletakkan kepalanya di lengan Ryan. "Kalau begitu, terkam aku."
Ryan memiringkan tubuhnya dan meraih wajah Diana memberi kecupan di wajah wanita itu. "Diana, aku baru saja menyakitimu. Bercandamu sama sekali tidak lucu. Aku tidak mau membuatmu menangis lagi."
Diana menatap Ryan. "Aku baik-baik saja, Ryan. Aku... mencoba memperbaiki keadaan. Juga... memastikan, apakah kau sudah kembali? Ternyata kekasihku masih di sini. Menyentuhku dengan cara menghormatiku."
"Setelah ini aku akan menyentuhmu secara harfiah, Sayang. Aku serius, kenakan celanamu."
"Tidak," tegas Diana. "Aku ingin terbuka untukmu."
Ryan menghela napas. "Astaga, kau keras kepala sekali. Apakah kau tidak takut setelah apa yang kulakukan padamu?"
Diana menggeleng. Ia menyunggingkan senyumnya. "Aku selalu merasa terlindungi ketika bersamamu. Kupikir... aku bisa memperbaiki suasana hatimu."
"Dengan telanjang?" Ryan tertawa. Wanita ini lucu. Sekejap saja Ryan bisa melupakan apa yang terjadi pada dirinya beberapa jam yang lalu. Keras kepala wanita ini, lembutnya wanita ini, tubuh telanjangnya―semua mampu mengalihkan pikiran Ryan. Ia berbohong jika berkata tak terhibur. Ryan sangat suka Diana telanjang, meski ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan diri. "Astaga, aku ingin mengeluh dan bersyukur sekaligus. Taktikmu curang. Kau melemparkan kemarahanku dengan cara telanjang. Pokoknya, jangan paksa aku melakukan hal lain."
"Seperti?"
"Seks!" tukas Ryan.
Diana tertawa.
"Aku serius," gerutu Ryan. "Jika kau merengek padaku untuk itu, aku tak yakin bisa menahan diri."
"Aku yakin kau bisa." Diana tersenyum. "Lagipula, bukankah kau senang seperti ini? Aku terbaring di sampingmu dan... telanjang."
Ryan menelan ludah dan memaksakan matanya berada di wajah Diana. Ekspresi polos itu jelas mampu meredam hasrat Ryan. Ia tahu Diana jauh dari kata tersentuh dan Ryan bertekad untuk tidak menjadi bajingan. "Satu pertanyaan. Apakah kau mengenakan bra?"
Mata Diana menatap Ryan tanpa dosa. "Tidak."
Ryan mendengus. "Bagus. Kau memang berusaha menggodaku."
"Apa itu? Keluhan atau pujian?"
"Keduanya."
Diana tertawa lagi.
Ryan ikut tertawa melihat tawa lepas Diana. "Kau cantik ketika tertawa."
"Yang itu rayuan?"
"Ya." Ryan terkekeh.
"Kau berharap aku memberimu apa untuk rayuan itu?"
Tawa Ryan reda. Ia membelai pipi Diana dan sejenak suasana intens mengungkung mereka. "Menikah denganku bulan depan."
"Apa?" Diana bangkit dari posisinya dan terduduk. Ia menatap Ryan tak percaya. "Bulan depan?! Kau bercanda?!"
Ryan mengikuti posisi Diana. Tanpa sadar pandangannya terlempar ke paha Diana. Ryan mengerang seraya menutup mata, kemudian kembali ke wajah Diana. "Tidak. Aku tidak bercanda. Apakah ada yang salah? Kupikir kau mau menikah denganku dan kau mencintaiku."
"Memang!" tukas Diana. Ia menangkup dahinya seolah berpikir keras. "Tapi bulan depan! Aku sangat mencintaimu, tapi kita tak pernah membicarakan tanggal atau pertunangan resmi atau apapun sebelumnya. Apa yang membuatmu tiba-tiba menentukan waktunya? Apa karena aku telanjang?"
Ryan mengernyit. "Pertanyaanmu retoris."
Diana mengangkat kedua alisnya.
"Ya, karena kau telanjang dan aku menginginkanmu. Tidak, bukan itu alasan utama yang kupikirkan ketika memintamu menikah denganku bulan depan."
"Lalu?"
"Karena aku mencintaimu. Aku ingin mengikatmu dengan utuh. Kau milikku. Aku ingin menjadikannya resmi. Aku hanya... merasa ini sangat salah. Tak adil bagimu. Maksudku, kau menyenangkanku dengan banyak hal, dan..." Ryan melirik paha terbuka Diana. "Dan telanjang." Ryan meringis. "Diana, kau segalanya. Aku tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata lagi. Aku hanya membutuhkanmu. Tidakkah kau mengerti perasaan itu?"
Pipi Diana merona dan Ryan masih menganggap hal itu menggemaskan. Kemudian senyum Diana muncul. Diana menjalankan tangannya ke pipi Ryan untuk membelai. "Kurasa aku merasakan hal sama."
Ryan tersenyum lega. "Bagus. Kupikir itu jawaban, ya, untuk bulan depan."
"Dengan satu syarat." Diana tersenyum manis.
Ryan mengernyit. "Kau tidak meminta syarat ketika aku melamarmu."
"Sekarang aku minta syarat."
Ryan mengendikkan bahu. "Oke."
"Makan malam bersama ayahmu dan Callie."
"Apa?" gumam Ryan. Ia mencerna kata-kata Diana, kemudian melepaskan sentuhannya pada Diana. "Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau menjalani apapun dengan wanita itu."
"Namanya Callie. Callista... West."
"Aku tak peduli!" tukas Ryan. Ia bangkit dari ranjang dan berjalan mondar-mandir tanpa mau menatap Diana. Meski begitu, Ryan merasa tatapan polos tanpa dosa terus mengikuti gerak-geriknya. "Astaga, Diana, mintalah sesuatu yang masuk akal untuk syarat pengantin. Keliling dunia, pesta mewah, berlian, rumah. Apapun! Kau hanya minta satu dan kenapa harus hal itu―makan malam?!"
Ryan merasakan emosinya kembali naik, namun yang mengherankan, ini tidak sama seperti tadi. Mungkin ini efek yang Diana berikan ketika berada di sekitar Ryan, namun Ryan juga ragu. Ryan tadi juga sangat emosi hingga nyaris menyakiti Diana. Demi Tuhan, harusnya Diana tahu betapa marahnya Ryan tadi. Kenapa Diana menginginkan sebuah makan malam bersama wanita yang telah membuat William berpaling dari mendiang ibunya?
"Ryan," panggil Diana pelan. "Callie tidak bersalah. Maksudku, mereka saling mencintai. Kau tidak bisa menyalahkan mereka."
Ryan merangsek mendekati Diana. Wanita itu terlihat waspada meski bergeming. "Diana, aku memang mencintaimu, tapi aku tidak bisa memenuhi keinginanmu yang satu itu. Aku tak peduli jika Will ingin bersama wanita itu. Aku rela melepas nama belakangku. Aku hanya perlu satu langkah lagi untuk membawa Emily bersamaku."
Diana menggeleng muram. "Sekarang kau bahkan tak memanggilnya ayah."
"Aku tidak memanggil pengkhianat dengan sebutan ayah."
Diana mengulurkan tangannya untuk memeluk Ryan. Entah bagaimana sentuhan itu seperti menghipnotis Ryan hingga membuatnya tenang. Wajah Diana selalu membuatnya tenang. Diana seperti katalis untuk dirinya. "Ini tidak adil bagi ayahmu, kau tahu. Dibandingkan kehilangan putra-putrinya, aku yakin ayahmu lebih memilih berpisah dengan Callie. Kenapa tak memberi mereka kesempatan?"
Rahang Ryan keras. Ia ingin memberontak, tapi Diana menahan emosinya supaya tidak melewati batas. Ryan tak mau melewati batasnya hingga menyakiti wanita yang dicintainya.
"Bisakah kau bayangkan jika kita... berpisah? Karena sebuah keharusan? Karena kita tidak bisa mengorbankan hal yang sama pentingnya?"
Ryan menatap mata gelap Diana. Tidak, ia tidak bisa. Ryan rela menempuh beragam resiko untuk menanggung kedua hal yang berjalan berlawanan. Ryan mungkin sanggup meninggalkan Diana demi sebuah kebaikan―meninggalkan Diana supaya terbebas dari keluarga Salendra, misalnya. Tapi Ryan tidak yakin dirinya akan utuh lagi.
"Aku hanya ingin kau menerimanya. Itu saja," kata Diana. Ia menelusuri kerutan dalam di dahi Ryan hingga pria itu menghembuskan napas. "Aku juga tak mau kebahagiaan pernikahan kita berkurang dengan ayahmu yang tidak bahagia. Bebaskan ayahmu dari kebimbangan ini, Ryan. Biarkan dia menjalani hidup. Lepaskan dia dari rasa sepinya. Ia juga butuh seseorang. Seperti aku membutuhkanmu, kau membutuhkanku."
Ryan mencium bibir Diana dengan perasaan putus asa. Semua kata-kata Diana adalah kebenaran. Ryan telah runtuh karena menyerahkan diri pada cinta dan obsesinya. Ya Tuhan, Ryan tak pernah merasa seperti ini dalam hidupnya. Ryan tak yakin apakah ini yang ibunya inginkan, tapi rasanya sulit sekali menolak keinginan Diana.
Diana melepaskan ciuman mereka, menempatkan dahi mereka bersentuhan. "Tidak perlu cepat-cepat, aku tahu ini berat. Tapi... maukah kau memikirkannya?"
Ryan memundurkan tubuhnya. Segala hal dalam hatinya meluap-luap. Sakit hatinya di masa lalu, cintanya untuk Diana, hasrat yang besar untuk mengambil masa depan bersama. Ryan ingin membaginya pada Diana seolah wanita ini menjadi magnet yang memaksanya untuk berbagi. Ryan tak pernah merasa dimengerti hingga seintens ini. Hanya Diana yang mampu melakukannya dan tekad Ryan sudah bulat untuk segera memiliki Diana.
"Diana, kau sudah mendengar banyak ceritaku. Bagaimana aku tumbuh tanpa seorang ayah, kau tahu aku tak pernah mau memanggil Adrian ayah. Aku... menganggap diriku putra William Archer sejak ia mengajukan diri untuk menjadi temanku.
"Awalnya aku menganggapnya sahabat, tapi seiring berjalannya waktu, aku meniru banyak hal dari Will. Aku tak pernah punya sosok seorang ayah untuk ditiru. Aku melakukan semua hal yang Will lakukan. Aku begitu senang ketika ia berkata bahwa ia tertarik pada ibuku. Aku begitu semangat mendorong ibuku supaya dekat dengannya. Aku bahkan membangkang ibuku demi Will.
"Saat ibuku pergi untuk selamanya, Will hancur dan aku pun hancur. Bukan semata-mata karena aku kehilangan ibuku, tapi aku juga mengamati betapa rapuh dirinya sejak ia menyandang status duda. Will meyakinkanku bahwa ia akan selalu mencintai ibuku dan tak akan menyerah padanya. Kau tahu, Diana, dia menjadi satu-satunya panutanku untuk menjadi lelaki sejati. Aku selalu memegang janjiku seperti yang Will lakukan. Aku tak rela menyingkirkan nama belakangku meski keluarga Salendra memberiku seluruh hartanya. Aku... bangga menjadi seorang Archer. Aku berharap aku akan menjadi pria seperti Will yang terus setia."
Diana mengecup wajah Ryan untuk memberi kekuatan dan itu berhasil. "Kau merasa kecewa karena ia tak sesuai harapanmu."
"Benar. Aku tak akan punya seseorang yang bisa kuanut. Bagaimana jika aku berakhir sama seperti Will? Aku tak pernah mau meniru Adrian. Aku tak mau disamakan dengan Adrian. Aku takut menjadi seorang bajingan yang lari dari tanggung jawab. Aku mengecat rambutku sewarna Will, aku menyukai mesin seperti Will, aku menjalankan bisnis seperti Will, aku ingin menjadi Will. Tapi aku tidak mau menjadi Will yang ingkar janji. Aku tidak mau menjadi seorang Archer yang mengingkari janjinya."
Diana menggeleng. "Tidak, Ryan. Kau tak perlu menjadi siapapun untuk menjadi dirimu. Aku hanya ingin Ryan Archer yang memborong seluruh kueku. Aku ingin Ryan yang hanya tertawa ketika di depanku―yah, aku berharap kau lebih ramah di depan orang lain."
Ryan tersenyum segaris.
"Dan jika aku mati, aku rela kau menjalani hidup yang lebih baik dengan wanita lain."
"Tidak," desis Ryan.
"Kau bisa bicara tidak," tukas Diana. "Tapi kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Begitupun dengan ayahmu. Dia tak tahu akan menemukan seorang wanita di usia lima puluhan. Dia juga tak pernah membayangkan akan berpaling dari ibumu dan aku yakin ia masih mencintai mendiang ibumu. Kau juga tak menyangka akan melamar seorang wanita yang melayanimu di toko roti, kan?"
Ryan tertawa pelan.
"Rasanya mustahil ayahmu akan melupakan ibumu. Wajah Emily akan membayanginya sampai kapanpun sebagai sosok ibumu. Aku sudah lihat betapa miripnya Emily dengan ibumu saat masih seusianya."
"Yah, dia sangat mirip. Terkadang aku merasa ingin meringkuk di pelukan Em hanya untuk merasakan kembali pelukan ibuku. Tapi aku tahu Em akan jijik padaku."
Diana tersenyum. "Jika aku mati lebih dulu, aku berniat melahirkan anak perempuan yang akan membayangimu dalam bentuk sosokku."
Ryan tertawa.
Diana mengendikkan bahu. "Dengan itu aku tahu, itu akan menjaminmu supaya terus mengingatku."
"Mustahil melupakanmu, Sayang. Aku sangat mencintaimu."
"Itu yang kumaksud." Diana mengecup pipi Ryan. "Jadi... kau mau makan malam bersama?"
"Tidak," kata Ryan.
"Astaga!" gerutu Diana. Ia terlihat putus asa dan Ryan harus menahan tawa. "Kupikir kau mengerti analogi yang kuberikan."
"Itu bukan analogi. Terlalu spesifik, Sayang."
"Terserah!" Diana gusar dan menjatuhkan dirinya ke ranjang.
Ryan tertawa dan mengikuti wanitanya berbaring. Ia memeluk Diana dari belakang. "Tidak untuk makan malam. Bagaimana dengan makan siang? Besok? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan malam ini. Kau harus melihat New York."
Diana membalikkan tubuhnya. "Serius? Kau mau makan siang bersama?"
Ryan mengangguk. "Aku... sedang mencoba, Diana. Pelan-pelan, oke? Kau tahu ini berat."
"Tak apa." Diana tersenyum. "Aku akan mendampingimu."
Ryan menyipitkan matanya untuk mencerna permintaan Diana yang janggal. Ia mencolek hidung Diana. "Beritahu aku, apa rencanamu dengan Emily?"
Diana menggigit bibir. "Apakah terlihat?"
"Diana, kau sangat mudah diprovokasi. Yang sangat disayangkan, hanya kau satu-satunya orang yang bisa mempengaruhiku. Sekarang semua orang tahu bahwa kau adalah kelemahanku."
"Yah, Emily memintaku mengurusmu."
"Kupikir kau senang melakukan itu."
Diana mengangguk penuh semangat.
Ryan memutar mata dengan geli. "Bilang pada Emily, aku ingin taco kesukaanku untuk makan siang besok. Itu mungkin bisa memperbaiki suasana hatiku jika terjadi hal yang tidak diinginkan."
Diana mengernyit. "Apa itu taco?"
Ryan menyeringai. "Oh, Sayang, kau harus mencobanya. Bilang pada Emily, dia harus memesan banyak."[]
Yang lihat story di akun instagram aku pasti udah pernah lihat...
Kalo yang belum pernah lihat... ya udah lah... dapet salam dari wajah bangun tidur Ryan & Diana. Iya, itu mereka yang ada di cover. Iya itu visualisasi Ryan-ku selama ini :') Jika kalian punya yang lebih ganteng, ya udah lah. Aku kalo bikin cover selalu kira-kira dengan tokohku. Misal anak bapak, ya cari yang rada mirip posturnya atau gimana gitulah. Kalo cari yang pirang, ya pokoknya harus ketemu yang pirang! (Maksa)
Btw, ini part Rated bukan ya? Aku ragu. Ini mah bukan secuil lagi adegannya, seupil kali ya..
Semoga suka, ya. Jangan lupa dukung terus cerita ini dengan vote dan komentar :D :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top