SO - BAB 24 (Rated)
Warning! Mature content.
Diana menatap Callie yang masih menangis di pelukan Emily dan ayahnya. Hati Diana pilu melihat kehangatan ini, tapi Ryan butuh pengertian lebih. Ia merasakan sakit yang sama mendengar suara tajam Ryan. Bukan seolah-olah Diana menjadi sasaran ketajaman suara itu, namun Diana merasa menjadi diri Ryan yang kecewa dan tengah hancur. Diana tak akan membiarkan Ryan berada di posisi itu sendirian. Diana ingin ada untuk Ryan seperti Ryan yang ada untuknya di titik kehancuran.
Diana tak berkata apa-apa lagi karena bibirnya kelu dan tangisnya tak mampu dibendung. Diana melangkahkan kaki secepat mungkin menyusul Ryan. Diana berlari ketika sosok Ryan hampir menghilang. Diana bersyukur dengan sepatu kets yang digunakannya. Panas matahari sama sekali tidak menghalau dirinya untuk berlari mengejar Ryan.
Tinggal beberapa langkah untuk mencapai Ryan, pria itu menghentikan taksi di ujung jalan. Diana berlari secepat mungkin dan menyambar pintu penumpang tepat saat mobil itu melaju. Ryan tersentak dengan kehadiran Diana yang menangis dan terengah-engah. Sopir mengumpat pada Diana namun Diana tak peduli.
"Apa yang kau lakukan?!" seru Ryan. "Kau mencelakai dirimu!"
"Jalan," kata Diana pada sopir setelah menutup pintu. Diana mengusap air mata sekaligus keringatnya. Ia tak tahu mana yang lebih menyiksanya saat ini, apakah karena napasnya tersengal, atau karena tenggorokannya tersumbat karena menahan tangis, atau karena hatinya hancur melihat Ryan hancur. Semuanya sama sekali tak menyenangkan dipadukan menjadi satu.
Hanya keheningan yang terjadi di ruang itu. Deru pelan mobil, dengung statis radio, dan riuh di luar sana yang mengisi suasana. Ryan sama sekali tak menatap Diana. Ryan menghentikan taksi di pusat kota dan membayar pada sopir. Diana cepat-cepat membuka pintu untuk mengikuti Ryan yang berjalan cepat di trotoar.
"Ryan! Tunggu!"
Ryan berbalik dan menatap marah pada Diana. "Jangan ikuti aku! Aku tak mengerti dengan apa yang ada di kepalamu hingga mengikuti ke sini! Jangan ikut campur, Diana! Kau tak mengerti rasanya jadi aku! Lihat Emily, dia bahkan tak mau memilihku!"
Diana tersentak. Ia menatap mata gelap Ryan yang sarat kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan. "A-aku..." Diana mencoba menemukan suaranya. "Aku akan memilihmu, Ryan. Aku ingin ada untukmu."
"Kau tak bisa melakukan apapun untukku," desis Ryan. Ia berbalik meninggalkan Diana yang terpekur.
Diana memikirkan kebenaran kata-kata Ryan. Ia tak punya apa-apa untuk memberi Ryan. Ia tak bisa melakukan apapun karena ia hanya Diana Andisty yang ditarik Ryan dalam kehidupannya. Diana mengangkat kepala dan hanya ada punggung Ryan yang menjauh. Ia tak mengkhawatir apapun saat ini selain pria yang dicintainya terlihat begitu hancur.
Astaga, hati Diana juga hancur. Ia mencintai Ryan dengan seluruh hidupnya dan Diana bisa melakukan sesuatu, apa saja, untuk Ryan. Ia bahkan rela memberikan sisa-sisa terakhir apapun miliknya. Diana rela mengosongkan dirinya untuk Ryan.
Diana kembali mengejar Ryan dan sebisa mungkin meraih Ryan dalam pelukannya. Ryan membeku ketika pelukan itu begitu erat. Diana tersengal di punggung Ryan dan kesulitan merangkai kata-kata. "Aku... mencintaimu. Aku... akan... melakukan apapun, Ryan. Apapun. Untukmu."
Ryan tegang di balik pelukan Diana. Tangan Ryan mencengkeram tangan Diana kuat-kuat dan Diana merasakan pergelangan tangannya yang sakit dicengkeram seperti itu. Diana pikir Ryan kembali menolaknya dengan menyentak. Namun pria itu justru berjalan cepat dan sama sekali tak mengendurkan cengkeramannya. Diana sebisa mungkin menyamai langkah panjang Ryan atau dirinya akan terjungkal.
Ryan memasuki hotel pertama yang mereka temui. Hotel itu megah, elegan, dan berada di pusat kota. Namun Diana tak sempat mencermati interiornya sementara hubungannya dengan Ryan belum membaik. Ryan masih menarik tangan Diana bahkan ketika ia berbicara pada resepsionis. Ryan menyodorkan tanda pengenal dan kartu kreditnya sebelum menerima kunci dari resepsionis.
Ryan kembali menarik tangan Diana untuk masuk ke dalam lift. Ryan terlihat marah dengan meninju tombol. Pintu lift terbuka, kemudian mereka terjebak berdua ketika berada di dalam. "Aku memastikan," kata Ryan dengan suara tajam. Ia menatap Diana untuk pertama kalinya dan Diana sulit menilai ada apa di balik mata gelap itu. "Apapun?"
Diana mengerjap.
"Kau akan melakukan apapun?" ulang Ryan.
Diana mengangguk. "Apapun."
Pintu terbuka dan Ryan dengan cepat membuka pintu. Diana tak mendengar kapan saklar ditekan. Ruangan menjadi terang dan tiba-tiba Ryan telah menciumnya dengan penuh hasrat. Ryan menjatuhkan ransel Diana dan membuka jaket jinsnya. Ryan melepas pula mantel miliknya sendiri tanpa melepas ciuman mereka.
Ryan beraroma kopi yang Diana yakin dipesannya ketika di pesawat. Diana bisa merasakan emosi yang bergulir pada diri Ryan hingga mendorong pria itu untuk melakukan tindakan ini dengan penuh gairah. Diana meletakkan tangan di dada Ryan yang bidang. Pria itu menggeram dari tenggorokannya.
Ryan melucuti kemejanya sendiri. Membiarkan dadanya terbuka untuk Diana. Tak bisa dipungkiri bahwa Diana merasa bahagia karena Ryan membuka diri padanya. Namun ketika Diana menjalankan tangannya di kulit dada Ryan, Ryan menghentikannya dengan menarik tangan Diana menjauh. Ryan memiringkan kepalanya. Matanya menyiratkan banyak hal termasuk gairah dan banyak perasaan lagi yang belum terusir dari benaknya sejak meninggalkan rumah ayahnya.
Ryan melangkah mundur dari Diana hingga wanita itu merasakan kekecewaan ketika kehilangan sentuhan Ryan. "Kau bilang akan melakukan apapun." Itu bukan pertanyaan.
"Ya," bisik Diana.
Wajah Ryan datar dan tenang. Rahangnya menegang. Jakunnya naik turun. Namun Diana bisa melihat bahwa pria itu menjadi sangat jauh tak tersentuh. "Buka bajumu."
Diana perlu beberapa detik untuk mencerna permintaan Ryan. "A-apa?"
"Buka bajumu, Diana. Telanjang untukku."
Diana yakin dirinya tersentak akan permintaan Ryan. Sejauh hubungannya bersama Ryan, pria itu tak pernah sekalipun memaksakan hasratnya. Ryan yang Diana kenal selalu teguh akan komitmennya untuk tidak menyentuh Diana. Ryan yang Diana kenal selalu menghormati wanita. Sulit dipercaya ketika kata-kata itu keluar dari mulut Ryan.
"Tunggu apa lagi, Diana? Kau bilang kau bersedia melakukan apapun untukku."
Diana merasakan lehernya keram untuk menggeleng. Ia tak yakin apakah menginginkan ini untuk memuaskan Ryan, atau ia harus melindungi dirinya―dari kekasihnya sendiri. Tangan Diana terkepal di samping tubuh. Ia tak percaya Ryan melakukan ini padanya―menyuruhnya telanjang. Diana tak tahu apakah ini efek emosi Ryan atau memang pria itu menginginkannya. Tapi nada perintah dalam suara Ryan benar-benar menyakiti Diana, seolah pria itu merendahkannya.
"Telanjang, Diana," kata Ryan tajam. Ia melangkah mendekati Diana dan entah bagaimana Diana bersikap defensif dengan mundur selangkah. "Kenapa? Bukankah kau bilang akan melakukan apapun? Bukankah itu termasuk telanjang?"
"Tidak," bisik Diana. Tenggorokannya tercekat ia benar-benar tak yakin sanggup menolak Ryan dengan kata-kata. "Tidak." Sekali lagi Diana mengatakan itu. Diana yakin Ryan akan menyesali ini nantinya begitupun Diana yang akan menyesali ini pada akhirnya. Mereka terbawa emosi dan suasana yang kurang pas hingga menempatkan hasrat mereka di tempat yang salah.
"Kau tidak benar-benar mencintaiku. Tak seorang pun benar-benar mencintaiku."
Air mata Diana bergulir. Ia bergelut dengan dirinya sendiri, dengan kerapuhan Ryan. Diana tak mau Ryan merasa seperti itu. "Tidak, Ryan. Aku mencintaimu."
"Maka telanjanglah untukku!" bentak Ryan.
Diana nyaris tersentak ke belakang. Ia menatap Ryan yang menatapnya liar. Dadanya naik turun. Rambutnya berantakan. Pria di hadapannya terlihat lelah. Untuk pertama kalinya, Diana melihat diri Ryan sepenuhnya. Hingga ke sisi rapuhnya. Titik terendahnya. Diana ingin meraih Ryan jika bisa, tapi pria itu membentangkan jarak lebar bagi Diana.
Tangan Diana gemetar ketika meriah ujung kausnya. Ia menarik ke atas kaus itu hingga memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang tertutup bra saja. Ryan sama sekali tak mencegah. Pria itu hanya menatap niatan nekad Diana dengan menuruti keinginan Ryan. Diana tahu ia akan menyesali ini, begitu pun Ryan. Tapi Diana rela melakukan apa saja untuk membuat kekasihnya menjadi lebih baik. Diana berkata setulus hati ketika ia mengatakan bahwa ia mencintai Ryan dan ingin menjadi apa saja untuk Ryan.
"Celanamu, Diana," kata Ryan parau.
Diana tak mau menatap Ryan karena merasa tubuhnya tak akan cukup untuk Ryan. Diana merasa sangat tidak percaya diri. Diana merasa sangat terbuka dengan keinginan setengah hati. Terseret antara kegilaan cinta dan pikirannya yang masih berjalan di lajur rasional. Diana tahu ini sebuah kesalahan.
Diana melepas celana jinsnya. Penutup tubuhnya yang terakhir sebelum mengekspos diri dengan kain tanpa arti. Jinsnya teronggok bersebelahan dengan kausnya. Diana berusaha menutupi diri dengan tangannya, tapi rasanya itu sia-sia. Air mata Diana bergulir kembali mengingat posisinya sekarang yang begitu murahan karena Ryan memperlakukannya dengan cara yang salah.
Astaga, Diana tahu dirinya sedang menghancurkan dirinya sendiri.
"Telanjang, Diana," kata Ryan parau. Diana sempat mendengar dengusan lembut Ryan. Sesuatu seperti kata, "Tidak." Tapi Diana tak yakin. Ryan sama sekali tidak menghentikannya.
"Diana?"
"Apapun untukmu, Ryan." Diana meraih kait belakang branya hingga terlepas. Meluncurkan penutup atasnya hingga dirinya telanjang dada. Diana bisa melihat payudaranya yang terbuka dan disaksikan oleh Ryan. Diana memantapkan setiap detiknya untuk menyerahkan diri pada Ryan.
"Tidak," bisik Ryan.
Diana meraih celana dalam sebelum keyakinannya mengabur dan penyesalannya menjadi-jadi, namun sebelum Diana sempat meluncurkan penutup terakhirnya, Diana merasakan bahu telanjangnya tertutup mantel Ryan yang kebesaran untuknya hingga menutupi paha. Diana mengangkat wajah dan mendapati Ryan yang menunduk dalam-dalam seraya terisak.
"Maafkan aku," bisik Ryan. "Astaga. Apa yang kulakukan? Aku tak seharusnya memperlakukanmu seperti itu."
Diana meraih wajah Ryan. Pria menangis dan hati Diana perih melihat cintanya begitu rapuh. "Ryan―"
"Astaga, Diana, tampar aku. Maki diriku atau apapun itu. Aku pantas mendapatkannya. Aku... bahkan... tak pantas untukmu."
Diana meraih wajah Ryan dan memberikan ciuman panjang. Diana tak melepaskan Ryan, ia memeluk Ryan kuat-kuat seolah memberi kekuatan. Tangan Ryan merayap di tubuhnya. Menangkup pantat Diana yang hanya tertutup mantel. Diana melingkarkan tungkainya ke pinggul Ryan. Pria itu bergerak menuju ke ranjang, menjatuhkan Diana ke sana. Ciuman mereka penuh dengan keputusasaan. Emosi dalam diri Ryan mereda. Ciuman itu lembut seolah bentuk dari permintaan maaf.[]
Rated dalam cerita ini memang nggak seru wkwk :'D
Aku masih sayang sama Diana pokoknya. Nanti kalo aku udah nggak sayang lagi, baru aku jahatin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top