SL - BAB 11 (Rated)

Warning! Mature Content

Empat hari yang dikira Em akan terasa mengerikan terlewati begitu saja. Empat hari yang mengesankan. Empat hari yang mengubah segalanya. Empat hari yang mewakili seluruh kebutuhan seksualnya selama tiga belas tahun. Empat hari yang tak pernah Em duga akan terjadi dalam hidupnya.

Tadinya Em yakin bahwa ia tak akan bisa berjalan setelah seks habis-habisan yang dilakukan bersama partner seks barunya, Will. Namun pria itu juga lah yang membopongnya memasuki Prius warna gelap untuk ke sekian kalinya, memaksanya untuk menjemput Ryan bersama.

Rasanya aneh berpergian setelah empat hari terjebak di ranjang bersama seorang pria.

Pikiran Em kembali tertambat ketika tangan kekar itu meraih tangan bebasnya. Em menatap Will sejenak. Pria itu sedang serius menyetir. Em tidak repot-repot lagi mencuri pandang ke arah tubuh Will yang terasa sangat nikmat di bawahnya. Ia telah mengambil segalanya. Will telah menyerahkan diri pada Em.

Merasa diperhatikan, Will berpaling dari jalanan kepada Em. Ia itu tersenyum manis dan Em bersumpah sesuatu bergetar dalam dirinya ketika mendapati senyum itu. Selama empat hari ini, selama mereka terjebak di ranjang, ia tak pernah melihat Will tersenyum seperti itu. Em hanya ingat bagaimana Will memujanya, memohon padanya, mengerang, menggeram, mendesah, dan klimaks.

Sesuatu terjadi di antara mereka ketika berada di luar ranjang.

Ini tak benar.

"Kupikir Ryan berhasil dengan perkemahannya." Will memecah keheningan lebih dulu. Sesekali tangannya berpindah dari perseneling, lalu kembali lagi menggenggam tangan Em seolah tak ingin kehilangan. Bodohnya, Em tak berontak. "Dia pasti baik-baik saja di sana."

Em percaya Ryan baik-baik saja. Ia menyadari dalam beberapa waktu terakhir, ia tak terlalu khawatir pada putranya. Will telah mengalihkan perhatian. Sosok ibu macam apa yang teralihkan perhatiannya untuk mengkhawatirkan putranya?

"Em?"

Em mengangkat kembali kepalanya. Ia memproses sekitar, ternyata mereka hampir mendekati sekolah Ryan. Ada sesuatu dalam dirinya ketika terjebak di ruangan sempit bersama Will di detik-detik terakhir. Tentu saja, cepat atau lambat ini semua akan segera berakhir. Euforia empat hari penuh dengan seks akan menjadi pengalaman terbaiknya. Namun ia tak akan egois dengan menahan Will tetap bersama. Ia tak akan egois pada hasrat dalam dirinya untuk menarik Will kembali.

Will memarkir mobilnya di bagian parkir yang cukup jauh dari keramaian di mana siswa-siswi berhamburan turun dari bus sekolah. Em masih terpaku di posisinya. Ia menanti Ryan, namun kecemasannya tak kunjung terbit seperti biasanya. Yang paling ia cemaskan adalah detak jantungnya ketika mendapati ibu jari Will mengusap lembut telapak tangannya.

Sentuhan itu... Em bersumpah jika percikan gairah baru saja Will kirimkan lewat sebuah usapan.

Ia tak mengerti bagaimana tubuhnya benar-benar ingin menggagahi Will.

"Aku ingin menanyakan sesuatu." Will memulai lagi. Lelaki itu mencermati wajah Em. Memiringkan kepala. Meraih helai-helai nakal pada rambutnya dan merapikan ke belakang telinganya. Em benci ketika tak menyangkal benaknya bahwa hal itu begitu manis. "Apa yang akan terjadi pada kita?"

Em tak menjawab. Ia hanya menatap mata biru Will. Mata yang menelitinya. Mata itu masih saja memancarkan sorot penyerahan. Pria ini benar-benar telah tunduk padanya.

"Bicara padaku." Em mendengar sendu dalam suara Will.

"Tak ada."

Will mengerjap sekali. Bingung. "Kenapa?"

"Kita tidak dalam batasan itu, Tuan Archer."

Will memejamkan matanya. Napasnya berat seolah Em baru saja menghantamnya. Sebersit perasaan bersalah menggelayuti Em. Namun Em meyakini, yang terbaik dari segalanya adalah dirinya harus mulai membangun batas-batas itu kembali.

"Kenapa? Apa aku tidak memuaskanmu?" Suara Will begitu lirih.

"William, kupikir—"

"Aku ingin bersamamu!" Perubahan terjadi dalam nada suaranya. Will berteriak frustasi. Em berjengit karena terkejut. Tak menyangka Will mengeluarkan nada semacam itu. Will melepaskan genggamannya. Ia mengacak rambutnya. Mengusap kasar wajahnya. Mendongak ke langit-langit seolah mencari jawaban di sana. "Apakah konsep itu sulit dipahami? Aku menginginkanmu. Aku akan mengambil kesempatan apapun yang kau berikan padaku, meski itu hanya menjadi budak seksmu!"

Em terkejut bukan main. Tak menyangka Will mengatakan itu. "Kau tidak—"

"Ya! Aku serius! Aku sangat yakin jika aku menginginkanmu. Jalan manapun akan kutempuh meski aku harus berada di bawahmu, menjadi budakmu, didominasi olehmu. Aku akan mengambil jalan itu, Emmy."

Em menggeleng. Ini tak mungkin sebuah kenyataan. Ia tak mungkin mendapatkan hak sepenuhnya menjadi dominan. Khayalannya terlalu samar untuk menjadi kenyataan. Kini fantasinya telah berdiri di hadapannya siap untuk diwujudkan kapan saja. "Kau pasti gila."

"Aku memang gila, Em. Tapi aku akan semakin gila jika kau tak menyentuhku. Sentuhan apapun. Aku... aku... menginginkanmu. Aku tahu fantasimu setelah kau memperlakukanku kemarin. Aku ingin melayanimu. Aku ingin mewujudkan impian terliarmu. Aku menginginkan semua itu." Will memandang Em dengan hati-hati. Tangan Will kembali meraih tangannya. Ia menarik tangan Em ke kejantanan yang telah menegang di balik celana jinsnya. "Bisakah kau rasakan itu? Itu lah terjadi jika aku berada di ruang sama denganmu. Ini milikmu. Aku memberikan ini untukmu. Apa lagi yang kau inginkan dariku agar aku bisa mendapatkanmu?"

Kepala Em terasa pening. Ia tak bisa berpikir jernih ketika di tangannya adalah sebuah benda berkedut yang bisa memuaskannya. Mereka di sini. Di dalam sebuah mobil sialan yang terparkir di tempat rimbun dan sepi.

Mata Will menunjukkan kepasrahan. Bahkan gestur tubuh merendahnya membuat Em sangat ingin merayap padanya. Menjulang di atasnya dan berkuasa atas dirinya. Tak ayal, baik Em maupun Will telah menyerah pada gairah masing-masing. Menginginkan satu sama lain.

Em benar-benar telah kehilangan akalnya. "Tangan di atas kepala, William."

Mata Will melebar sesaat. Seulas senyuman terpancar dari wajahnya. Namun dengan cepat, ia mematuhi Em.

"Jangan bergerak. Jangan bicara. Jangan menyentuhku. Kuperingatkan kau. Mengerti?"

Will menundukkan pandangannya seolah telah mahir mengambil perannya. "Ya."

Em mulai melucuti celana Will. Membukanya dengan susah payah sementara wajahnya panas. Gairahnya membengkak. Emosinya meluap. Ia tak pernah merasa ingin menyiksa seseorang begitu dalamnya seperti ia menyiksa Will dengan kenikmatan. "Kau menginginkan kepemilikan?!" Em mendesis. Ia menyentak keluar kejantanan Will. Pria itu mendesah hebat saat miliknya bertemu langsung dengan tangan Em. "Kau akan mendapatkannya. Kau pegang kata-katamu," Em mengurut milik Will dengan cepat. "Ini milikku." Em menurunkan kepalanya. Memberikan jilatan kasar pada milik Will.

Will mengerang setengah berteriak ketika Em melakukan itu.

Em mengangkat wajahnya. "Kau bicara, William?" Em menampar kuat-kuat batang tegang itu hingga si pemilik mendesis. "Tahan suaramu! Tahan tubuhmu!" bentak Em. Entah dari mana ia mendapatkan kekuatan itu. Ia kembali menurunkan kepalanya kali ini menggigit bola menggantung milik Will yang menggiurkan.

"Sial!" Will mengumpat. "Itu sakit."

Namun sedetik kemudian Em telah memasukkan seluruh batang Will ke mulutnya. Pria itu terdengar menggeram tertahan. Em tahu pria itu tengah mengendalikan suara dan tubuhnya. Ritme yang Em berikan semakin cepat. Ia kembali mendengar teriakan Will.

"Em! Ya Tuhan, aku ingin bergerak."

Em menghentikan seluruh aksinya. Ia bisa melihat bagaimana tegangnya milik Will. Berkilau karena liurnya. Urat-urat mengikat kuat ingin dipuaskan. Will menatap nyalang padanya. Matanya tersirat permohonan pada Em untuk melanjutkan.

"Em?"

"Bergerak."

Will mengerjap. "A-apa?"

"Kau ingin bergerak? Bergerak. Puaskan dirimu."

"Aku tidak—" Will berhenti. Tangannya menggenggam kemaluannya sendiri. "Aku tak pernah bermasturbasi di depan wanita."

"Kini kau melakukannya." Em menunjuk kejantanan Will. "Itu, milikku. Aku ingin kau memuaskannya dengan caramu."

Will mulai mengurut pelan miliknya sendiri. Em luar biasa terangsang melihat pemandangan di depannya. Namun Em tetap menunggu. Ia telah bertahan selama tiga belas tahun. Bertahan melihat seorang pria bermasturbasi selama beberapa menit pasti tidak lah sulit.

Will memejamkan matanya sementara ritme tangannya semakin cepat. Em masih bergeming, menolak keinginan untuk meraba kewanitaannya yang semakin basah. "Oh! Ya Tuhan! Kau berusaha membunuhku."

"Apa yang kau bayangkan?" Em membuat suaranya sesensual mungkin.

"Kau... menunggangiku dengan kasar. Ah! Milikmu meremas milikku hingga terasa panas. Ini sangat nikmat, Em." Will masih terus mengocok miliknya. Baik napas Will maupun Em telah menjadi tak beraturan. Keduanya dilingkupi pikiran cabul nan menyenangkan. Em menyukai bagaimana Will meracau saat dilanda kenikmatan.

Em memajukan tubuhnya. Will masih saja menutup matanya dan sibuk dengan fantasinya sementara tangannya bergerak aktif. Em mendekatkan bibirnya. Reaksi Will ketika mengenali bentuk bibirnya adalah mencari-cari seolah dirinya buta. Ia menerima segala kesempatan yang Em berikan, jadi ketika bibir Em ikut membantu menuntaskan fantasinya, Will sama sekali tak menolak.

Mereka terjebak dalam sebuah ciuman. Mata mereka saling terpejam, menyerap energi satu sama lain. Panas menjalari keduanya. Tangan Em meraih tangan Will yang bergerak. Will menyerahkan batang yang membutuhkan pelepasan itu pada Em.

Mata Will terbuka. Warna biru yang terbakar karena gairah. Menatap Em dengan penuh hasrat. Em bisa melihat gelombang kenikmatan menjalarinya ketika melihat tubuh Will yang memerah dan berkeringat, kejantanannya sekeras baja dan berkedut hebat.

"Lihat ini," bisik Em. Tangannya meraih tangan Will. Bersama, tangan mereka sama-sama mengurut kejantanan itu. Will mengerang, mendesiskan kata-kata kotor yang menggairahkan. Em semakin semangat mengocok diikuti tangan Will yang mengiringi.

"Emmy!" Will berteriak.

"Berikan padaku." Tangan Em yang lain meraih bola Will dan meremasnya. Pelepasan Will berada di ujung tanduk.

"Sial, sial, sial!" Will meledak bersamaan dengan itu. Cairan telah mengotori jok mobil dan celana yang turun sepaha. Pria itu terengah-engah. Ia menatap Em setengah tersenyum. Kepuasan tercetak jelas dalam ekspresinya.

Em mendekatkan wajahnya. Mencium Will dengan keras dan kasar. Tangan Em meraih tangan Will yang telah bergerak aktif. Menjilati sisa-sisa pelepasan Will yang menempel di sana.

"Sial, itu sangat seksi." Will bergumam lemah.

"Tidak ada waktu. Kita harus menjemput Ryan." Em merapikan kembali penampilannya. Matanya kini mulai mencari-cari sosok putranya. "Bereskan semua ini. Ingatkan aku jika aku adalah alasan di balik semua ini, jadi kau bisa memintaku untuk menggantikanmu menyetir."

"Em?" Will menarik tangannya ketika Em hampir membuka pintu. "Tidak akan ada yang berubah di antara kita, kan?"

Em bimbang, namun mulutnya bicara tanpa keraguan. "Ya."

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

Em menunggu.

"Sebenarnya, aku lah yang mengusulkan pada Ryan untuk bertanya soal ayahnya, malam itu. Ryan sering mengeluh padaku tentang sosok seorang ayah. Jadi aku mengatakan padanya, tanyakan saja pada ibumu."

Em hanya diam. Keheningan pekat terjadi di antara mereka.

"Aku juga yang... yang mengusulkan pada Ryan agar mengikuti perkemahan sekolah. Kupikir, dia butuh membuka diri."

Em tak tahu apa yang dirasakannya. Bagian terdangkal dalam dirinya menyulut supaya menampar Will, bagaimana pria itu telah berada di balik semuanya. Namun yang dilakukan Em justru mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia keluar dari mobil tanpa sebuah tekanan dari Will untuk bicara lebih.

Apa yang Em inginkan? Kata maaf dari pria itu?

Sebenarnya Em bukan pemaaf yang baik untuk beberapa orang tertentu.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top