SO - BAB 16
Seember es krim dan tiga batang cokelat belum mampu mengubah suasana hati Diana. Ia tak tahu mengapa menjadi uring-uringan dan menginginkan banyak gula. Ia menginginkan semua makanan manis dan pria tampan jarang tersenyum bernama Ryan Archer. Ia bisa memasak sampai ia puas tapi ia bersyukur menteganya habis dan mini market lantai dasar kehabisan mentega dengan merek yang sama―merek dengan harga lebih mahal tidak dipertimbangkan.
Betapa kebetulannya itu? Setidaknya Diana memang tidak ditakdirkan untuk memanggang kue banyak-banyak dan memenuhi dapurnya dengan beragam kue tanpa ingin ia makan. Ia pun menyadari bahwa ia ingin memasak untuk mengalihkan pikirannya dari si misterius Ryan Archer yang menawan.
Astaga, jika ada satu makanan yang lebih menggiurkan dari Ryan, Diana akan melesat untuk membelinya dan memakannya di tempat.
Diana tidak mengerti mengapa bayangan Ryan yang berkencan dengan wanita lain terasa janggal. Diana sulit menelaah hatinya ketika emosi bercampur aduk dalam dirinya. Kerinduan, cinta, pemujaan.
Sial, Diana mengakuinya. Diana memang telah jatuh cinta pada seorang Ryan Archer. Ia tak ingat kapan tepatnya ia menyadari ini, namun hari-harinya memang terasa menyenangkan sejak ada Ryan dan semuanya akan terasa aneh jika sehari saja tidak melihat senyum Ryan.
Diana tidak pernah berteman dan ia menganggap Ryan adalah temannya. Ia tak pernah diperhatikan dan menganggap Ryan pelindungnya akibat sikap protektif pria itu yang berlebihan. Ia tak pernah punya teman berdebat selain ayahnya yang kini telah tiada, tapi pria menyebalkan kadang-kadang boleh juga.
Diana hampir menyukai segala hal yang ada pada diri Ryan.
Sekarang membayangkan kemungkinan bahwa urusan bisnis Ryan hanya kedok untuk menjauh dari Diana dan menjalin hubungan normal dengan wanita yang lebih berpotensi menjadi Nyonya Archer membuat hati Diana terpilin.
Sebelumnya ia tak pernah menyesal selalu pulang cepat untuk membantu toko ayahnya, namun saat ini ia mengutuk mengapa ia tak pernah tahan terjebak lima menit saja berada di obrolan para gadis yang membicarakan sesuatu tentang busana terbaru atau riasan trendi. Setidak-tidaknya di masa depan Diana akan terlihat lebih menarik di mata pria. Atau Ryan bisa sedikit meliriknya selain sebagai tukang masak.
Ironi sekali kehidupan asmaranya. Pria dewasa―yang sangat-sangat dewasa―seperti Ryan, pastilah mengharapkan wanita yang bisa mengimbanginya. Bukan wanita yang bahkan tidak bisa menahan ikatan rambutnya lebih dari satu jam.
Diana tak pernah merasa minder ketika teman-temannya menikmati masa remaja, dan dirinya terjebak di toko roti menanti pelanggan. Diana tak pernah merasa iri setiap kali orang-orang dengan ego besar memamerkan kemesraan. Tapi kali ini, Diana merasa sangat kecil hingga rasanya ingin menyembunyikan dirinya sendiri.
Kemudian pintu terketuk keras dan Diana menebak kemungkinan terbesar bahwa itu adalah Emily, adik Ryan yang punya kemampuan bicara paling terbuka daripada kebanyakan orang yang Diana kenal. Gadis punk itu sudah menggedor tiga kali apartemennya hanya karena lapar dan tak tahu nomor restoran pizza yang bisa ditelepon. Kemudian pada ketukan kedua ia mengeluh karena Ryan tak punya susu. Terakhir kalinya ia mengeluh karena tak punya rupiah di kantongnya.
Karena suasana hati Diana saat ini sedang buruk, Diana menjadi jahat karena menyesali tawaran basa-basinya yang mengatakan Emily tinggal mengetuk jika butuh bantuan.
Sekarang apa lagi?
Diana berusaha memasang senyum palsu di balik pintunya. Diana tidak ingin Emily mengetahui bahwa ia sedang patah hati karena kakaknya yang sangat tampan dan kaya raya. "Ada sesuatu yang bisa kulakukan lagi, Em―"
Kata-kata Diana menggantung.
Sial. Ini tidak mungkin terjadi pada diri Diana. Sekarang semua orang terlihat seperti Ryan yang tersenyum menggoda. Bibirnya tertarik dan itu seperti sebuah undangan cium aku. Siapa sangka patah hati itu memang mengerikan?
"Aku tidak mabuk," rapal Diana pada dirinya. Ia ingat betul bahwa yang baru saja ia makan adalah es krim vanilla. Rasa manisnya masih terasa di lidah dan Diana tidak menyentuh alkohol. Dia tidak pernah menyentuh alkohol. Dia belum pernah mabuk. "Ini tidak nyata."
Ryan tertawa. "Astaga, aku nyata, Diana. Dan... halo lagi. Senang bertemu denganmu."
Diana berharap ia terlihat lebih menarik. Ia patah hati, baru saja meratapi, dan sedang tidak siap untuk menghadapi siapapun. "Uh, hai. Kupikir kau kembali besok lusa."
Ryan hanya tersenyum. "Boleh aku masuk?"
Diana ingin menyahut cepat, bahwa ia tak ingin Ryan masuk karena apartemennya sedang dipenuhi suasana patah hati. Tapi ia teringat bahwa Ryan memiliki tempat ini, jadi Diana tak punya hak. Ia hanya membuka pintu lebih lebar untuk Ryan.
Diana tidak cukup cepat untuk menyingkir dari jalan, tiba-tiba tubuhnya sudah melayang karena Ryan membopongnya. Diana memekik, tak yakin apakah itu protesan atau tawa senang. Ryan membawa tubuh mereka sofa. Diana suka sekali berada di sofa bersama Ryan. Pria itu menciuminya dengan penuh hasrat. Kerinduan terasa di setiap kecupan mereka. Setiap lumatan hanya membuat Diana semakin mencintainya. Pelukan Ryan terasa hangat dan aman, Diana ingin selamanya berada di sana.
"Aku merindukanmu," bisik Ryan di bibirnya.
Diana menahan diri supaya tidak memeluk Ryan kuat-kuat karena terlalu senang dengan keberadaan Ryan. Ia hanya tersenyum dan Ryan mengusap bibirnya dengan ibu jari. Seketika perasaan rendah diri itu menguap ketika mata gelap Ryan menatapnya dengan sorot berbinar.
"Tiga hari itu mengerikan, Diana. Aku tak mau berada di neraka itu lagi." Ryan mengecup lagi. Lidahnya melumat lagi dan Diana membalas. Ciuman Ryan sangat akrab dan begitu ia dambakan.
"Bagaimana bisnisnya?" tanya Diana. Ia menelan pertanyaan lain seperti, bisnis apa yang sebenarnya kau lakukan? Apakah berkaitan dengan wanita dewasa?
"Kau tidak akan tertarik dengan cerita itu."
Diana tertawa ketika Ryan cukup mampu membacanya. Ryan ikut tertawa dan suasana di antara mereka menghangat. Diana sempat bertekad untuk sekedar memberi jarak, tapi rasanya mustahil sekali ketika mereka terasa sangat pas bersama-sama seperti ini.
"Kau sudah bertemu adikku?"
Diana mengangguk. "Dia pasti suka musik rock."
Ryan tertawa, melengkapi hari mengerikan yang Diana lewati tanpa tawa Ryan. "Sulit untuk tidak terlihat."
"Mau bercerita sambil makan malam?"
Ryan menaikkan alisnya. "Aku sudah memakan pizza dari Emily. Aku tidak percaya dia memesan sebanyak itu padahal dia hanya seorang diri. Astaga, dia bahkan tidak membaginya padamu. Kulkasku akan penuh dengan pizza besok pagi."
Diana tertawa. Daripada mendapat gedoran tak menyenangkan lagi, Diana pikir pizza itu lebih baik beku saja.
Ryan meneliti karpet di bawah sofa yang kacau balau karena bungkus cokelat yang bertebaran. "Selain itu, aku sedang melihatmu bersenang-senang dengan makanan jahat."
Diana merona.
"Mau bercerita saja?" tanya Ryan. Ia membenarkan posisinya menjadi berbaring sambil memeluk Diana. Ia mengusap puncak kepala Diana, rasanya benar-benar seperti di surga. "Apa yang terjadi selama aku tak ada?"
Diana berpikir sejenak. "Apa yang kau harapkan? Aku sudah menceritakannya di telepon. Dan, yah, tak ada yang menarik selain berjualan kue dan aku benci bahan makanan yang habis saat dibutuhkan."
"Apakah kita perlu belanja bersama?"
Belanja bersama adalah satu hal yang belum pernah mereka lakukan. Itu bagus.
"Kau akan bosan berbelanja," jawab Diana seraya tersenyum geli.
Ryan mendengus geli. "Diana, aku sudah bertahun-tahun hidup sendiri. Itu bisa dijadikan satu dengan saat aku SMP dan ibuku harus bekerja penuh. Lalu aku punya adik dan ayahku punya pekerjaan yang mengharuskannya keluar. Aku sering berbelanja, oke? Itu akan menyenangkan."
Benar. Mungkin itu adalah sesuatu yang baru untuk hubungan mereka. Itu akan menyenangkan. Ryan mendorong troli, Diana memilih barang-barang. Hebat, sangat serasi.
Tunggu. Hubungan macam apa yang Diana maksud?
"Kau sependapat?" tanya Ryan. Suara Ryan begitu menggoda. Udara keluar dari bibirnya dan menerpa kulit tengkuk Diana. "Itu akan jadi hal yang cukup bagus, kan?"
"Ya," gumam Diana.
Lengan Ryan memeluknya erat-erat. Pria dibelakang punggungnya mulai menciumi belakang lehernya. "Apa yang kau pikirkan tentang ini?"
"Apa?" balas Diana setengah mendesah.
"Disebut apa ini? Berbalas rindu? Bercumbu?"
Diana merona dan memejamkan matanya. Ryan berhasil merenggut udara di sini dan Diana mulai tersengal.
"Aku tak bisa berhenti menyentuhmu."
Benar. Begitu saja. Diana juga tak mau Ryan berhenti.
"Aku sangat suka sekali menciummu. Aku tidak berbohong bahwa aku ingin lebih."
Jika pria itu menginginkannya sekarang juga, Diana tak akan berpikir dua kali. Rasa menggelitik di antara pahanya membuatnya mengerang tak keruan. Ryan tahu betul cara menyenangkan wanita.
"Kau selalu bearoma kue. Pernahkah aku bilang begitu?"
Diana menggeleng. Diana tak tahu apakah itu jenis pujian atau tidak. Tapi Ryan mengendusnya seperti orang kecanduan, Diana beranggapan itu hal baik.
"Kau baik-baik saja jika aku mencumbumu di sofa?" tanya Ryan.
Diana membuka mata dan bingung menjawab ketika Ryan terdiam untuk menantinya. Ia malu untuk mengungkapkan betapa inginnya Diana diperlakukan manis oleh Ryan.
Hidung Ryan menggoda telinganya. Gelenyar geli berkumpul di kepalanya hingga panas menjalari tubuhnya. "Jawab aku, Diana."
"Y-ya."
Kendati Diana menjawab ragu-ragu, Ryan membalas mantap. "Bagus." Ia meraih wajah Diana, membuat wanita itu memutar kepala hingga bertemu wajah dengan pria itu. Bibir mereka menyatu, lidah saling membelai. Sofa menjadi sangat sempit. Tangan Ryan di seluruh tubuhnya. Setiap incinya berharap disentuh oleh Ryan.
Jemari Ryan panjang dan begitu menggoda. Ryan menunjukkan betapa lihainya jemari itu ketika menyusuri pahanya yang terekspos karena ia mengenakan celana pendek. Jemari itu seolah punya kutub berlainan dengan paha Diana. Paha Diana terbuka dengan sukarela karena tersengat gairah.
"Kita belum pernah melakukan ini," bisik Ryan. "Tidak pernah sejauh ini."
Diana meneguk ludah. "Y-ya." Diana menyetujui. Mereka berciuman, berpelukan, tapi tak pernah menyentuh daerah sensitif hingga berpotensi membuat mereka tak mau berhenti.
Ryan menjauhkan wajahnya. Ia menatap Diana dalam-dalam. "Mengapa kau sangat terbuka untukku?"
"Uh..." Diana kehilangan setiap kata di kepalanya. "Aku... menginginkanmu, Ryan." Diana tak tahu bagian diri mana yang bicara seperti itu.
Ryan menggeram. Ia mencium Diana lagi. Ciuman itu berakhir dengan Ryan yang meletakkan dahinya di dahi Diana. "Apa yang kau pikirkan tentangku?"
"Kau perlu seseorang untuk menilai diri?"
Ryan tertawa.
"Aku... tidak tahu. Kau hanya... terasa sangat menyenangkan. Ya, aku tahu kau beberapa kali bersikap menyebalkan. Tapi aku juga punya sisi menyebalkan."
"Oh, ya." Ryan terkekeh. "Kau menendangku saat tidur, tiap kali kau kelelahan."
Diana merona ketika kebiasaan tololnya diungkit.
Ryan tersenyum lembut. "Aku bicara dengan Emily."
Oh, astaga, ganti topik lagi. "Kenapa?" tanya Diana perhatian.
Ryan menatapnya. "Dia gadis cerdas, kau tahu? Dia mengajukan pertanyaan sulit. Aku tidak sanggup menjawabnya ketika berada di hadapannya."
Mata Ryan masih menatapnya, meski begitu Diana merasa suasananya telah berubah sejak Ryan menyebut adiknya seperti orang ketiga.
"Apa yang ditanyakannya?" tanya Diana antusias.
"Dia bertanya..." Ryan menjilat bibirnya. "Apakah aku sanggup melalui satu hari tanpamu? Mampukah aku kehilangan setiap kebiasaan yang kita lakukan bersama? Bisakah aku bertahan untuk tidak menyentuhmu, atau tidak melihat senyummu, atau tidak memakan masakanmu?"
Mata Diana balas menatap Ryan.
Ryan tersenyum. "Jawabannya baru saja terlintas. Astaga. Aku idiot sekali tidak menyadarinya sejak awal atau membuat ini menjadi lebih benar, Diana. Jawabannya tidak bisa. Demi Tuhan, aku jatuh cinta padamu dan aku tak bisa membayangkan jika tak ada kau dihidupku."
Diana mengatupkan mulutnya dan menahan pekikan. Matanya berbinar dan Ryan semakin tampan ketika menyatakan cinta.
Ryan jatuh cinta padanya.
Pada Diana.
Perasaan Diana berbalas.
"Aku adalah pria tiga puluhan yang sangat konvensional. Ibuku berkata bahwa menjadi bajingan adalah hal terlarang. Aku ingin menyentuhmu tapi aku bisa menahan itu hingga batinku tersisa. Supaya kau tidak mengalami hal buruk. Supaya aku tidak menjadi seburuk ayahku.
"Tapi aku tetap pria yang ingin menandai miliknya. Aku ingin memilikimu. Aku ingin menyingkirkan semua orang ketika terlalu dekat denganmu. Aku ingin dirimu, Diana. Ini mungkin terdengar konyol, tapi aku berharap aku telah mengatakan semuanya dan cukup mengesankanmu. Apakah kau mau menikah denganku dan mengulangi rutinitas kita dengan status baru sebagai istriku?"
Sial. Initerlalu banyak. Ciuman. Cumbuan. Sentuhan. Pernyataan cinta. Dan apakah yangsatu tadi disebut lamaran?[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top