SO - BAB 22
Ryan melangkah gontai menuju apartemennya. Saat ini tubuhnya lelah dan pikirannya tak kalah lelah. Semua urusan keluarga Salendra selalu membuatnya lelah. Ryan harus menahan diri selama dua belas tahun yang ia jalani selama berada di Indonesia, berada di lingkaran keluarga ayah dan kandungnya, di mana masalah selalu tak ada habisnya. Ryan bertanya-tanya apakah kebanyakan orang juga mengalami hal serupa? Jika Ryan punya pembanding, kehidupannya di Amerika dulu tidaklah seperti ini. Hari-harinya memang berat sejak kepergian sang ibu, tapi ia tak pernah merasa sendirian seperti saat ini.
Ryan memasukkan kartu slot dengan lemas. Apartemennya terang benderang dan Ryan bersyukur dengan keadaan yang menyambutnya. Jika ia harus menghadapi kegelapan lainnya, Ryan tak yakin akan menjalani malam tanpa menggerutu.
Aroma harum tercium Ryan ketika melangkah lebih dalam. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Diana yang sedang sibuk di meja bar. Ia memasukkan kue-kue ke dalam stoples, lalu menutupnya. Kembali meraih serbet dan membuka oven untuk mengeluarkan kue lainnya. Ryan mau tak mau tersenyum melihat itu. Hatinya menghangat setiap kali melihat Diana. Apalagi ketika Diana sedang sibuk dengan kue-kue, wanita selalu terlihat cantik di antara banyak kue.
Diana yang menyadari dirinya diamati pun mengangkat wajah. Ia tersenyum melihat Ryan dan segala kegusaran yang membuat Ryan tak bersemangat tiba-tiba saja menghilang. "Hai, kau sudah pulang."
Ryan berjalan mendekati Diana. Ia langsung mengambil posisi di belakang Diana untuk memeluk. Diana beraroma kue hangat dan Ryan menyukainya. Ryan menciumi tengkuk Diana hingga wanita itu terkikik geli. "Astaga, aku merindukanmu, Sayang."
"Apa yang terjadi? Kau terbentur? Kau bahkan berpamitan padaku sebelum pergi."
Ryan membalikkan tubuh Diana dan meletakkan lengan Diana melingkari lehernya. "Aku merindukanmu setiap detiknya." Ia mengecup bibir Diana dan merasa senang karena Diana tak lagi ragu membalas ciumannya. "Apa yang kau masak?"
"Nastar." Diana mengalihkan pandangan ke kue hangat yang ada di loyang, mengambilnya satu, dan menyuapkannya untuk Ryan. "Bagaimana menurutmu?"
Ryan mengunyah kue lezat itu dan ia merasakan suasana hatinya yang berangsur membaik. "Selalu lezat. Apa ini? Selain stroberi?"
Diana mengangguk. "Aku membuatnya. Aku juga membuat selai nanas dan apel. Kau bisa memakannya untuk sarapan. Kuharap kau suka roti dengan selai."
Ryan tersenyum. "Enak sekali, Sayang. Aku pasti suka. Aku sudah bisa membayangkan rumah kita di masa depan. Dapur kita akan beraroma kue. Harum seperti dirimu."
Diana tertawa.
Ryan ikut tertawa. "Kita pasti akan punya banyak persediaan kue kering. Stoples kita akan penuh dan kita selalu punya persediaan camilan untuk menonton film."
"Itu keren."
"Oh, ya. Aku tak sabar menjadikanmu milikku, Diana. Kita akan punya rumah dan anak-anak. Anak-anak akan memuji bahwa kue buatan Mama selalu enak."
"Dasar pembual," cibir Diana. "Jika anak kita laki-laki, mungkin dia tidak terlalu bersemangat ikut campur urusan dapur."
Ryan membeku ketika Diana mengingatkan fakta itu. Anak laki-laki. Jika anak Ryan laki-laki, kemungkinan ia juga akan punya tanggung jawab yang sama dengan yang Ryan jalani. Untuk pertama kalinya dalam hidup Ryan, ia setuju dengan sebuah pembangkangan terhadap tanggung jawab. Ryan tak mau putranya mengalami kegilaan yang sama dengan berada di keluarga rumit ini.
"Hei," panggil Diana membuyarkan lamunan Ryan. Ia menjalankan jarinya menelusuri dahi Ryan, kemudian mengikuti bentuk alisnya. Ryan menikmati sentuhan itu hingga fokusnya hanya berada pada Diana, namun tak bisa dipungkiri bahwa pikiran tadi masih mengganjal. "Dahimu berkerut. Ada masalah?"
Ryan menghela napas. "Aku tak yakin jika itu disebut masalah. Aku lebih menyebutnya bencana."
"Wow. Separah itu? Apa yang terjadi?"
Ryan mengendikkan bahu. "Kau tak ingin tahu."
"Aku ingin," sergah Diana. "Bukankah kita baru saja membicarakan rumah? Itu artinya kita akan berbagi hidup. Aku ingin kau berbagi denganku, Ryan."
"Terkadang aku tak ingin membawamu ke dalam semua ini."
"Tapi nantinya itu akan tetap terjadi. Aku berkata ya padamu bukan semata-mata aku menginginkanmu. Aku menginginkan seluruh bagian dirimu termasuk beban apapun yang sedang kau pikul. Aku tak keberatan sebesar apapun masalah itu atau bencana itu. Aku ingin selalu berada di sampingmu."
Ryan menggeleng. Ia memejamkan mata menyerapi perkataan Diana. Hidupnya sudah rumit dan ia tak ingin Diana menjadi bagian dari kerumitan itu. Ryan menginginkan Diana sekaligus ingin membuatnya bahagia. Berada di posisinya sekarang sama sekali tidak bahagia. Jika Ryan punya pilihan, ia ingin membawa Diana menjauh, membawa satu-satunya kebahagiaannya menjauh dari masalah. Sementara keluarga Salendra terlalu identik dengan masalah. Bahkan itu seperti tak ada habisnya.
"Jangan berjuang sendiri," kata Diana. "Kau tidak membiarkanku berjuang sendiri. Aku tak mau kau justru berjuang sendiri setelah berjuang untukku."
"Diana, keluarga ini rumit. Aku tak tahu apa kemungkinan buruknya, tapi aku tak menempatkanmu di sana."
Diana menangkup wajah Ryan, memaksa mata Ryan menatap padanya. "Aku akan mengambil resiko itu, Sayang. Apapun asal bersamamu."
Ryan kembali menghela napas. "Itulah alasannya. Aku tahu kau akan di sampingku. Aku tahu kau akan berpihak padaku. Terlalu banyak pihak yang entah memihak siapa. Keluarga Salendra meski silsilahnya tidak rumit, tapi kekacauannya hampir menghancurkan hidupku."
Ryan tak mengerti mengapa keluarga Salendra yang kecil justru mempunyai jarak yang terbentang luas dalam hubungan keluarganya. Ryan merasa maklum jika dirinya dianggap sebagai orang asing. Tapi keadaan yang terjadi antara Derian dan Adrian pun tak membantu. Saling bunuh ini mungkin akan berlangsung sampai salah satu diantaranya mati. Hubungan generasi selanjutnya pun tak berjalan baik. Ryan dan Deanita jelas-jelas tak bisa rukun di satu ruangan yang sama. Deanita tak pernah mengambil banyak interaksi dengan si kembar, dan Ryan pikir itu mungkin saja pertanda buruk jika Ryan membiarkan Ian berada di posisi itu, sementara dirinya lari dan Deanita bisa melakukan macam-macam.
"Itu arti dari saling mencintai. Aku yang akan ikut menguatkanmu, Sayang." Diana memajukan wajahnya dan mengecup Ryan penuh cinta.
Sejenak, Ryan bisa merasakan betapa dukungan Diana mampu membangun kembali puing-puing hidupnya yang hancur malam ini. Ryan menarik Diana mendekat. Menyentuh tubuh Diana dengan penuh pemujaan. Aroma Diana yang memabukkan tak pernah membuat Ryan puas, namun Ryan tetap harus bersabar menunggu Diana menjadi miliknya secara utuh.
"Aku mencintaimu, Diana."
"Aku juga mencintaimu, Ryan Archer." Diana tersenyum di bibir Ryan begitu ciuman itu berakhir. "Dan aku harus mengangkat kueku atau kue itu akan gosong."
Ryan tertawa dan melepaskan pelukannya. Ia membuka stoples lain dan membantu memasukkan kue ke dalamnya. Ryan menatap apartemennya dan mengernyit ketika merasakan kejanggalan sebab ia baru saja teralihkan dengan adanya Diana. "Dimana Emily?"
Diana meletakkan loyang yang masih panas dan mematikan oven. "Dia sempat berkata tentang telepon dari Amerika." Diana mengendikkan bahu. "Ia hanya bisa menghabiskan kue bahkan sebelum dikemas. Sama sekali tidak membantu."
Ryan tertawa dan mengecup pipi Diana yang menggembung. "Aku akan menemuinya untuk bilang bahwa aku akan ke tempatmu. Kita bisa menghabiskan waktu di sana. Berdua saja."
Diana merona. "Oke."
Ryan mengira Emily pasti berada di kamar dan orang yang ia telepon bisa siapa saja. Emily punya relasi lebih banyak di Amerika daripada Ryan sendiri. Atau jangan-jangan... Emily punya pacar?
Tidak. Tidak. Astaga. Membayangkan Emily punya pacar sangat mengerikan. Ryan tidak bisa membayangkan Emily disentuh laki-laki selain keluarga.
Ryan mengendap dari balik pintunya dan berusaha sepelan mungkin membuka pintu untuk memata-matai Emily. Ryan tahu ini tindakan penguntit tapi ia ingin tahu dengan siapa Emily berbicara. Bisa saja itu Ayah mereka yang ingin tahu kabar putrinya setelah sebulan berada di Indonesia, tapi Ryan benar-benar ingin tahu.
"Oh, soal itu," kata Emily yang sedang menerima telepon seraya berdiri membelakangi posisi Ryan saat ini. Untunglah Emily tak akan tahu. "Aku... uh... tak yakin, Ayah."
Oh, itu William. Syukurlah.
Ryan hampir saja melangkah masuk ketika Emily mengungkit dirinya.
"Ryan sedang pergi ... Jangan! Jangan katakan sekarang ... Aku... hanya... kurasa belum tepat waktunya."
Ryan mengernyit mendengar itu. Apa yang harus dikatakan?
Emily mendesah. "Ia... yah... sepertinya tidak terlalu baik sejak kepergian kakeknya. Aku tak tahu apa yang membuat hidupnya menjadi lebih berat. Maksudku, dia seharusnya senang satu-satunya pengekang sudah menghilang dan ... Aku tahu ... Aku tahu dia baik-baik saja. Hanya saja, dia tidak terlihat seperti biasanya. Aku tak yakin membicarakan Callie di saat seperti ini."
Callie?
Siapa itu Callie?
"Oh? Kalian sudah tinggal bersama? Itu keren. Bagus." Ryan melihat senyum Emily yang mulai membalikkan tubuh. Ryan menyembunyikan diri di balik pintu dan mendengar kembali apa yang Emily katakan. "Tidak ... Aku tahu bahwa Ryan harus tahu. Dia pasti tahu cepat atau lambat. Tapi... bisakah kita menahan perkenalan itu sampai menjelang pernikahan Ryan? Kurasa suasana hatinya akan lebih baik saat itu ... Hentikan, Ayah. Aku tahu kau dan Callie saling tertarik satu sama lain. Ryan nantinya akan mudah diatasi. Hanya saja, bukan sekarang."
Tunggu. Apa itu? Ayahnya tertarik pada wanita lain? Ayahnya punya pacar?!
Dan tinggal bersama?!
Sialan.
"Aku ikut senang, Ayah. Aku tak akan bisa membatasi kebahagiaanmu dengan Callie."
Ryan sudah cukup menahan dirinya di pintu, ia membuka pintu hingga Emily tersentak dan mematikan ponselnya. "Siapa, Emily?"
"Uh... wow... hai! Kau sudah pulang? Kenapa aku tak mendengarmu?"
Ryan mengernyit melihat kegugupan Emily. Ia melangkah mendekati adiknya. "Kutanya, siapa yang baru saja kau telepon?"
"Apa? Itu hanya ayah," kata Emily dengan sorot gugup di matanya.
"Siapa Callie?" tanya Ryan datar.
"Callie?" Emily tertawa. "Siapa Callie? Kau mungkin salah dengar―oh! Callie, ya, tetangga tua renta yang baru pindah rumah. Ya, itu Callie."
"Dan apakah tetangga tua renta itu tinggal bersama dengan ayah?"
Emily mengerjap. "A-apa? K-kau... pasti... salah dengar, Ryan."
"Apakah Callie adalah pacar ayah?"
"Ryan, kau pasti―"
"Jawab aku, Emmy!" bentak Ryan hingga Emily meringis. "Aku tahu kau berbohong padaku. Aku dengar semuanya dengan jelas!"
"Ada apa ribut-ribut?" tanya Diana yang bari tiba saat mendengar bentakan keras Ryan. "Ryan, ada apa? Tenangkan dirimu."
"Jawab, Em!" bentak Ryan lebih keras.
Emily menangis menutup telinganya. Diana beringsut memeluk Emily. "Ya! Memangnya kenapa?! Callie memperhatikanku dengan baik! Dia wanita yang baik untuk ayah! Callie menganggapku putrinya sendiri! Ayah berhak bahagia dengan kehidupan cintanya!"
Ryan merasa sangat marah saat ini. Ia marah pada semua orang termasuk Emily dan ayahnya. Ryan marah merasa terkhianati atas nama dirinya dan ibunya. Ia membanting pintu dan meraih ponsel. Ia menelepon asistennya Sarah dan menjawab sapaan Sarah tanpa basa-basi. "Carikan aku tiket ke New York malam ini juga. Berapapun harganya. Jika kau tak mendapatkannya, kau akan kupecat!"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top