SL - BAB 3
Keesokan paginya, Ryan sudah jauh lebih baik—setidaknya, begitu menurut Ryan. Em tidak benar-benar tahu separah apa keadaan Ryan semalam karena Will hanya mengatakan bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Ryan pun juga mengatakan demikian. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, kata Ryan berulang kali. Em hanya bisa percaya.
Tapi tidak benar-benar bisa percaya.
Melihat keadaan Ryan yang masih terlihat lemas hanya demi mengangkat sendok serealnya, Em tidak bisa mengenyahkan keraguannya. Putranya, Ryan Joseph adalah seorang yang keras kepala. Em tahu betul dari mana kekerasan dan sifat tertutup Ryan berasal. Dari mana lagi jika bukan dari dirinya?
Mata gelap Ryan, rambut gelap yang sedikit panjang dan acak-acakan, tubuh jangkung untuk anak seusianya, tubuh tanpa otot besar namun tetap proporsional. Secara fisik, anak itu memang tidak memiliki kemiripan apapun dengan Em. Tapi setelah membesarkan anak laki-laki selama tiga belas tahun, putranya tahu ke mana dia harus menjiplak kepribadiannya.
Meski Em merasa bangga, tapi Em tidak menginginkan semua itu terjadi dalam lingkaran yang mereka buat berdua. Em dan Ryan seharusnya saling memiliki. Harusnya tak ada saling menutupi antar satu sama lain. Itu sebabnya Em selalu mendorong Ryan untuk bercerita. Em benci ketika Ryan menyimpan segalanya sendirian. Em hanya ingin selalu ada untuk Ryan.
"Jangan menatapku seperti itu, Em." Ryan membuyarkan lamunan Em. Dia masih menyuapkan sereal dengan lemas. Membuat Em harus mempertimbangkan, apakah dia akan berangkat bekerja atau tidak.
"Mungkin kita harus kembali ke dokter untuk memastikan keadaanmu."
Ryan mendengus. Itu memang bukan perilaku sopan. Meski begitu, Em tak pernah merasa sakit hati. Bagi seorang ibu, jalan pengampunan untuk putranya adalah selebar samudra. Kurang lebih, sekarang Em merasakan bagaimana perasaan orang tua ketika anaknya membangkang. Yang bisa dilakukan Em adalah tidak mengeluh. "Kubilang, aku sudah baik-baik saja. Will sudah melakukan yang terbaik semalam."
"Maafkan aku," gumam Em sambil menggapai tangan Ryan. "Aku tidak di sana ketika kau sakit. Kenapa kau tidak menghubungiku?"
Ryan mengendikkan bahunya seraya menelan suapan sereal yang masih bersisa di mulutnya. Kemudian mulai bicara. "Aku sudah menyuruh Will mengambil ponselku untuk memberitahumu, tapi sepertinya Will tidak melakukannya. Mungkin dia terlalu panik atau dia mengabaikan permintaanku. Aku sudah memintanya supaya jangan repot-repot, seperti yang kau ajarkan. Tapi kenyataannya, Will sangat suka direpotkan."
Mengingat kembali lelaki itu, membuat perut Em bergolak karena sesuatu yang Em tak tahu pasti. Bohong jika Em mengatakan sama sekali tak memikirkan Will setelah pria itu melewati pintunya. Yang jelas, kejadian tadi malam adalah sesuatu yang tidak ingin dikenangnya. Em tahu itu sesuatu yang salah.
Semalam, perasaan asing menghantui dirinya, membuatnya hampir tidak bisa memejamkan mata. Akhirnya Em memutuskan untuk menjaga Ryan di tepian ranjang. Em sekarang telah mengetahui cara yang tepat untuk mengatasi perasaan asing itu. Em hanya harus berhenti memikirkan pria bernama William Archer.
"Aku suka Will," sahut Ryan tiba-tiba, membuat Em membuyarkan lamunannya. Menghancurkan niatan Em untuk mengusir Will dari pikirannya. "Dia hebat dalam bermain basket dan dia suka ngobrol."
Em merengut tak suka. Tak senang dengan hadirnya sosok lain dalam pembicaraan mereka. Apalagi pria itu adalah Will Archer. "Aku juga suka ngobrol."
"Kau wanita. Seperti kata Will, pria memerlukan rahasia yang harus dijaga dari telinga setiap wanita."
Brengsek kau, Archer.
Sementara Em ingin mengenyahkan pria itu dari hidupnya, Ryan justru begitu antusias menceritakan waktu yang dijalaninya bersama Will. Em tak perlu lagi menanyakan dengan susah payah pada Will, jika akhirnya hanya akan diabaikan. Ryan telah menceritakan setiap detailnya, yang pada intinya menyatakan bahwa Will adalah sosok pria yang menginspirasi Ryan.
"Dia mengatakan, jika aku rajin berlatih dan mengalami peningkatan selama dua bulan ke depan, aku bisa megikuti seleksi menjadi kapten tim. Tapi... entahlah, Em. Aku tak yakin. Kemarin itu baru hari pertamaku." Ryan menghentikan kegiatan menyuapnya. Matanya menerawang, memikirkan sesuatu. "Tapi Will meyakinkanku bahwa siapa saja bisa menjadi kapten tim yang baru."
Ada apa dengan Ryan dan Will? Em bertanya-tanya. Pertanyaan besar di kepalanya adalah... mengapa harus William Archer? Bagaimana orang asing itu dengan mudahnya masuk dalam hidupnya dan Ryan? Hanya dalam waktu semalam? Tidak pernah, tidak pernah ada yang melampaui batas hingga sejauh ini.
"Sejak kapan kau memutuskan untuk mengikuti tim basket sekolah?" tanya Em sambil menuangkan jus jeruk untuk Ryan. "Seingatku, kau masih menolak tawaranku pagi kemarin."
Ryan terkikik pelan. "Entahlah... siang kemarin?"
"Kau punya masalah serius dalam menentukan keputusan, Ryan. Seorang laki-laki harus berpegang pada kata-katanya," kata Em.
Ryan menyesap jus jeruknya. Lalu mengendikkan bahunya pada Em. "Kupikir kau akan menyukainya. Bukankah kau ingin aku melanjutkan hobi main basketku?"
Em tidak bisa membantah. Dia mengambil tempat di depan Ryan setelah sibuk ke sana-sini untuk membersihkan dapur kecilnya. "Lalu beritahu aku, bagaimana kau bisa memakan udang?"
Kali ini Ryan memutar mata. Seolah topik ini jauh lebih membosankan daripada membicarakan William Archer. "Sudah kubilang, Will benar, aku tak memakannya. Itu menyiksaku, Em. Aku tak mungkin melakukan hal gila itu."
"Tapi kau terkena alergi," tukas Em.
Ryan melambaikan tangannya ke udara. Beranjak dari tempatnya. Dia terlihat gusar. "Aku tak mengerti mengapa kesialan itu terjadi padaku. Di hari yang sama ketika rantai sepedaku kutemukan rusak dan roda belakangku tergantung di pohon, aku mengalami alergi yang tak kusadari. Aku berhutang pada Will."
Mata Em menyipit. "Apa itu?"
"Apa?"
"Kenapa sepedamu seperti itu?"
Ryan mengangkat bahunya. "Aku tak tahu. Itu bisa saja sebuah kecelakaan yang terjadi pada sepedaku ketika aku tak berada di sana."
Em ikut berdiri, menyejajarkan tubuhnya dengan Ryan. Em tahu betul ke mana pembicaraan ini berakhir. "Sebuah kecelakaan tidak menyebabkan roda belakang tersangkut di atas pohon! Apakah ini ulah Ethan?"
Ethan adalah penyeimbang di sekolah. Di mana adakalanya di suatu sekolah terdapat murid yang pintar, maka ada si bodoh. Ketika ada yang tertindas, ada pula yang menindas. Ryan adalah bagian dari klub tertindas, sementara Ethan berada di bagian penindas dengan kekuasaannya. Semuanya berjalan teratur. Namun Em membenci ketika satu-satunya alasan yang menyebabkan Ryan berada di posisi itu adalah karena Ryan berwajah Asia.
Siapa yang bisa memilih wajah ketika dirinya lahir?
"Aku tidak menyebut Ethan di bagian manapun!" gerutu Ryan.
"Tapi aku tahu betul, itu pasti dia. Aku muak dengan bocah itu! Demi Tuhan! Anak itu masih berusia empat belas tahun dan dia sudah mempunyai bibit mafia dalam dirinya. Aku benar-benar akan melaporkannya ke pihak sekolah."
Ryan menggeleng jengah. "Sudah kubilang, orang tua Ethan adalah bagian penting dari Komite Pusat. Kau tak akan bisa melakukan apapun! Aku akan terancam dari sekolah itu. Yang artinya masalah besar untuk kita! Lihatlah di mana kita tinggal. Kita harus berpikir dua kali untuk memasukkanku ke sekolah lain dan membayar uang masuk, tapi kita punya banyak tagihan yang harus dibayarkan!"
"Jangan tinggikan suaramu, Nak! Uang adalah urusan ibu. Yang kulakukan hanya semata-mata karena aku peduli padamu. Kau tetap putraku."
"Berhenti mengurusi hidupku, Em!"
Em terdiam. Bentakan Ryan sukses membuatnya membisu. Ini bukan kali pertama mereka terjebak dalam situasi ini. Ryan tetaplah berasal dari dua kromosom yang berbeda. Ketika sebagian besar dari diri Ryan adalah Em, namun sebagian kecil lainnya adalah kromosom lainnya. Tidak cukup kah wajah itu menghantuinya dalam wujud Ryan? Ketika sifat kromosom lainnya mulai mencuat, Em merasakan panggilan yang begitu besar untuk mengutuk apapun.
Em melihat sosok lain ketika Ryan menjadi jauh tak tersentuh.
Namun dirinya adalah seorang ibu. Em mengingatkan dirinya sendiri. Di hadapannya adalah seorang putra yang telah dijaganya susah payah. Em tak ingin menunjukkan sisi buruknya.
Tetaplah menjadi seorang ibu.
"Aku tiga belas tahun dan aku bisa mengurusi hidupku sendiri. Jangan khawatir, aku akan menyelesaikan semua ini dengan caraku. Aku tidak ingin menyusahkanmu."
Em mengangguk. Tidak bisa melakukan hal lain. "Jangan pernah ada perkelahian. Itu hanyalah sebuah omong kosong ketika kau menendang seseorang hanya untuk menyelesaikan masalah."
"Oke." Ryan mengendikkan bahu. Berjalan menjauhi dapur. "Aku benar-benar butuh tidur."
"Istirahatlah!" kata Em setengah berteriak karena Ryan telah berlari ke lorong yang lain. "Aku akan di sini jika kau membutuhkanku!"
Kepala Ryan muncul dari lorong lain, menatap heran pada Em. "Kau tidak bekerja?"
Em menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak harus melakukan itu."
Em meletakkan ke dua tangan di pinggangnya. "Nak, kau ini tetap putraku. Aku tak mungkin melakukan hal gila itu."
"Terserahlah." Kemudian Ryan menghilang ke lorong tersebut.
Em masih terpaku menatap lorong yang menelan Ryan. Suara pintu tertutup membuatnya mengerjap karena sedetik tadi pikirannya melayang memilah kehidupan yang telah dijalaninya. Satu hal yang tak ingin dilakukannya. Bukan seperti orang-orang yang ingin memutar waktu untuk kembali memperbaiki sesuatu, justru Em berharap tak pernah kembali ke masa lalunya. Dia hanya ingin hidup di masa depan bersama Ryan, hanya Ryan.
Meski Em menyayangi Ryan, namun hantu di masa lalunya bersemayam dalam diri bocah itu. Membuat Em tak bisa mengelak karena bagaimanapun sosok itu menyatu pada putranya. Ia ingin lupa lalu tak pernah mengingat lagi. Tapi sepertinya, itu sesuatu yang mustahil.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top