SO - BAB 13

Jangan lupa support cerita ini dengan vote dan komentar :p

"Apa yang kau masak?" tanya Ryan.

"Panekuk."

Ryan mengerang. "Sial. Ini sudah ketiga kalinya dalam minggu ini kau memasak makanan itu."

Diana tertawa dan hati Ryan menghangat. Tawa itu selalu punya efek khusus untuknya. "Aku mungkin tak akan memasak panekuk lagi minggu besok."

"Jangan," cegah Ryan. "Tetap masak makanan itu. Aku suka panekukmu sebagai menu sarapan."

"Ada seseorang yang berkomentar bahwa panekuk buatanku terlalu manis."

Ryan tertawa mendengar sindiran Diana. Wanita itu sering kali bertanya pendapat Ryan tentang masakannya. Ryan tidak bisa memungkiri bahwa masakan Diana selalu lezat di lidahnya. Meski begitu Diana tak pernah percaya dengan pujian Ryan. Wanita itu memaksa Ryan supaya memberikan kritik. Jadi ketika Ryan memakan panekuk buatan Diana, Ryan asal bicara dengan berkomentar bahwa makanan itu terlalu manis.

Tapi mereka berdua pun tahu, Diana tak akan pernah mengubah resep ayahnya.

"Panekukmu memang terlalu manis. Tapi itu fantastis. Menu yang manis. Pembuat kue yang manis. Semua itu membuat pagi hariku menjadi manis."

Diana tertawa lagi. "Nah, kepergianmu kali ini membuatmu semakin pintar mengumbar kalimat tidak penting, ya?"

"Kenapa protes? Kau menyukainya," goda Ryan. Ia membayangkan wajah Diana yang mungkin merona di seberang sana hingga Ryan tak tahan lagi untuk menciumnya.

Tapi sial, kenapa Ryan harus terpisah ribuan kilometer jauhnya dengan wanita itu?

Jika bukan karena rapat bersama investornya, Ryan mungkin sedang di sofa sambil menikmati masakan Diana, berbincang tentang hal-hal menarik yang terjadi kemarin. Sekarang Ryan justru sedang duduk di teras hotel yang sudah beberapa hari menjadi tempatnya menginap, seraya menunggu Deanita yang berenang.

Astaga! Kenapa Ryan perlu menonton wanita itu berenang? Deanita hanya bisa membuang waktunya saja. Ia turun ke sini karena Deanita yang memintanya begitu, tapi wanita itu benar-benar sedang menguji kesabarannya. Beruntung Diana meneleponnya pagi ini, sehingga suasana hati Ryan menjadi sedikit lebih baik.

Dasar sepupu sialan.

"Ryan?" panggil Diana di seberang sana.

"Ya?"

"Di mana mentegamu?"

"Uh..." Ryan berpikir sejenak. Ryan tidak ingat jika ia punya mentega. Jika diingat-ingat lagi, selama beberapa bulan ini memang Diana yang selalu berbelanja karena wanita itu bersedia memasak untuknya. Jadilah Diana selalu memasak di apartemen Ryan daripada apartemennya sendiri. "Mana kutahu. Aku tidak pernah meletakkan mentega."

"Mentega yang biasa kuletakkan di bar dapur habis," gerutu Diana.

"Berarti memang menteganya habis."

"Astaga! Apa jadinya panekuk tanpa mentega?!"

Ryan melihat Deanita yang muncul dari air dan segera naik ke tepian. Wanita itu tersenyum pada Ryan, namun Ryan memasang wajah keras tak bersahabat. Ketika Deanita mengalihkan pandangan untuk mengenakan handuknya, Ryan berusaha mengakhiri panggilan Diana supaya Deanita tidak ikut campur dengan urusannya.

Ryan berdeham supaya Diana menghentikan kalimatnya tentang buku-buku Ryan yang tengah Diana baca. Meski Ryan ingin mendengarnya, tapi untuk saat ini, Ryan tak mau Deanita tahu banyak tentang wanita yang sedang dekat dengannya. "Uh, Diana. Aku harus menutup teleponnya. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Sampai jumpa. Aku merindukanmu."

"Kau tak mau berenang?" tanya Deanita yang sudah berdiri di depannya dengan wajah basah. Ia meraih jus jeruk yang sudah tersedia sejak Ryan datang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi santai. "Bisnisnya selesai. Saatnya bersenang-senang, Ryan."

"Aku sedang tak ingin berenang," kata Ryan.

Deanita meletakkan jusnya dan menatap pada Ryan. "Bersenang-senang. Kau tahu makna kata itu, kan? Bersantailah sedikit. Malam nanti kita bisa ke klub. Kau mencari wanita, aku mencari pria yang bisa kukencani."

"Caraku bersenang-senang bukan dengan ke klub dan berenang."

Deanita memutar mata. "Dasar kaku."

"Sebaiknya kau punya alasan cukup bagus mengapa kau memaksaku ke sini dan kau justru berenang ketika aku tiba. Aku tidak berniat turun hanya untuk menontonmu!" cecar Ryan.

Deanita mengendikkan bahu. "Kita sedang liburan. Aku sedang berusaha mengajak saudaraku yang sangat kaku dan membosankan untuk bersenang-senang―menikmati hidup. Mungkin kita bisa menyisipkan sedikit obrolan bisnis. Intinya kita bisa menurunkan ketegangan."

Ryan mendengus. "Jika aku punya waktu liburan, maka akan kugunakan untuk mengunjungi ayah dan adikku di Amerika. Jika kita tidak punya lagi urusan di sini, sebaiknya kita pulang saja ke Jakarta."

"Ryan, ini Lombok. Tempat ini adalah surga untuk menenangkan diri dan pikiran. Gunakan itu untuk menjernihkan pikiranmu."

Ryan tidak mengerti mengapa Deanita tiba-tiba mengajaknya untuk bersenang-senang. Seolah-olah hubungan mereka sudah cukup baik sejak dulu, padahal tidak demikian. Ryan tidak pernah mengenal sepupunya itu. Mereka baru benar-benar mengenal, setelah sang kakek memperkenalkan Ryan sebagai pemegang Salendra Group yang baru. Namun Deanita sudah bersikap ketus sejak hari itu. Ryan masih mengingat Deanita berusia delapan belas yang terang-terangan menatap penuh kebencian.

Yang satu ini tentu sesuatu yang baru untuk seorang Deanita Salendra. Ryan pun sebaiknya ia tidak tergiur dengan apapun yang Deanita inginkan.

"Rapatnya sudah selesai, artinya kita juga sudah selesai berada di sini."

Deanita melongo tak percaya. Tiba-tiba saja wanita itu membuka baju handuknya dan memperlihatkan tubuh mulusnya yang hanya berbalut bikini. "Apa yang kau pikirkan tentang ini?"

Ryan mengernyit. Ia tak mengerti dengan apa yang dibicarakan sepupunya itu. "Pakaian renang."

"Seksi!" koreksi Deanita.

Ryan bungkam. Ia hanya menatap tajam pada Deanita. Ia sama sekali tidak berpikir sepupunya itu seksi.

"Kau benar-benar punya masalah seksual, kan?"

"A-apa?" Ryan terkejut dengan tuduhan Deanita. Wanita ini sudah sering mencercanya dengan banyak hal. Ia juga selalu berusaha mematahkan kepercayaan diri Ryan. Tapi Ryan tak percaya sepupunya mengoloknya seperti itu.

Deanita menutup kembali tubuhnya. Ia mendengus pada Ryan. "Aku sedang berusaha memperbaikimu ke jalan seharusnya. Aku tak tahu apakah kau impoten, atau kau tak berpengalaman, atau kau sangat payah dalam mendekati wanita, atau bahkan kau punya selera yang tidak lazim―laki-laki, misalnya."

Ryan tercengang mendengar ucapan Deanita hingga ia kehilangan kata-kata.

"Itu mencoreng nama Salendra, oke? Aku tak peduli dengan siapapun nama belakangmu atau dari mana kau berasal. Aku tak suka nama belakangku dikaitkan dengan rumor seorang gay yang memimpin kantor kita."

"Aku bukan gay!" tukas Ryan. "Kau sama sekali tak tahu kehidupanku dan kau tak berhak ikut campur urusan dengan siapa aku tertarik."

Deanita berdecih. "Lalu apakah kau punya pacar saat ini? Saat kuliah? Saat SMA?"

"Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu," ujar Ryan sinis.

"Kau bahkan tak bisa menjawab pertanyaanku!"

"Aku tak mau menjawab karena aku bisa!" Sebenarnya Ryan lebih tak ingin Deanita mengoloknya menjadi-jadi. Ryan memang tak pernah punya pacar sekalipun. Ia sangat awam dengan urusan romansa. Itu pula yang sedang ia biasakan ketika sedang bersama Diana. Ia bahkan tak yakin bisa menyebut Diana sebagai pacarnya.

Deanita bungkam mendengar bentakan Ryan. Rautnya kentara sekali tengah sebal, namun ia hanya mengalihkan pandangannya ke kolam renang sebelum bicara. "Aku tak mengerti mengapa kakek memilihmu. Kau bahkan tidak mengambil kuliah bisnis sebelum kakek memaksa. Kau bahkan membuat citra diri yang buruk dengan kehidupan pribadi yang sangat membosankan. Orang-orang hanya tahu kau seorang yang kejam, tidak ramah, tidak punya hati, tidak bisa tertarik dengan siapapun. Mereka bahkan berpikir kau punya ketertarikan seks yang menyimpang―"

"Mereka tidak berhak ikut campur dengan urusanku!"

Deanita menatap tajam pada Ryan. "Kau bahkan tidak menjenguk kakek setelah sekian lama dia terbaring di rumah sakit. Kau tidak menjenguk kakek bahkan ketika ia pulang ke rumah. Kau tak pernah menyambut dia atau bahkan memeluknya. Kau tidak menghabiskan waktu sore bersamanya untuk menemaninya minum teh dan membicarakan bisnis. Kau tidak pernah datang kecuali itu bagian dari acara perusahaan. Kau hanya dipilih karena kau anak pertama dari keturunan pertama. Kau dipilih karena kau laki-laki. Dan bukan aku yang terpilih hanya karena aku perempuan."

Ryan tergugu menatap sepupunya yang berkaca-kaca. Ia telah berkali-kali dimaki oleh sepupunya ini, ia telah mendengar banyak omongan tajam yang dilontarkan Deanita, tapi Ryan tidak pernah melihat Deanita yang marah sekaligus sedih.

Deanita mengalihkan pandangan setelah menyadari Ryan mengamatinya. Wanita itu tak mau kerapuhannya dibaca oleh Ryan. "Jenguklah kakek. Dia menanyakanmu setiap saat."

Ryan tidak menanggapi. Ia hanya bangkit, berusaha meninggalkan Deanita yang mungkin butuh waktu dan ruang. Namun sebelum ia melangkah menjauh, ia berbalik dan mendapati Deanita yang mengusap pipinya dengan punggung tangan. "Aku akan pulang hari ini."

"Kita menyewanya lima malam. Kita masih punya dua lagi. Kau sia-siakan liburan ini."

Ryanmenggeleng meski Deanita tak menatapnya. "Aku mau pulang. Ini bukan bagian daricuti. Kau bisa ambil sisanya dan aku tak akan menghitungnya sebagai cuti.Selamat menikmati liburanmu."[]

Disamperin bang Ryan dalam mimpi :(

Jadilah ku update dua sekalian karena aku suka dan karena kalian kusayang :p

Semoga suka!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top