SO - BAB 15

Jangan lupa support dengan vote dan komentar :D

Enjoy!

Perasaan Ryan menggebu-gebu begitu gedung apartemennya mulai terlihat dari kejauhan. Ia berharap taksi yang ia tumpangi bergerak lebih cepat meski Ryan sendiri yakin taksi ini telah melaju wajar. Tapi memberikan kejutan untuk seseorang memang terasa seperti ini. Ryan membayangkan reaksi Diana ketika melihatnya di depan pintu. Ryan berharap wanita itu merindukannya seburuk yang Ryan rasakan. Ryan ingin mendapatkan sebuah pelukan menerjang akibat kerinduan menumpuk selama tiga hari.

Mungkin Diana memang akan melakukan itu. Diana cenderung dengan mudah mengekspresikan emosinya. Mereka belum pernah terpisah untuk waktu yang lama, dan tiga hari itu terasa seperti selamanya.

Ryan bersyukur tidak ada kendala dalam penerbangannya. Jadi ia tiba tepat waktu dan kejutannya mungkin akan berjalan lancar. Ketika taksi tiba di lobi apartemen, Ryan segera membayar tanpa memedulikan uang kembalian. Ia segera melesat memasuki lift dan menyapa petugas apartemen yang lalu lalang sekenanya. Lantai empat tak pernah terasa begitu lama untuk dicapai. Kemudian senyum Ryan mengembang ketika pintu terbuka di lantai apartemennya.

Ryan mengetuk pintu keras-keras dan bersiap di dinding supaya Diana tidak melihat siapa yang datang dari lubang pengintai. Tidak butuh waktu lama hingga pintu itu terbuka dan Ryan membuka tangannya untuk menunjukkan keberadaannya. Ia telah bersiap dengan sebuah pekikan yang Diana lontarkan, namun bahunya merosot ketika yang membuka pintu bukanlah sosok yang ia harapkan sejak ia berencana pulang hari ini.

"Oh... hai... kau pulang hari ini?" sahut Emily datar. Ia membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam lebih dulu.

Tunggu. Kenapa Emily?

"Emily?!" pekik Ryan. Alih-alih si pembuat kejutan lah yang terkejut dengan keberadaan adiknya yang sudah berbulan-bulan terpisah darinya. "Kau... sungguhan Emily?"

Emily menjatuhkan diri ke sofa dan mengambil makanan ringan tak sehat ukuran besar yang telah terbuka, lalu memakan isinya seraya menatap televisi tanpa fokus pada Ryan. "Yap. Apa kau lupa dengan wajah adikmu sendiri?"

"Tentu saja tidak!" sahut Ryan. Ia menjatuhkan tas kecilnya dan memandang berkeliling. "Dan di mana Diana?" Teringat bahwa Emily mungkin tak tahu orang yang Ryan maksud, Ryan mendeskripsikan. "Perempuan dengan rambut panjang dan beraroma kue hangat."

Emily mengernyit. "Aku tidak mengendusnya. Aku tahu siapa Diana dan kau tidak perlu menyebutkan aroma tubuhnya seolah aromanya bisa kaukenali karena kau menciuminya setiap saat." Emily berhenti dan melirik Ryan. "Atau memang begitu?"

Ryan mengabaikan pertanyaan menjebak Emily. Ia bersikeras mengapa Diana tak ada di sini padahal setiap kali Ryan menelepon, wanita itu selalu di sini. "Jadi di mana dia?"

Emily memutar mata dan mengalihkan pandangannya lagi. "Bukankah dia tinggal di 401?"

"Biasanya dia di sini."

"Mengapa dia perlu di sini?" Emily mengernyit. Ia menatap penuh pada Ryan kali ini. "Kau tidak bertemu aku selama hampir satu tahun, tapi kau menanyakan Diana begitu kau menginjakkan kaki di sini? Kau ini kenapa?!"

"Astaga!" Ryan tertawa. Ia menjatuhkan diri di samping adiknya dan memeluk kuat-kuat. "Aku sangat merindukanmu, Em. Aku hanya sulit percaya kau di sini. Bagaimana kau bisa di sini?"

Emily menarik diri dan menjauhkan wajah Ryan yang terlalu dekat dengannya. Dalam hati Ryan dirundung kesenangan karena adiknya mulai mengenal batasan dengan pria dan sudah dipastikan Emily tahu bagaimana cara menjaga diri jika terlalu dekat dengan pria, tetapi ia harus menelan rasa kecewanya karena tidak bisa memperlakukan Emily-nya seperti gadis kecil lagi. "Untuk dicatat, aku berusia tujuh belas. Aku punya paspor dan visa. Aku punya SIM dan aku hanya perlu duduk di pesawat selama dua puluh jam sialan saja untuk mencapai tempat ini. Aku tidak butuh bantuan siapapun lagi untuk tiba di sini. Aku merasa cukup mandiri dan kau tidak perlu mengkhawatirkanku seolah aku belum tegak berjalan."

Ryan menatap adiknya. Sekarang gadis itu bisa membalas setiap perkataan Ryan dan Ryan mengerti mengapa melepaskan seorang gadis terasa begitu berat. "Itu terlalu panjang untuk dicatat. Biasanya sekretarisku, Sarah yang melakukan itu untukku. Aku kutelepon dia nanti."

Emily mendengus. "Kupikir kau memang pulang dua hari lagi. Diana yang berkata begitu. Aku hampir mengubah tempat ini menjadi milikku dalam semalam. Aku mungkin bisa bersenang-senang sejenak, tapi sial, aku belum sempat keluar untuk membeli alkohol dan kau sudah di sini."

Ryan mengernyit. "Kau minum alkohol? Kau bahkan belum genap dua puluh satu."

Emily berkedip jahil. "Kehidupan asrama tidak selamanya teratur."

Ryan menghela napas. "Aku tahu jadinya akan seperti itu. Sudah kukatakan pada ayah bahwa membawamu ke asrama bukanlah ide bagus. Lihat dirimu, memangnya dari mana kau bisa menindik lidahmu seperti itu? Ya Ampun!"

"Ryan, SMA sudah berakhir. Ini hadiah kelulusan."

"Tindik bukanlah hadiah kelulusan!" Ryan mengerang namun ia tahu adiknya sangat keras kepala dan tidak bisa dibantah. Mereka berasal dari rahim yang sama, jadi tidak mengherankan sifat mereka serupa.

Emily tertawa lalu menjauh dari sekitar Ryan. Sebagai kakak, Ryan merasa miris mengapa adiknya memilih jalan semacam itu di masa remajanya. Kepribadian yang keras membentuk Emily. Ryan maklum saja jika Emily tidak punya cerminan menjadi anggun dan feminim karena ia tak pernah punya padanan untuk menyesuaikan perilaku itu. Emily tak pernah mengenal sosok keibuan karena ia tak pernah mengenal ibunya sejak lahir.

Emily lebih banyak menghabiskan waktunya bersama para pria. Dia menjadi gadis terkuat dan paling kukuh pendirian sebab orang-orang disekitarnya juga seperti itu. Salah satu alasan William Archer, ayah mereka, memasukkan Emily ke asrama supaya Emily punya pergaulan yang lebih layak bersama gadis-gadis. Tapi sepertinya, cara itu juga kurang efektif.

Ada apa sih dengan remaja jaman sekarang?

"Omong-omong, Paman Mike menyuruhku memastikan bahwa kau memang berkencan dengan seseorang. Aku berada di libur panjang dan kau bisa mengagendakan pertemuan kita bersama si teman kencanmu itu kapan pun kalian mau. Aku ingin tahu, bagaimana reaksinya ketika melihat adik seorang Ryan Archer adalah seorang gadis punk yang punya banyak kejuaraan bela diri."

Ryan bersemu mendengar itu. Sesungguhnya saat itu ia hanya asal bicara dan berharap dustanya tak akan terendus karena mereka berjarak dua benua berlainan, tapi nyatanya, Ryan tak cukup baik menghindar dari itu. Kini adiknya berada di sofa yang sama untuk menyerbunya.

"Tidak. Tidak," sahut Emily. "Aku tahu apa arti wajah itu. Kau sedang berpikir. Aku tidak menerima semua omong kosongmu tentang kencan gadungan."

Ryan mengendikkan bahu. Ryan tidak punya daftar wanita yang akan ia kencani. Satu-satunya wanita yang ia pikir cocok mengenakan gaun dan duduk di seberangnya untuk menikmati makan malam berdua hanyalah Diana. "Yah, kau tidak perlu sebuah perkenalan resmi. Kau sudah tahu siapa orangnya."

Emily tak perlu berpikir lama untuk menjawab teka-teki Ryan. Gadis itu mengangguk, kemudian matanya menerawang seperti berpikir. "Jadi... kencan macam apa yang kau lakukan dengan Diana? Apakah itu sebuah makan malam dengan alunan musik romantis?"

Ryan sempat memikirkan itu. Tapi Diana tak pernah terkesan. Ryan lebih memilih Diana yang menggunakan celana pendek yang memamerkan paha, kaos yang mencetak tubuhnya, wajah natural ala rumahan, dan mereka duduk di sofa ruang utama. Mereka bisa saling bersandar dan merilekskan tubuh di sofa empuk. Mereka akan makan sambil bicara dan Ryan akan bertahan dengan itu selama berjam-jam, kemudian melakukan itu lagi di malam berikutnya dan ia tak pernah bosan. Mereka juga mendengarkan lagu-lagu. Segala macam lagu, termasuk lagu romantis. Diana punya kepercayaan diri yang cukup kuat dan ia punya suara pas-pasan. Diana tak ragu untuk menyanyi dan Ryan sesekali tertawa ketika Diana tersedak disela senandungnya.

Tapi Ryan ragu jika itu yang dimaksud adiknya dengan berkencan.

"Yah... kami... makan malam."

"Dan?" Sepertinya Emily cukup jeli menilai Ryan.

"Dan kami juga mendengarkan lagu romantis," tambah Ryan, membela diri.

"Oke." Emily mengangguk. "Dan kenapa sesuatu itu tidak membuat Diana berpikir bahwa itu sebuah kencan?"

Oh. Bagus. Jadi Emily sudah tahu lebih banyak tentang Diana dan sejauh mana hubungan mereka berdua. Itu bisa jadi pertanda buruk.

"Ryan, begini, ya." Emily membenarkan posisi duduknya. Ia menatap kakaknya prihatin. "Aku tahu aku masih tujuh belas dan aku belum pernah merasakan kencan karena ayah dan kakak laki-lakiku akan membunuh si laki-laki impian itu lebih dulu sebelum menjemputku. Tapi aku ini juga seorang cewek. Tidak peduli jika aku mendengarkan lagu rock, aku tetap menyukai sesuatu yang romantis. Aku tinggal bertahun-tahun bersama cewek-cewek dan omong kosong mereka tentang kencan, cinta pertama, dan lain-lainnya; aku cukup tahu apa yang dirasakan cewek."

"Kau tidak perlu mengingatkanku. Aku tahu apa yang diinginkan cewek. Angela meminta banyak hal dari waktu ke waktu. Kau juga. Seolah belum banyak saja cewek-cewek yang meminta ini-itu dariku."

Emily mendengus. "Sekarang kau terdengar kolot."

"Aku tidak kolot. Aku juga berusaha untuk menyenangkanmu. Itu butuh usaha keras juga untuk mengerti apa yang kau inginkan."

Emily menggeleng tak setuju. "Tahu apa kau? Kau ini tiga puluhan, tidak berkencan, tidak tahu cara mendekati wanita, dan tidak tahu cara berkencan."

"Kenapa semua orang berusaha mengolokku dengan itu?" tanya Ryan tidak terima. "Aku cukup tahu tentang hal itu."

"Karena Ayah yang bilang, jika kau tidak menurunkan egomu seperti yang Ibu lakukan, selamanya kau tidak akan menyadari bahwa kau membutuhkan seseorang."

Ryan tersentak. Ia menatap Emily yang menatap dalam-dalam padanya. "Mengapa Ayah bercerita tentang Ibu?"

Emily menjatuhkan punggungnya ke sofa. "Jadi mereka membicarakanmu yang terkesan mulai gila dengan semua omong kosong perusahaan. Ayah mulai mencari kesamaan antara kau dan ibu." Ia mengangkat bahu. "Yah, aku juga paham mengapa kita punya keinginan yang sama. Maksudku, aku tidak melihat apa gunanya punya teman kencan atau pacar. Kau hanya bersenang-senang untuk satu hal yang jelas-jelas akan membuat hidupmu makin buruk. Seperti katamu, kan, cowok di usiaku hanya berpikir tentang seks dan aku bisa hamil kapan saja. Aku tidak siap menjadi ibu. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi ibu. Itu berhasil membawaku lulus SMA dan masih perawan."

Ryan tersenyum.

"Kita hanya terlalu mandiri dan merasa bisa mengatasi semuanya sendiri, Ryan. Tapi kenyataannya tidak. Semua orang butuh tempat berbagi dan sokongan. Saat ini, aku berpikir cowok di luar sana sama sekali tidak berguna ketika aku punya Ayah dan kakak yang hebat, tapi aku tak mau terus-terusan berpikir seperti itu. Rasanya mengerikan hidup sendirian, kan? Aku mulai khawatir meninggalkan Ayah sendirian. Jadi aku akan mengambil kuliah di New York saja dan menjadi anak Ayah."

Emily mungkin ada benarnya. Ibunya adalah seorang yang hebat dan mandiri. Sebelum menikah dengan William Archer, Emilia Joseph mampu menghidupi dan membesarkan Ryan seorang diri. Ibunya tak pernah ingin dikasihani atau bahkan dianggap lemah karena menjadi ibu tunggal di usianya yang sangat muda. Itu mungkin saja menurun pada Ryan dan Emily.

Ryan masih ingat betul bagaimana sulitnya seorang William Archer yang mendekati seorang wanita beranak satu. Sekarang, Ryan dan Emily juga punya bakat sulit didekati.

"Dan kau," lanjut Emily. "Kau butuh seseorang, Ryan. Sayangnya, kau sangat tolol saat mendekati seseorang."[]

Apakah SO akan end akhir tahun nanti? Hahaha!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top