SL - BAB 15



Bodoh. Bodoh. Bodoh.

Bagian dalam diri Em terus mengatainya. Mengoloknya. Menghakiminya.

Bagaimana mungkin ia tak menyadari ini sebelumnya? Ia sudah pernah hamil. Kelelahan ekstra, nafsu makan berkurang, pusing yang sering menyerangnya; seharusnya itu telah menjadi pertanda. Ia tak pernah memperdulikan siklus menstruasinya yang tidak menentu sejak melahirkan Ryan. Tapi bagaimana mungkin ia kehilangan kendali?

Kau sudah tahu resikonya.

Aku tahu.

Kau menerimanya?

Aku menerimanya. Aku bahagia. Aku, Ryan, dan bayiku. Tak ada yang lain.

Tetap saja, kau ceroboh.

Em sangat tahu hal itu. Ia tahu ia ceroboh. Itu hanya empat hari terkutuk yang tak diduganya. Sekeras apapun ia melakukan seks yang aman, ia pernah beberapa kali kehilangan kendali dan melupakan kondom. Tidak memperhitungkan pil pengendali kehamilan. Atau mungkin kecacatan terjadi pada kondom yang ia gunakan. Atau mungkin sel sperma Will yang terlalu subur untuk membuahi, tak peduli jika itu adalah cairan pre-cumnya. Atau rahim Em pula yang kelewat subur sehingga dua kali ia melakukan seks dengan dua pria berbeda, dua kali pula ia menghasilkan keturunan pria itu.

Ia tak akan mengeluh. Ia tak akan menyalahkan keadaan. Ia juga bahagia dengan sosok baru yang akan hadir dalam hidupnya. Yang harus ia lakukan hanyalah menjauh dari Will sebelum pria itu mengambil segala hal darinya, sebelum Will berhasil menghancurkannya.

~

Will telah selesai dengan Max Trindl. Ia sempat beberapa kali bertemu dengan lelaki berumur setengah abad itu, ketika menjemput Em. Menurutnya, Max adalah orang yang bisa diajak bekerja sama. Meminta ijin karena Em sedang tidak sehat bukanlah sesuatu yang sulit. Em dimudahkan dengan adanya karyawan magang yang bisa menggantikan pekerjaannya untuk sementara waktu.

Ryan pun mau diajak bekerja sama dengan mandiri, mengurusi dirinya sendiri sebelum berangkat sekolah dan tak mengeluh soal halte atau keterbatasan Will yang tidak dapat mengantarnya. Will harus menjaga Em.

Wanita itu masih terduduk di sofa apartemennya. Masih diam sejak semalam. Tak bicara sepatah kata pun pagi ini sejak kepulangan mereka. Tatapan mata gelap itu masih kosong. Em sama sekali tak memperdulikan sekitarnya, bahkan tidak pula menanggapi Ryan.

Will merasa bias. Kecemasannya menjadi-jadi. Apalagi jika mengingat saran dokter agar tidak membuat wanita hamil itu stres.

Setelah apapun yang terjadi dalam hidup Em, Will tahu semua ini pasti akan sangat berat. Kehamilan keduanya di luar pernikahan, di luar kehendak, pastilah bukan suatu hal yang bisa diterima Em dengan mudah. Terlalu banyak yang telah wanita itu lalui.

Will mendekati Em perlahan. Wanita itu bahkan masih saja tak memperdulikannya meski Will telah berada di sampingnya. Televisi di depannya menayangkan berita pagi, namun mata wanita itu, meski tertuju ke sana, tak sedikit pun seperti ia memperhatikan.

"Em?" Will mengaduk sup krim jagung buatannya. Demi Tuhan. Ia merasa Em kehilangan berat badannya dalam semalam. "Aku telah menelpon Max. Dia baik-baik saja dengan absenmu."

Tidak ada jawaban dari Em.

Will belum menyerah. "Aku membuatkan sup krim. Aku tak tahu bagaimana rasanya, tapi aku telah memastikan bahwa kau tak akan muntah-muntah pada suapan pertama." Will menyendokkan sup dan menyodorkan ke dekat mulut Em. "Kau harus makan, kau tahu."

Em bereaksi. Dahinya mengernyit. Mata gelapnya semakin gelap. Pandangannya bukan lagi pada televisi, namun entah beralih ke mana. Will tak dapat memastikan. Tiba-tiba saja tangan Em terangkat dan menyingkirkan tangan Will. Em mengambil sendok yang dipegang Will sekaligus mangkuk yang berada di pangkuannya.

"Aku tahu," kata Em. Suaranya kelewat serak dan lirih. "Aku bisa mengatasi ini sendiri, Will. Kau bisa pulang. Aku tidak butuh bantuanmu."

Will. Tidak ada lagi William. Em sukses membuatnya teremas dan tak diinginkan. Pulang? Tidak membutuhkannya? Apa wanita ini gila? Janin yang ada di dalamnya adalah darah dagingnya. Ia tak akan pernah bisa meninggalkan Em sendiri.

Em memakan sup buatannya. Suapan pertama dilakukannya dengan gerakan yang kelewat pelan. Wanita itu lemah, namun berusaha menyangkalnya. Will yakin bahwa supnya mudah untuk dicerna, namun Em terlihat melakukannya dengan susah payah.

Apa-apaan ini?! Demi Tuhan, Em jelas-jelas membutuhkan seseorang untuk merawatnya!

Suapan ketiga dilakukan Em dengan langkah yang lebih pelan. Ia bahkan memerlukan semenit untuk menelan sebuah sup. Akhirnya menyerah adalah yang dilakukan Em. Ia meletakkan mangkuk ke meja di depan sofa. Kemudian kembali sibuk ke posisi semula, mengosongkan pandangannya.

"Em—"

Belum sempat Will bicara, Em telah bangkit dari posisinya secepat kilat. Bahkan dengan tubuh kurus dan lemas itu, Em telah melesat ke toilet untuk memuntahkan isi perutnya. Will mengikuti wanita keras kepala itu. Berdiri terpekur melihat pemandangan di depannya di mana Em berjuang sendirian melawan sakit di tubuhnya. Will tak tega lagi.

Will menarik ke belakang rambut Em yang menjuntai. Mengurut tengkuk Em dengan penuh kelembutan. Em memuntahkan segalanya. Setelahnya Em ambruk ke lantai kamar mandi yang dingin. Tangannya yang gemetar mencengkeram porselen toilet karena tak sanggup menyangga tubuh. Will mengambil sapu tangan yang telah ia basahi untuk mengusap seputar mulut Em.

Dengan kekerasan kepala yang masih tertinggal, Em akhirnya menerima sapu tangan itu. Will bisa melihat raut bersyukur tersirat dalam wajah pucat Em.

"Terima kasih. Aku bisa mengatasinya dari sini." Em bangkit dari posisinya. Ia terlihat limbung. Will ingin sekali merengkuh wanita itu dan menidurkannya dengan lembut ke ranjang. Tapi Em tetaplah Em. "Kau, pulanglah. Aku baik-baik saja."

"Kau tidak baik-baik saja." Will akhirnya berkata. "Kau sakit."

"Aku hanya hamil. Aku pernah mengalami ini. Aku dan bayiku akan baik-baik saja. Kesakitan ini bersifat normal."

"Tunggu." Will menelaah segalanya. "Itu terdengar seperti bayimu, hanya ada kau dan dirinya."

"Tepat sekali. Hanya ada aku dan dia."

Will tak bisa lagi menahannya. "Dia juga bayiku!"

"Pergilah. Aku tak membutuhkanmu."

"Em—"

"Will, pergilah. Aku bisa mengatasi ini sendiri."

"Tidak!" Will bersikeras. Dia bersungguh-sungguh, tak akan meninggalkan Em dengan atau tanpa kehamilannya. Jauh di dalam diri Em terdapat kerapuhan yang terlalu lama ditutupi. Will tak akan melihat Em dalam posisi itu. "Aku tak akan pergi."

"Kubilang, pergi!" teriak Em.

"Kenapa kau mengusirku?! Suka atau tidak, aku telah menjadi bagian dari hidupmu karena adanya bayi itu!"

Em berdiri dengan susah payah. Will tak tega melihat kaki-kaki semampai Em yang gemetar menahan bobot. Jelas sekali wanita itu berada di titik lemah. Kekerasan kepalanya adalah satu-satunya hal terkuat yag melekat di tubuh Em saat ini. "Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri, Will. Aku bisa mengatasi kehamilan ini. Aku telah mengalami yang lebih buruk daripada ini. Sekarang aku mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal. Aku yakin menambah satu nyawa di rumah ini bukanlah perkara sulit. Aku tak butuh bantuanmu."

Will mengacak rambutnya frustasi. Tak menyangka ini terjadi pada dirinya. Em lagi-lagi menolaknya.

Will percaya Em bisa melakukannya. Em telah memberikan yang terbaik bagi Ryan. Ia yakin Em akan menjadi ibu terbaik bagi bayi mereka. Namun masalahnya lebih pelik daripada itu. "Em, suka atau tidak suka bayi itu tetap bayiku. Bayi kita. Kau tak bisa memisahkanku dengannya. Aku juga berhak memilikinya."

Em melotot pada Will. Mata gelap itu terbakar saat menatapnya. Em maju selangkah lebih dekat pada Will. Tangannya mencengkeram baju Will, cukup kuat untuk seorang yang sedang sakit. "Kau akan mengambilnya dariku?! Kau bajingan! Kau tak akan mendapatkan apapun dari bayi ini!"

"Em!"

"Pergi kau, sialan!"

"Tidak!"

"Pergi!"

"Em—"

"Sialan, kau. Pergi!" Em mendorong Will hingga punggung Will membentur kusen pintu. "Kau brengsek! Menjauh dari kehidupanku dan bayiku!"

"Em!" Will tak tahan lagi. Ia mengangkat Em dalam sekali rengkuh. Menempatkan Em di pundaknya. Tak peduli jika Em meronta-ronta.

"Lepaskan!"

"Berhenti!" bentak Will.

Em masih terus memukuli punggungnya. Menendangi perutnya. Will tak peduli jika tubuhnya akan membiru. Ia akan menahan Em meski yang harus dilakukannya adalah mengikat Em ke tiang ranjang.

"Turunkan aku! Dasar kau bajingan!" teriak Em.

Will memasuki kamar Em. Menutup kasar pintu itu dengan kakinya. Menjatuhkan Em yang terengah-engah ke ranjang. Will menyusul ke tempat yang sama setelah melepas kaosnya.

"Apa yang kau lakukan?! Menyingkir dari atasku!"

Will tak peduli. Meraih kedua tangan Em, meletakkan paksa di sisi tubuhnya melekat pada ranjang dengan seprai lembut. Will menurunkan wajahnya, menciumi Em dengan kelembutan tak terkira. Tak peduli pada bau asam pada mulut wanita itu, Will hanya harus menyentuh Em.

Sesaat Em berontak, namun melihat kelembutan ciuman itu, Em melemah. Pasrah menerima ciuman itu.

Cengkeraman Will melemah. Dengan lembut mengarahkan tangan Em melingkar ke lehernya. Suara kecapan semakin dalam. Lidah bergerak kian lihai. Sesekali Will beralih ke telinga Em, membisikkan betapa cantik dirinya, betapa beruntung keturunannya berasal dari rahim Em. Kemudian kembali lagi ke bibir Em membelai, mengecup, melumat penuh perasaan. Dan Will benar-benar melibatkan perasaannya kali ini. Tak sedikitpun nafsu yang menggelayutinya atau bahkan berusaha membobol akal sehatnya.

Ciuman itu terasa basah. Liur keduanya menyatu dalam suatu perpaduan. Namun terlalu basah jika hanya melibatkan saliva. Em menangis dalam ciumannya.

"Emmy, Sayang, jangan menangis." Will mengecupi air mata Em. Menelusuri jejak aliran. Berakhir di mata yang terkatup sembab. Dengan ibu jarinya, Will mengusap pipi Em dengan penuh kelembutan. "Aku tahu kau adalah wanita hebat. Kau cantik, kau mandiri, kau lembut, kau berpendirian. Kau tak tahu betapa aku mengagumimu sejak pertama kali pertemuan kita dan semakin mengagumimu setelah malam di mana kau menceritakan segalanya padaku."

"Benarkah?" Em bersuara parau.

"Ya." Will mengecupi kembali wajah Em. "Tapi lihatlah siapa yang hadir di antara kita. Buah hati kita. Dia menyatukan kita secara tak langsung. Takdir menunjukkan jalannya pada kita, Sayang." Will menghela napas. Menatap Em dengan penuh kesungguhan. "Aku tak tahu kapan ini muncul, tapi aku telah menganggap kau dan Ryan sebagai bagian dari hidupku. Aku sangat menyayangi kalian. Aku tak bisa menjauh dari kalian."

"William—"

Will menempatkan telunjuknya di bibir Em untuk menghentikan. "Kumohon, biarkan aku menyelesaikan ini." Will menatap dalam-dalam mata gelap Em yang berkaca-kaca. Ia menyentuh perut datar Em, membelai di sana. "Dia... dia lah yang menunjukkan jalannya pada kita. Dengan adanya dia, aku yakin bahwa bersama dengan kalian adalah yang seharusnya. Harusnya aku sadar lebih awal, tapi... aku terlalu bodoh, Em. Maka dari itu, biarkan aku membenahi ini. Demi Ryan yang kusayangi, demi bayi yang ada di sini, demi kita, maukah kau menikah denganku?"[]    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top