SO - BAB 12 (Rated)

Warning! Mature content.

Detak jantung Diana terdengar begitu indah ketika menelisik ke pendengaran Ryan. Sentuhan Diana, suara jantungnya ketika Ryan berada sedekat ini, semuanya terasa seperti mimpi indah. Ryan ingin tahu bahwa Diana bukan sosok imajinasinya karena ini semua terlalu mendadak. Diana hadir sebagai penghubung ingatan terdalamnya. Diana hadir dan membawa warna baru di hidupnya. Diana hadir dengan begitu indahnya hingga Ryan tak bisa berhenti memikirkannya. Diana hadir dengan begitu sempurnanya.

Dan Ryan telah jatuh cinta pada Diana.

Ryan tak bisa membayangkan jika detik berikutnya Diana menghilang dari kehidupannya. Ryan tak bisa membayangkan jika ia kembali ke kehidupan lamanya yang datar. Ryan ingin sosok pembuat kue ini berada di sampingnya, menjadi malaikatnya, menyentuhnya dengan penuh kelembutan seperti sekarang ini.

Ryan memejamkan matanya lagi. Mendekap Diana kuat-kuat supaya Diana tahu bahwa Ryan tak akan bisa melalui putaran hidup selanjutnya tanpa Diana. Ryan menginginkan Diana hingga rasanya menakutkan. Ryan takut Diana direnggut darinya seperti apa yang terjadi pada semua miliknya. Ryan takut sendirian lagi.

"Ryan?" panggilan Diana terasa begitu menentramkan hatinya.

Ryan mengangkat wajahnya dan bertemu dengan wajah lembut Diana. Wanita ini bisa mewakili seluruh perasaan yang tenggelam dalam diri Ryan. Ryan mengecup lagi dan ia tak akan pernah berhenti dengan ini.

Hati, pikiran, dan tubuhnya menginginkan Diana.

Ryan merasakan hasrat yang membara ketika Diana menyentuh dadanya di sela ciuman mereka. Ryan menarik tangan Diana menjauh namun tak melepaskan ciuman mereka. Tangan itu mampu mengirimkan gelombang gairah dan Ryan ingin tangan itu berada di seluruh tubuhnya. Ryan ingin dirinya tak berbatas dengan Diana. Ryan ingin memiliki Diana seutuhnya.

Ryan menurunkan lengan gaun Diana, menunjukkan kulit yang sempurna beraroma kayu manis, kue hangat, atau semacamnya. Ryan mencium di sana, mengecup berkali-kali. Mata Ryan teralih ke wajah Diana yang sedang menatapnya intens. Mata wanita itu sayu nan indah. Berkilat-kilat dipenuhi keinginan yang sama. Bibir Diana terbuka, bengkak karena ciumannya. Diana sama sekali tidak menunjukkan penolakan dan Ryan bersumpah sangat ingin melanjutkan. Tapi ia cukup menyadari bahwa Diana pantas mendapatkan yang lebih baik tentang hal ini.

Ryan menaikkan lagi lengan gaun Diana. Ia mencium lama kening Diana sebelum bangkit dari posisinya yang menindih Diana.

"R-Ryan?"

Ryan menengok dan mendapati wajah kecewa Diana ketika melihatnya menjauh. Demi Tuhan, Ryan pun merasakan kekecewaan yang sama. Ryan ingin seluruh tubuh Diana saat ini juga. Ryan bisa menahan gairahnya selama tiga puluh satu tahun hidupnya dan bertahan dengan prinsip tidak menjajaki hubungan ranjang semalam, tetapi ketika berada di dekat Diana, ia jauh lebih sering kehilangan kendali dan itu tak pernah terjadi sebelumnya.

"Ada apa?" tanya Diana seraya bangkit.

Ryan hanya tersenyum dan kembali merangsek maju untuk mencium bibir Diana yang menggairahkan. Wanita ini cepat belajar dan kini mereka telah saling membalas ciuman satu sama lain. Ryan menjauhkan wajahnya, mengakhiri ciuman. Ia menatap Diana. Menyingkirkan rambut nakal yang menutupi wajah Diana dan menyematkannya ke belakang telinga. "Jangan menunjukkan wajah itu, Diana."

"Apa?" tanya Diana bingung.

"Wajahmu mengisyaratkan, cium aku lagi. Tubuhmu mengejarku dan itu membuatku gila."

Diana merona dan Ryan tahu bahwa perkataannya tepat sasaran meski wanita ini tidak menyadari respon tubuhnya.

Ryan mencium Diana lagi untuk mendapatkan perhatian. Ryan tak mengerti mengapa mencium Diana bisa jadi kebiasaan yang menyenangkan. "Aku berhenti bukan karena aku tidak menginginkanmu. Aku berhenti karena aku sangat-sangat menginginkanmu. Kau pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik."

"Kau memperlakukanku dengan baik," cicit Diana.

Ryan tersenyum. "Aku berusaha, Diana. Aku menghormatimu. Aku tak bisa menahan hasratku setiap kali berada di dekatmu. Jadi aku melakukan ini," Ryan mencium bibir Diana lagi. "Aku melakukan ini lagi." Ryan kembali memberikan ciuman. "Dan aku tak bisa berhenti dengan ini." Ryan mencium Diana lagi, kali ini melibatkan lidah dan sentuhan penuh hasrat. Diana jelas-jelas sangat responsif dan Ryan menyukainya. Ryan memundurkan wajah lagi untuk melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Aku menginginkan sesuatu yang lebih dari sebuah ciuman. Aku... ingin menciummu di manapun."

"Aku ingin dicium di manapun," gumam Diana.

Ryan senang Diana mempunyai respon yang sama. Tapi ini bukan hanya tentang hasrat semata. Banyak yang dipertaruhkan dan Ryan tahu harganya terlalu mahal. "Kau harus lebih mengenalku. Aku mungkin saja tak baik untukmu. Aku bukan pria yang akan berbasa-basi dengan sebuah hubungan." Ryan menggeleng. "Aku tak punya waktu untuk itu. Aku bukan orang yang romantis dan aku sangat menyebalkan seperti katamu. Aku mungkin perlu kau teriaki―"

Diana menunduk malu.

Ryan tertawa pelan. "Tak pernah ada yang meneriakiku seperti itu. Kau membuatku marah, membuatku sangat menginginkanmu dalam satu waktu sekaligus. Aku bukan seseorang yang akan mengalah dengan apapun yang kuinginkan. Dan detik ini aku sangat-sangat menginginkanmu. Aku akan mendapatkanmu. Nanti. Ketika kau juga membalas dengan keinginan yang sama."

"Aku cukup yakin kau bisa membacaku detik ini."

Benar. Ryan tahu Diana juga menginginkan ini. Untuk saat ini. Diana mungkin terbawa suasana dan sentuhan penuh arti Ryan sedang diterima dengan baik oleh wanita ini. Namun lebih daripada itu, mereka butuh waktu untuk saling mengenal. Diana benar bahwa hari ini benar-benar gila. Ryan tak percaya Diana telah menjungkirbalikkan dunianya dalam sehari semalam. Keduanya mungkin butuh waktu untuk menyadari keinginan masing-masing, meski Ryan sendiri telah menjatuhkan hatinya dan yakin tak akan pernah goyah di titik ini.

"Aku ingin menyentuhmu," bisik Ryan. "Disini," Ryan menjalankan telunjuknya menelusuri leher Diana, terus menurun ke dadanya hingga Ryan bisa merasakan detak jantung kencang. "Disini," Telunjuknya terus turun ke perut Diana. Wanita itu memejamkan mata menikmati sentuhan Ryan di balik gaunnya. Telunjuk Ryan tiba di bawah perut Diana. Ryan bisa merasakan napas tercekat Diana ketika Ryan menyentuh intinya dari luar. Gairah pun menggeliat dalam diri Ryan dan Ryan bersusah payah untuk mengendalikannya. "Juga di sini. Di tempat yang panas ini. Aku membayangkan banyak hal fantastis yang mungkin bisa kulakukan di sini."

Diana membuka mata. Ia menatap Ryan seraya menelan ludah. Mereka berdua sama-sama terbakar. Diana dengan kepolosannya menunggu Ryan bertindak. Ryan dengan naluri dalam dirinya sedang ditekan kuat oleh akal sehatnya.

Ryan tersenyum lagi. "Aku tak sabar menantikan itu. Bagaimana denganmu?"

Diana mengangguk dengan tatapan melayang ke bibir Ryan. Pria itu sangat senang dirinya berpengaruh pada Diana. "Aku juga," bisik Diana. "Tapi aku sedang bertanya-tanya, mengapa kita tidak melakukannya sekarang?"

Ryan tidak menyangka kalimat itu terlontar dari mulut Diana. Raut polos wanita itu sama sekali tidak sesuai dengan pertanyaannya. Ryan ragu jika Diana mengerti dengan konteks yang Ryan bicarakan.

"Rasanya aneh, Ryan. Aku sangat ingin disentuh."

"Nantinya kita bukan hanya saling menyentuh. Kita akan memiliki satu sama lain."

Diana menatap Ryan.

"Katakan padaku, Diana. Kapan terakhir kali seseorang menyentuhmu?"

Diana mengerjap. "A-aku―Tunggu. Apa maksudnya?"

"Aku yakin kita baru saja membicarakan tentang seks."

Bibir Diana membulat. "Oh. Seks. Tentu saja. Seks yang itu."

Ryan memiringkan kepala. "Jadi?"

"Jadi? Apanya yang jadi?"

"Kapan terakhir kali seseorang menyentuhmu?" ulang Ryan.

Diana menggigit bibirnya. Ia menatap ragu pada Ryan. "Menyentuh. Seks. A-aku tidak yakin. Aku belum pernah... berciuman."

Ryan menatap Diana. Jantungnya terhenti seketika.

"A-aku..." Diana kehilangan kata-katanya. Manik mata Diana mengikuti mata Ryan yang terpaku.

Tentu saja Ryan telah menduga bahwa Diana tidak berpengalaman. Intensitas mencium yang mereka lakukan meningkat seiring berjalannya waktu. Ryan juga sudah memperkirakan bahwa Diana tak punya pengalaman seks. Tapi Ryan tak pernah mengira bahwa dirinya adalah ciuman pertama Diana, sebagaimana Diana adalah ciuman pertamanya.

"Aku belum pernah berpacaran," gumam Diana. Wanita itu menghela napas. "Oke. Bukan hanya kau yang konvesional. Aku juga. Aku sangat tidak berpengalaman. Aku payah. Penampilanku payah. Tak ada yang pernah mendekatiku sejak SMA. Aku tidak pernah dekat dengan pria sedekat denganmu. Meski begitu, entah bagaimana, aku sama sekali tidak merasa terancam saat bersamamu. Aku bisa menerimamu dengan mudah."

Ryan terdiam. Hatinya menghangat. Sudah terlalu banyak yang membuat Diana terasa begitu pas ketika bersamanya. Ryan tak pernah merasa seperti ini seumur hidupnya. Ryan merasa mempunyai teman yang selama ini tak Ryan miliki. Kesamaan latar belakang mereka membuat Ryan semakin bahagia. Ryan pikir Diana marah karena menganggapnya menyebalkan, tapi ternyata Diana marah karena Diana lah yang paling mengerti dirinya.

Senyum Ryan terbit kembali. Diana pun ikut tersenyum untuk membalas. "Aku akan membuat ini berjalan dengan seharusnya, Diana. Aku akan mengatakan bahwa aku menginginkanmu. Sangat."

Diana mengangguk.

"Aku ingin kau mengenalku. Aku ingin mengenalmu. Kau benar bahwa semua ini gila. Kita tidak berkencan, kita baru saling mengenal , dan kita berciuman."

Diana melirik ke sekitar ruangan. "Catatan, kita sedang duduk di ranjangmu."

Ryan tertawa.

"Kau punya nama tengah?" tanya Diana.

Ryan menganggap ini permulaan yang baik. Sebuah pengenalan satu sama lain. Ryan mengangguk seraya tersenyum. "Sekarang aku punya. Aku lahir tanpa nama tengah. Nama belakang dari ibuku adalah nama lahirku. Ryan Joseph. Lalu setelah ibuku menikah, nama belakang ayah tiriku menjadi nama belakangku. Ryan Joseph Archer."

"Wow, namamu saja ceritanya panjang." Diana berkomentar.

Ryan tertawa. "Omong-omong aku tidak tahu nama belakangmu."

Diana menggeleng. "Aku tidak punya nama belakang. Tidak punya nama tengah. Hanya Diana Andisty."

Ryan tersenyum. "Nama yang cantik."

"Berapa umurmu?" tanya Diana.

"Jauh lebih tua darimu."

Diana mengendikkan bahu. "Aku tidak keberatan."

Ryanmenjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan Diana mengikuti. Mereka menghabiskan sisamalam mereka dengan saling mengenal. Pertanyaan dibalas jawaban dan dilanjutkanpertanyaan lainnya. Ryan merasakan kehangatan dan kedamaian melingkupi dirinya.Saat itu juga Ryan tahu bahwa semua yang ia butuhkan hanyalah Diana.[]    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top