SO - BAB 18
Ryan mengerjapkan mata dan mendapati Diana yang sedang tertidur pulas dalam pelukannya. Ia melirik jam dinding di kamar Diana yang menunjukkan pukul enam namun ruangan masih temaram karena tirai yang belum terbuka. Ryan kembali mengeratkan pelukannya, membuat Diana menggeliat untuk mencari posisi ternyaman.
Ini sangat manis. Ryan bisa melihat pola kehidupan setelah pernikahannya. Ia akan hidup bahagia bersama wanita yang dicintainya. Ryan benar-benar tak sabar menantikan hari itu.
Tetapi dengan posisinya sekarang, pagi hari selalu menyiksa bagi Ryan. Ia bahagia, ya. Tapi ia belum sepenuhnya memiliki Diana. Tubuh Diana begitu indah dan hangat, membuat Ryan yang masih pria dewasa normal harus mati-matian menekan hasrat pagi harinya.
Sebentar lagi, ucap Ryan dalam hati seraya menenangkan benda mengeras di antara pahanya.
Kemudian Diana menggeliat lagi.
Sialan.
"Ryan?" Suara serak Diana terdengar. Suara itu setara dengan erangan Diana malam tadi. Sialnya, bayang wajah puas Diana kembali berkelebat. Punggung yang melenting, tubuh yang bergetar, puting yang menegang.
Sial. Sial.
"Selamat pagi," gumam Ryan semampunya. Ia mengecup kening Diana sebelum beringsut dari sekitar tubuh wanita itu. Astaga, Ryan bahkan tak yakin bisa berjalan dengan benar sampai kamar mandi.
Tidak. Tidak. Jangan kamar mandi milik Diana. Ryan perlu melepaskan hasrat pagi harinya dan itu tidak baik dilakukan ketika Diana hanya terpisah sebatas pintu.
"Kau mau pergi?" Diana bangkit mengambil posisi duduk. Ia mengucek matanya yang sayu. Wanita itu terlihat sangat menggemaskan setiap kali bangun tidur. Rambutnya yang acak-acakan ia biarkan saja, sehingga wanita itu benar-benar terlihat natural. "Jam berapa ini?"
"Pukul enam. Aku harus bersiap-siap ke kantor, Diana."
Diana mengangguk. Kemudian Diana melemparkan pandangannya seraya sibuk berpikir, namun yang ada di pikiran wanita itu pastilah menyebabkan pipi Diana merona di pagi hari.
Brengsek. Rasanya milik Ryan mulai nyeri.
"Apakah... apakah tadi malam itu..."
Ryan tersenyum. "Ya, Sayang. Aku baru saja melamarmu dan kau berkata, ya."
Diana menyembunyikan wajahnya dengan menarik selimut hingga ke wajahnya. Ryan pun tak kuasa untuk tertawa. "Astaga. Maksudmu, kita akan menikah?"
Ryan tak tahan lagi. Ia melesat maju untuk menarik selimut Diana. Menarik tengkuk Diana mendekat dan memberikan ciuman di bibir wanita itu. "Ya. Kita akan menikah," kata Ryan di bibir Diana. Ia mengecup lagi sebelum menatap mata Diana. "Bagaimana menurutmu?"
Diana berdeham. "Keren."
"Keren?" Ryan tertawa geli.
"Ya, itu keren. Maksudku―hanya―kau tahu―uh..."
"Apa?"
"Itu..." Diana memelankan suaranya seolah ada orang lain yang bisa mendengar mereka. "Seks."
Ryan mengangguk. Bagus, sekarang Diana mengingatkan tentang itu. Wanita itu menyebutkan seks dengan sangat menggairahkan karena itu terdengar seperti desisan. Astaga, Ryan junior, bertahanlah.
"Kita... bisa... kau tahu, setelah menikah tak ada lagi batasan tentang itu, kan?"
Ya, brengsek, pikir Ryan. Ketika hari itu tiba, aku tak akan membiarkan Diana seinci pun melewati ranjang. Namun Ryan berusaha bersikap senetral mungkin. "Kau benar."
Pipi Diana merona lagi dan Ryan harus segera pergi sebelum menerjang seperti binatang. Ryan memberi kecupan terakhir. Kemudian ia melangkah keluar kamar Diana dan kembali ke apartemennya sendiri. Ia perlu menggedor keras lima menit lamanya sebelum akhirnya wajah Emily yang berantakan terlihat.
Hei, itu membantu Ryan meredam gairahnya. Emily benar-benar tidak menarik bagi Ryan, adik kecilnya itu sangat berantakan ketika bangun.
"Persetan denganmu, Ryan. Kau mengganggu tidurku," gerutu Emily. Nah, yang itu juga menolong. Sumpah serapah di pagi hari sangat membantu.
Ryan melewati pintu dengan sedikit dorongan pada Emily. Namun ketika masuk lebih dalam, ia mengernyit dengan seluruh sampah yang Emily ciptakan. "Sialan, Emily! Kau apakan tempatku?!"
Ryan meraih potongan pizza sisa yang tercecer di karpet dan melemparnya ke tempat sampah. Banyak kaleng kosong yang dilempar sembarangan. Kardus pizza kosong tidak berada di tempat sampah, tapi berserakan di lantai. "Aku tak mengerti apa yang kau pelajari di asrama sialan itu!"
"Tutup mulut, Ryan," sembur Emily. Ia kembali meringkuk di sofa dan menarik selimut menutupi dirinya. "Hanya orang idiot yang bangun pukul enam pagi."
Ryan mendesah putus asa melihat sikap Emily. Meski ia menyayangi Emily, melihat tempatnya yang acak-acakan tentu saja membuat Ryan marah. Ryan bahkan berani bertaruh bahwa ada potongan jamur di bawah punggung Emily.
"Kau tahu, Emily." Ryan berujar keras dan memastikan Emily yang berada di balik selimut mendengar. "Aku mulai berpikir lebih baik kau di tempat Paman Dave atau Angela daripada kau mengacau tempatku."
Ucapan itu sukses membuat Emily membuka selimut. Ia menyipit menatap Ryan. "Oh, wow, kakakku mengusirku."
"Kau tahu di mana letak kesalahanmu."
"Ini semua, kan, karena Diana menempati tempat sebelah. Jadi aku terpaksa berada di sini. Padahal jika aku di sana, aku bisa membereskan semua kekacauan ini nanti. Tidak perlu kau mengusirku pukul enam pagi, kan?"
Ryan memutar mata. "Terserah. Ketika aku selesai bersiap, semua kekacauan ini harus kau bereskan."
"Apa?!" pekik Emily. "Hanya orang idiot yang bersih-bersih pukul enam!"
Ryan mendengus. "Bagus. Belajarlah menjadi orang idiot sesekali."
"Menyebalkan," cibir Emily. "Aku menyesal kenapa harus jauh-jauh ke sini hanya untuk membersihkan tempatmu―"
"Tempat yang kau ledakkan sendiri!" seru Ryan menambahkan.
"Kenapa kau tidak menyewa layanan kebersihan?"
"Karena apartemenku hanya sepetak. Aku tidak memerlukan layanan kebersihan jika menyelesaikan semua ini hanya perlu lima menit. Sepuluh menit paling lama."
Emily mengumpat dalam Bahasa Inggris. Ia melempar selimut hingga ke teronggok di lantai. Ryan tak pernah mengira adiknya bisa sebrutal ini. "Kau tahu, Ryan. Kau ini tua, menyebalkan, tukang atur yang payah. Aku tak bisa membayangkan dirimu menjadi bos dari segala bos yang ada di perusahaanmu. Berani taruhan, Diana pasti tak tahan berada di sekitarmu selama lima jam. Dia muda, cantik, pintar memasak, dan pasti punya pikiran yang lebih rasional daripada terjebak bersama pria paling kaku di planet ini."
Ryan tertawa mengejek. "Salah besar. Diana menganggap lima jam belum cukup untuk bersamaku. Karena apa? Karena tadi malam, dia baru saja menerima lamaranku. Itu artinya, dia akan menghabiskan sisa hidupnya bersamaku. Dia ingin selamanya bersamaku."
Emily terkejut. Mulutnya terbuka dan matanya mengerjap beberapa kali. Ia mengumpat lagi. "Sial. Kau... itu sungguhan?!"
"Yap. Karena apa? Karena aku tampan dan dia menginginkanku."
Emily menjalankan tangannya ke rambut pendek yang acak-acakan. "Kau melamarnya?! Bagaimana mungkin kau bisa melamarnya ketika kau belum mengajaknya berkencan sekali pun?"
"Apa masalahnya? Dia mencintaiku dan dia menerima lamaranku."
"Aku hanya menyuruhmu mengajaknya kencan untuk membenarkan situasi di antara kalian. Tapi kau melamarnya?! Astaga, aku akan punya kakak ipar!"
"Berita bagusnya, ya." Ryan membalas santai.
"Aku belum siap menjadi Bibi Emily."
"Jangan bercanda. Diana tidak hamil. Belum. Sekarang kau bereskan semua ini karena jika Diana mengetahuinya, Diana akan takut punya adik ipar sepertimu."
"Ini konyol, Ryan," kata Emily seraya mengekori Ryan memasuki kamar dan memilih setelan kerja. "Kenapa kau tiba-tiba melamarnya?"
Ryan mendesah. Ia berbalik menatap adiknya. "Apakah kau keberatan?"
Emily mengerjap. "Tidak. Tentu saja tidak. Diana wanita yang lembut dan baik. Dan yah, dia menyenangkan. Dia berusaha menyenangkanku meski aku bersikap menyebalkan."
Ryan tersenyum. "Bagus."
"Sebaiknya jangan terburu-buru," kata Emily pelan.
"Emily, aku mencintainya. Aku telah menahan seluruh hasratku hanya untuk menunggunya menjadi milikku. Jangan kaupikir aku ini pria kotor karena hanya memikirkan nafsu. Maksudku, aku ingin memperlakukannya dengan benar. Semua ini terasa salah ketika aku menyentuhnya tapi dia belum sepenuhnya milikku. Bagaimana jika aku menunda ini dan suatu hari aku kehilangan kendali? Kau tahu kita, kan? Aku hampir tidak merasakan kasih sayang seorang ayah, sedangkan dirimu..." Ryan menggeleng. Emily menjalani kehidupannya lebih berat karena tak pernah mengenal sosok seorang ibu. "Aku tak mau menempatkan Diana berada di posisi ibu. Atau anak kami nantinya berada di posisi kita berdua."
"Bukankah ini terlalu cepat?"
"Aku ingin lebih cepat."
"Kau... maksudku... lima menit yang lalu kau baru saja meneriakiku. Setelah kau menikah, kau akan tertuju pada keluargamu. Aku hanya... tak mau kau pergi."
Ryan terhenyak. Ia menatap Emily yang menahan tangis. Astaga, apa yang adiknya pikirkan? "Hei, itu tidak benar. Aku tak akan pergi. Kau akan terus menjadi adikku." Ryan menarik Emily dan memeluk adiknya itu. "Jangan merasa seperti itu, oke?"
"Aku tak mau kehilangan kakak laki-laki yang menyayangiku." Emily mengeratkan pelukannya. "Aku ingin kau meneriakiku saja."
"Kau tak akan kehilangan aku, Em. Aku akan terus meneriakimu jika kau melakukan kesalahan."
"Rasanya aneh membayangkan kau memiliki keluarga dan jauh dariku, Ryan."
"Aku tak akan jauh, oke?" Ryan mengusap ujung kepala Emily. "Aku akan tetap menyayangimu, Sayang. Bukan berarti ketika aku menikah, aku akan pergi darimu. Justru kau akan mempunyai Diana sebagai kakakmu."
Emily mendongak menatap Ryan. Hidungnya merah seolah gadis itu menahan tangis. "Benarkah?"
Ryan mengangguk. "Kau tahu, Diana pasti senang punya adik perempuan. Selama ini dia sendirian. Hatinya sangat lembut. Dia pasti menyayangimu juga."
"Oh, Ryan." Emily berusaha tertawa dan itu membuat setetes air mata Emily meluncur cepat dari pipinya. "Maaf aku mengataimu, tadi. Yah, meskipun itu ada benarnya. Tapi... kau adalah kakak terbaik. Aku yakin kau bisa menjadi suami yang baik nantinya."
Ryan tersenyum. "Terima kasih."
Emily mengangguk.
"Mau ikut? Aku akan mengenalkan Diana pada Adrian dan Paman Dave. Pikirmu, mana yang lebih dulu?"
"Uh... bukankah, ayahmu harus tahu lebih dulu?"
Ryan mengangguk. "Benar."
"Wow! Kita akan berpergian bersama? Itu asyik."
"Ya, kita akan pergi ke sana untuk makan malam. Kita berangkat sepulangku dari kantor. Dan, oh, jangan lupa bereskan semua kekacauan tadi, Em. Kau tetap tak bisa lari dari itu."
Emily cemberut dan Ryan tertawa seraya mengusap kepala adiknya penuh sayang.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top