SL - BAB 6
Malam mulai terbentuk di luar sana, sementara Em menghempaskan tubuhnya di jok belakang penumpang yang empuk, membiarkan sopir taksi membawanya kembali ke rumah. Em memejamkan mata, menikmati deru pelan mesin kendaraan. Entah bagaimana hari ini terasa cukup melelahkan.
Lalu bayangan itu kembali lagi.
Mata biru. Senyum nakal. Otot-otot di tubuhnya. Sentuhannya. Ciumannya.
Sontak mata Em terbuka. Dia memijit pelipisnya, menghapuskan bayangan William Archer yang tak mau pergi meski mereka hanya terjebak dalam ruangan sempit yang sama selama dua puluh menit.
Siang tadi Em seperti berada dalam dunia yang berbeda. Em merasa kehilangan dirinya setelah menerima tantangan yang diajukan Will. Em tahu itu keputusan bodoh. Pria itu... selalu punya cara membuat Em kehilangan tekadnya, selalu membuat Em merasa terjebak, selalu menariknya lebih dalam ke dalam lingkaran yang tak ingin diinjak Em. Harusnya Em menutup diri, harusnya Em berlari, namun pria itu pantang menyerah.
"William..." Em menggumamkan nama itu. Terasa menggelitik pada inderanya. Bahkan tanpa sadar nama itu telah akrab di bibirnya. "Brengsek," gerutunya pada diri sendiri.
Em mengangkat pandangannya. Matanya bertemu dengan sopir taksi yang sedang berkonsentrasi menyetir, namun mencuri pandang ke arahnya. Em merasa kikuk karena menggerutu tanpa sebab. Tangannya sibuk merogoh tas jinjingnya, mencari-cari ponselnya untuk pengalihan. Dahi Em berkerut ketika barang yang diinginkannya tak kunjung ia dapatkan.
"Kehilangan sesuatu, Nyonya?"
"Ya." Em berusaha mengulas senyum. "Sepertinya ponselku tertinggal di meja kerjaku."
"Apakah kita harus kembali?"
Em menggeleng. "Tidak, tidak. Aku yakin tidak terlalu membutuhkan ponsel malam ini. Di ujung blok ada sebuah gedung apartemen, itu tujuanku."
Sopir taksi itu menghentikan kendaraannya tepat di depan gedung apartemen. Em mengeluarkan sepuluh dolar dan keluar setelah sopir itu mengucapkan terima kasih.
Em mengernyit ketika di lorong parkir sempit milik gedung apartemennya terdapat mobil Prius familiar. Tentu saja, siang tadi dirinya baru saja menumpang mobil berwarna biru gelap itu. Em yakin betul jika itu adalah mobil milik Will meski dirinya hanya samar-samar mengingat nomor polisi mobil tersebut.
Memasuki gedung, menaiki tangga dengan cepat, Em hanya ingin segera memastikan.
Tidak. Sama sekali tidak merindukan William Archer.
Benar saja, pintu tertutup rapat namun tidak terkunci ketika Em masuk. Sudah pasti Will di dalam. Em selalu memperingatkan Ryan untuk mengunci pintu ketika sendiri di dalam rumah.
Di sana lah mereka. Tengah sibuk dengan konsol di tangan mereka. Will dan Ryan bersorak dengan hebohnya memandang layar laptop berukuran empat belas inci tersebut. Ruang temaram. Kaleng soda di mana-mana. Makanan ringan yang berserakan di karpet.
"Brengsek! Brengsek! Kau brengsek, Joseph!" seru Will dengan asyiknya.
"Tidak, tidak. Itu gol! Bukan brengsek, Archer."
"Baru satu babak, Bung. Jangan senang dulu."
"Akui saja, Will. Kau memang lebih baik di lapangan basket, tapi kau payah untuk sepak bola. Bahkan jika itu hanya sebuah game."
Em berdecak kesal. Dia tidak menyangka Ryan dengan fasihnya mengumpat di umurnya yang masih tiga belas. "Ryan!"
Ryan refleks melemparkan konsolnya, membuat Will menghentikan permainan sepak bola berbentuk digital itu. "Hai, Em. Kau sudah pulang ternyata."
Mengabaikan basa-basi Ryan, Em melotot pada Will. "Sama sekali tidak menunjukkan sisi seorang guru, Tuan Archer."
Will mengernyit. "Ada apa dengan dirimu? Kita telah melewati pagi hari yang cukup bagus. Lagi pula aku hanya bermain game. Tak ada yang salah dengan itu."
"Pagi hari apa?" tanya Ryan penasaran, Em tahu, itu hanya bentuk pengalihan Ryan supaya tidak membahas lebih lanjut tentang kesalahannya.
Mengabaikan Will, Em berkata ketus pada putra semata wayangnya. Dia tidak akan teralihkan. "Bukan urusanmu. Permainan berakhir. Masuk ke kamarmu."
Ryan memasang wajah tak suka. "Aku masih ingin bersama Will."
"Ryan—"
"Sebenarnya apa masalahmu?" tanya Will.
"Dia putraku, Tuan Archer. Aku berhak mengatur hidupnya."
"Mengesankan bagaimana kau memperlakukanku seperti seorang bocah usia tujuh tahun meski aku sudah tiga belas!" tukas Ryan.
"Ryan! Aku memperingatkanmu!"
"Bawa aku pergi, Will! Aku ingin bersamamu."
Will terkejut. "Apa?"
Em telah berusaha bersikap tegas dalam batasan wajar. Namun di kala dirinya luar biasa lelah seperti sekarang ini, amarah Em memuncak dan tak lagi terbendung. Bagaimana mungkin seorang putra yang telah dibesarkannya memilih orang lain daripada dirinya? "Kau tak serius dengan ucapanmu!"
"Tentu saja aku serius!" teriak Ryan.
"Aku ibumu! Aku yang telah membesarkanmu!"
"Tapi kau tak memberiku seorang ayah! Kau tak memberiku pandangan bagaimana menjadi seorang pria!"
Em terhenyak. Bungkam seribu bahasa. Dia selalu mendorong Ryan bercerita, namun ada kalanya terdapat sebuah area yang tak akan bisa dijamahnya. Ryan membutuhkan figur seorang ayah. Em bisa mewujudkan segala keinginan Ryan dengan kerja keras, namun yang satu itu seperti hal yang mustahil.
"Kau tak akan mengelak lagi. Di mana ayahku?" tanya Ryan dengan nada tajam.
Em hanya meneguk ludahnya. Kalang kabut. Ryan sering bertanya dulunya, namun Em telah berlari selama bertahun-tahun untuk menghindari topik tersebut. Kini, setelah sekian lamanya, putranya mengangkat pertanyaan itu kembali. Em sangat menyesal mengalami drama ini di depan Will.
Em tidak punya jawaban atas pertanyaan tersebut. Bibirnya berdusta. Ia justru berkata, "Dia sudah mati." Suaranya terdengar lebih seperti sebuah gumaman.
Benar adanya. Bagi Em, lelaki itu telah tiada.
"Lalu tunjukkan padaku seperti apa wajahnya. Tunjukkan potretnya padaku. Aku ingin berkunjung ke makamnya!"
Em menggeleng. Bahkan dirinya sendiri tak tahu bagaimana kabar ayah dari darah dagingnya itu. Mengorek kehidupan lelaki itu adalah hal terakhir yang diinginkannya. Em tak lagi peduli pada orang itu. Namun lain halnya dengan Ryan yang telah terbumbui rasa penasaran.
Ryan menggeleng. Mengeluarkan seringaian sinis yang dibenci Em karena mengingatkannya pada sosok yang telah dihindarinya. "Kau tak akan bisa menjawabnya. Aku bertanya-tanya kiranya dari mana diriku berasal. Apakah dari gorong-gorong? Atau apakah diriku adalah sebuah kesalahan?"
"Tidak!" Suara Em bergetar. Kentara sekali jika menahan tangis.
"Hentikan itu, Ryan!" bentak Will, setelah sekian lama menyaksikan topik pelik ini.
"Kau sekarang tahu kebenarannya. Ibuku bahkan tak tahu dari benih mana aku berasal. Ayo Will, lebih baik kita pergi dari sini."
Em seketika mengalihkan pandangannya pada Will. Em meluruhkan segala egonya, memohon pada Will supaya tak membawa putranya pergi.
Pria itu balas menatapnya dengan raut yang tak mudah Em artikan. "Tidak seharusnya kau memperlakukan Em seperti itu. Bagaimana pun dia tetap ibumu. Kau harus menghormatinya." Rahang Will terlihat menegang. Tangannya dengan sigap meraih Em, memberi Em kekuatan.
Itu berhasil. Dan Em sama sekali tak keberatan dengan posisi lengan Will saat ini.
Ryan memerah, menahan kemarahannya saat melihat itu. Ia tahu Will tak lagi berpihak padanya. "Kita sudah membicarakan ini," gumam Ryan.
Will menggeleng. "Tidak dengan cara ini. Kau seharusnya tahu batasanmu, Joseph."
"Persetan!" Ryan menghilang ke balik lorong menuju kamarnya. Meninggalkan Em tanpa ucapan maaf.
Pertahanan Em runtuh. Ia tidak lagi mempunyai kekuatan. Tak peduli meski Will di sini, dirinya benar-benar butuh menangis. Sisi keras Ryan selalu menghantamnya, membuat dirinya tak berdaya. Mengingatkannya bagaimana hancurnya dia ketika berhadapan dengan sosok serupa.
"Pergilah," kata Em dengan lirih. Memaksa diri untuk menampik lengan Will—yang sebenarnya ia tak mau melakukan ini. Lengan itu cukup memberinya kekuatan. Em tak tahu bagaimana itu bisa terjadi.
Alih-alih menyingkir, lengan Will justru semakin kuat mendekapnya. Em tak tahu lagi apa yang akan dilakukannya. "Maafkan aku, Em," bisik Will. Merengkuh Em semakin dekat, lantas menghancurkannya.
Em menangis detik itu juga. Tak bisa membendung lebih lama.
"Aku di sini," bisik Will
"Maaf kau menyaksikan semua itu." Em tidak pernah menangis sejak kejadian mengerikan tiga belas tahun yang lalu. Dia selalu mencekoki alam bawah sadarnya bahwa hatinya terbuat dari batu. Tapi mantra itu hilang entah ke mana sekarang. Perduli setan jika Will melihat sisi rapuhnya.
Will mengarahkan Em dengan lembut ke sofa. Em tak lagi punya daya sekedar untuk meluruskan ototnya, ia menurut saja. Tak disangka, Em mendapatkan kekuatan besar ketika Will memeluknya dengan erat, mengusap punggungnya dengan hati-hati.
Em semakin tak kuasa membendung tangis. Ini adalah kesakitan yang telah ia kubur selama tiga belas tahun. Segalanya meluap. Menjadi-jadi detik ini juga.
"Menangislah," ujar Will.
"Aku tak pernah menangis, William."
"Ini saatnya." Will mengeratkan pelukannya.
Em merasakan tarikan kuat untuk membalas pelukan itu. Jadi Em melakukannya. Hanyut dalam pelukan lengan besar, menumpahkan segalanya di sana. "Aku sangat menyayangi Ryan. Hanya dia yang tersisa untukku," kata Em terbalut pundak Will.
"Aku tahu."
"Melihatnya marah membuat hatiku sakit."
"Aku di sini. Menguatkanmu. Kau punya aku."
"Aku tak tahu di mana pria itu."
"Ryan hanya ingin mengetahui ayahnya. Dia hanya seorang anak laki-laki yang ingin tahu, Em."
"Apa saja akan kuberikan asal bukan kehadiran pria itu. Dia hanya akan menghancurkan segalanya." Em tak tahu mendapatkan dorongan dari mana kah dirinya hingga berani menceritakan kisahnya. Tak pernah ada yang menembus ke dalam hidupnya sejauh ini.
"Aku di sini. Aku mendengarkanmu jika kau ingin berbagi."
Em menarik diri. Will masih senantiasa menyentuh Em sebagai bentuk sugesti bahwa Will mendampinginya. Em juga tak ingin melepaskan kehangatan dari sentuhan itu. Menghalau segala aturan yang ada, Em menerawang pada memorinya, menarik Will lebih jauh ke dalam kisahnya.
"Apa yang kau pikirkan tentang seks sebelum delapan belas?" tanya Em.
"Aku melakukan seks saat usiaku enam belas," jawab Will.
Em melihat kesungguhan itu. Will jujur padanya.
Itu membuat Em menitikkan air mata lagi. "Dan aku merasa sangat konyol ketika menganggap itu suatu kesalahan besar yang pernah dilakukan manusia! Ya Tuhan! Itu hanya seks dan aku mempunyai masalah dengan itu. Aku ingin menganggap diriku korban tetapi kenyataan tidak."
Will hanya mendengarkan. Ia menjadi hening untuk menghargai Em, memberi ruang pada Em.
Em menghela napas. Ia tak tahu kenapa air matanya tak mau berhenti. "Lihatlah negara ini! Semua orang melakukan seks di masa remajanya! Tapi aku menghancurkan hidupku sendiri dengan perkara itu dan aku tak tahu harus menyalahkan siapa!"
Em berhenti. Mengamati wajah Will. Mata birunya bersinar menyejukkan. Em ingin berlama-lama berdamai dalam warna itu.
Will menjilat sekali bibirnya. Menelan ludah sebelum bicara. "Setiap orang mempunyai masalahnya sendiri. Kau tak akan tahu kapan datangnya dan apa masalahnya. Yang perlu kau lakukan hanyalah menerima, bertahan, dan melewatinya."
Will menghela napas. "Dengar, kau bisa menahannya jika kau belum siap, Em. Sungguh. Aku di sini untukmu, kapan pun kau membutuhkanku. Tidak harus sekarang. Aku bisa menunggu," ujar Will. Namun raut Will mengisyaratkan bahwa ia senang mendengar Em bercerita. Ekspresi berharapnya kentara supaya Em melanjutkan ceritanya.
Em menggeleng. Merasakan dorongan besar untuk menyurukkan kepalanya ke leher Will, menghindari mata Will saat bercerita. Wanita itu melakukannya. Will tidak menolak. Terasa hangat dan damai di posisi ini. Setiap inci tubuh Will menawarkan kenyamanan untuknya.
"Aku bukan wanita yang serentan itu," kata Em. Sebagian berisi dusta dalam. "Apakah hamil terdengar buruk? Ya Tuhan, aku bahkan tak bisa bernapas jika aku masih bertahan di tanah kelahiranku dengan semua orang yang menatap hina padaku."
"Em—"
"Aku datang padanya. Aku mengatakan bahwa aku hamil. Dia marah besar seolah aku lah yang paling bersalah di sini. Aku dan Ryan dianggap sebagai batu besar yang menghalangi karir gemilangnya di usia muda. Ia memintaku membunuh darah dagingku, tapi aku tak sudi. Aku meninggalkannya."
Rahang Will menggertak. "Brengsek! Jika benar pria itu sudah di peti matinya, dia harus bersyukur karena aku saat ini ingin sekali membunuhnya."
Em menyeka hidungnya. "Apakah aku bodoh dengan meninggalkannya?"
"Dia bahkan tak pantas menghirup udara yang sama denganmu."
"Aku juga berpikir begitu. Tapi dengan kebodohan lainnya, aku berlari ke keluargaku. Aku mengaku pada keluargaku dan mereka kecewa—tentu saja mereka kecewa. Aku tak menyebut siapa ayahnya karena aku tak ingin terjadi keributan. Mereka bilang, aku harus mengatakan siapa ayah dari bayiku jika tetap ingin menyandang nama belakang keluarga ayahku." Em menggeleng pelan. "Aku tetap pada keputusanku. Jadi mereka mengusirku, menghapusku dari garis keluarga. Aku tak pernah berhubungan dengan keluargaku, aku tak menerima bantuan dari siapapun."
"Maafkan aku. Aku tak tahu jika itu begitu berat."
"Bukankah aku sangat bodoh dan keras kepala? Aku tetap pada pendirian yang justru menghancurkanku."
Em kembali menitikkan air mata ketika mengingat masa-masa itu. Dia ingin mati saat itu. Terkadang nyaris menyesali hidupnya sendiri. Hanya satu sosok yang mengingatkan dirinya bahwa dia harus bertahan. Itu adalah Ryan. Putranya itu sudah seperti jantung kedua baginya.
"Aku mengganti namaku, berharap lembar baruku bersama Ryan bisa lebih baik. Aku pernah menjadi sangat miskin, William. Aku pernah ditolak." Aku selalu ditolak. "Aku pernah memohon di lantai rumah sakit hanya untuk meminta perlindungan ketika badai salju terjadi sementara aku dan Ryan yang berumur tiga bulan tak punya tempat bernaung. Semuanya menjadi sangat berat dan hanya demi Ryan aku tetap melanjutkan hidup."
Will tercekat. "Em..."
"Tidak. Itu benar-benar pernah terjadi." Em mengusap air matanya. "Aku bersyukur dengan apapun yang kumiliki sekarang. Yang kuinginkan hanya hidup bersama Ryan. Tak ada yang lain. Jika aku kehilangan Ryan, aku tak tahu apalagi yang bisa menyokongku."
Dengan itu suara benda terbanting menggema ke seluruh ruangan. Em berjengit ketika mendengar itu. Dadanya naik turun selain karena terkejut juga menahan sesak. Suara itu... suara bantingan pintu, berasal dari lorong kamar Ryan. Putranya mungkin diam-diam mendengarkan. Dan sekarang ia telah mengetahui segalanya.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top