SF - EPILOG

"Aku mulai muak denganmu, Adrian," dengus Ryan.

Adrian berhenti sesaat dari kegiatannya. Ia menatap putranya yang terlihat sebal padanya, seperti biasa. Tapi nihil. Diam seperti ini sama sekali tak membantunya. Jadi Adrian kembali pada kegiatannya, berjalan mondar-mandir seraya menggigiti kukunya. Saat ini ia benar-benar butuh pengalihan.

"Hentikan itu!" gerutu Ryan.

"Aku tak bisa," gumam Adrian. Ia terus berjalan mondar-mandir di hadapan Ryan. "Aku khawatir sesuatu terjadi pada Delia. Dia berada di dalam sana dan aku tak tahu apa yang akan terjadi padanya."

Ryan mengumpat terang-terangan. Menatap tak percaya pada Adrian. "Hei, kau bisa masuk saja, kalau kau mau. Orang-orang yang di dalam sana bukan amatiran yang baru mengalami persalinan seperti ini. Berhentilah menjadi konyol, Adrian."

"Aku tak bisa melihat Delia kesakitan."

Ryan memutar mata. "Delia tidak akan kesakitan. Dia di bius lokal. Praktis dia tidak akan merasakan apa-apa. Untuk apa kau membayar rumah sakit semahal ini jika kau masih khawatir?"

Adrian mengacak rambutnya. Ia menjatuhkan tubuhnya di samping Ryan. "Katakan padaku, apa yang kau rasakan ketika Emily lahir?"

Ryan mengalihkan pandangannya, tak mau menatap Adrian. "Ceritanya lain. Saat itu adik ayahku tiba-tiba menjemputku dan mengatakan ibu sudah berada di rumah sakit. Aku lebih dari khawatir. Aku takut." Ryan mengendikkan bahunya dengan santai. Membangun seringaiannya lagi. "Tapi jangan cemas begitu, Adrian. Delia masih tertawa-tawa bersama kita dua puluh menit yang lalu, sebelum dia masuk ruang operasi. Mereka sehat. Semuanya akan baik-baik saja."

Adrian menatap wajah sendu Ryan yang masih di sana. Sebagai seorang ayah, ia merasa tersentuh dengan apa yang dialami putranya. Ia tahu hubungannya dengan Ryan bukan hubungan lazim antara ayah dan anak, namun ia cukup bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang.

Adrian menepuk bahu Ryan. Wajah sendu itu menghilang menjadi raut sebal seorang Ryan Archer, hingga membuat Adrian tersenyum. Lebih baik begini. "Aku menyesal dengan apa yang terjadi pada Emilia. Aku sendiri takut membayangkan berada di posisimu atau William." Adrian menghela napas. "Aku mencintainya dengan caraku sendiri, kau tahu. Kadang rasanya aku masih berharap bahwa dia masih di dunia yang sama dan bahagia juga dengan caranya sendiri. Bersama kau, Emily, dan William."

Salah satu sudut bibir Ryan terangkat. "Dia sudah bahagia. Dengan caranya sendiri."

Benar. Adrian yakin begitu. Emilia pasti berada di tempat yang tepat, yang lebih baik. Emilia pasti bisa melihat bahwa kini Adrian bersama Ryan dan tak pernah menyerah pada putra sulungnya itu.

"Mungkin aku panik karena aku menginginkannya."

Ryan menatap Adrian. "Kau panik karena kau memang selalu paranoid begitu. Terkadang perhatianmu itu menjengkelkan."

Adrian terkekeh. "Ini hal baru bagiku." Ia mengendikkan bahu. "Kupikir aku seperti ini karena ingin merasakan betapa hebatnya menjadi bagian dari sebuah kelahiran. Supaya aku tahu apa yang orang elu-elukan tentang ini. Kau tahu, aku tak ada di sana ketika kelahiranmu."

Ryan menggeleng. "Jangan bahas itu atau aku akan meninjumu―"

"Terkadang aku juga berharap kau mau memanggilku Papa―"

"Jangan bermimpi, brengsek―"

"Bagaimana dengan memanggil Delia, Mama? Dia pasti akan senang―"

"Tutup mulut―"

"Bagaimana jika adikmu bertanya suatu saat nanti―"

"Persetan denganmu, Adrian."

"Tuan Salendra." Suara dokter menyela perdebatan keduanya. Dokter itu masih mengenakan pakaian operasi berwarna biru. Ia tersenyum pada keduanya.

"Bukankah aku berhasil mengalihkan perhatianmu?" seru Ryan dengan bangga. "Tidak terasa, kan? Cepat temui dokter, Papa."

Alih-alih merasa senang, Adrian justru melotot pada Ryan yang kini tertawa terbahak. Sekarang kata Papa yang diucapkan Ryan lebih seperti sebuah sarkasme lembut atau sindiran atau ejekan. Sialnya, ini justru seperti hiburan untuk Ryan.

Meninggalkan Ryan yang masih tertawa, Adrian bangkit menghampiri dokter itu. "Bagaimana keadaannya?" tanya Adrian.

"Semuanya berjalan lancar. Selamat, Tuan Salendra. Ibu dan anak-anak Anda dalam keadaan sehat. Bayi laki-lakinya lahir lima menit lebih dulu. Sekarang keduanya tengah dibersihkan. Anda bisa melihatnya nanti di ruang bayi. Nyonya Delia secepatnya akan diantar ke ruang rawat inapnya."

Adrian mengucap syukur dalam hati. Bahkan tanpa terasa air matanya telah terbit karena tak sanggup membendung kebahagiaan. Ia berbalik pada Ryan yang ikut tersenyum padanya. Adrian tak peduli pada respon Ryan, namun secara reflek ia menghampiri Ryan dan memeluk putranya itu. Tak ada penolakan dari Ryan meski anak itu tidak membalas dengan pelukan yang sama.

"Aku menjadi seorang ayah sungguhan," gumam Adrian. Ia menatap langit-langit dan masih belum berhenti mengucap syukur.

"Selamat, Adrian," bisik Ryan. "Sekarang aku punya banyak saudara."

Adrian melepas pelukan itu dan menatap putranya. "Kau tetap akan menjadi putraku. Itu tak akan berubah."

Ryan tersenyum dengan penuh haru, namun bibirnya justru berkata, "Kau bukan ayahku. Nama belakangku Archer."

Adrian tertawa seraya mengacak rambut putranya.

Seperti ini saja. Adrian sudah bahagia.

* * * * *

"Sial. Sial. Jangan menatapku dengan cara yang sama!" gerutu Ryan.

"Ryan! Demi Tuhan!" hardik Delia. Ia beralih pada Adrian. "Beritahu anak itu! Jangan mengumpat di depan bayi berumur dua hari!"

Adrian mengalihkan perhatiannya dari Delia ke Ryan. "Ryan, jangan mengumpat," kata Adrian yang justru terdengar santai. Sama sekali tidak terdengar seperti nada memerintah.

Apa yang Delia harapkan? Ryan itu tipe pemberontak dan Adrian tahu betul itu. Sia-sia saja memerintah anak itu.

Ryan yang sibuk di ranjang bayi akhirnya mengajak rambutnya ketika bayi kembar itu berkedip bersamaan. "Persetan! Kenapa kalian selalu melakukan semua itu secara bersamaan?!"

"Ryan!" tegur Delia.

"Tunggu sebentar, Delia." Ryan mengangkat tangannya untuk menghentikan Delia. Ia kembali lagi pada ranjang bayi kembar itu. "Kalian harus tenang dalam beberapa detik. Aku akan menemukan perbedaan antara Ian dan Kate dengan cepat. Hei, aku ini cerdas. Jangan meragukanku." Ryan terlihat berkonsentrasi menatap bayi dalam dua boks berbeda itu. "Oke... jadi... yang mana Katryna... yang mana... Katianda?" Ryan mendengus setelah beberapa detik hening tanpa hasil. "Serius, Adrian. Bagaimana cara membedakan mereka berdua?"

"Mereka punya alat kelamin yang berbeda," sahut Adrian.

"Selain itu!" gerutu Ryan.

Adrian menggeleng. "Aku belum mengamatinya sedetil kau yang mengajak bayi berumur dua hari berbicara. Kau tahu mereka tak akan menjawabmu, kan?"

Ryan mengernyit. "Tapi wajah mereka seperti mengolokku."

Adrian mendengus. "Ryan, kau ini jiplakanku. Begitupun mereka. Kalian berada dalam DNA yang sama. Jangan saling mengolok wajah satu sama lain. Aku berani bertaruh, ketika Ian besar nanti, ia pasti mirip dirimu."

"Aku akan meninjunya jika dia berani memanjangkan rambut dan mengecat pirang gelap hanya demi meniruku."

Ryan melirik salah satu bayi yang menguap setelah mendengar Ryan. Mungkin saja yang satu itu adalah Katianda Salendra yang sedang mengejek Ryan. "Persetan denganmu."

"Ryan! Kau adalah pengaruh buruk bagi bayi. Jika mereka setidak-tidaknya berumur dua tahun dan mulai meniru, aku akan jauhkan mereka darimu," tukas Delia.

"Aku punya adik yang hampir berumur lima tahun, Delia." Ryan membela diri. "Aku ini kakak penyayang. Tanya saja pada Adrian."

Adrian diam sejenak. "Uh, sebenarnya kau dan Emily lebih banyak bertengkar."

Delia tertawa hingga ia meringis kesakitan karena bekas operasi di perutnya belum kering betul. Adrian panik ketika melihat wajah Delia, namun wanita itu sepertinya tidak bisa menahan tawanya. "Ya Ampun! Aku percaya kau kakak yang baik."

Pintu terbuka tiba-tiba, menyela obrolan semua orang yang ada di ruangan itu. Lima orang pria bersetelan hitam memasuki kamar rawat Delia tanpa basa-basi. Ryan mendadak bersikap defensif, begitu juga dengan Adrian.

Orang terakhir yang memasuki ruangan itu adalah wajah nan akrab bagi Adrian. Bagaimana tidak, kembarannya berjalan mendekat bersama sang ayah dengan setelan necis nan mengilap.

Adrian maju lebih dulu untuk meminta penjelasan. "Pintunya masih cukup kokoh untuk diketuk!" hardik Adrian pada Derian.

"Kau ini tak punya sopan sama sekali, ya?" tukas Derian. "Aku ini tamu yang ingin melihat kelahiran putra-putrimu. Dan kau memperlakukanku seperti ini?"

Adrian mendengus. "Bicara soal kesopanan, apakah kau lupa cara bertamu? Kubilang, pintunya masih cukup kokoh untuk diketuk. Kau tidak perlu memakai cara seperti itu untuk masuk!"

"Hentikan!" sergah suara berat Satya Salendra. "Kalian ini memalukan."

Adrian menatap kembarannya dengan tatapan tak suka karena Derian sendiri mulai melancarkan tatapan menyelidik pada Ryan yang berada di belakang Adrian.

Satya maju lebih dulu mendekati boks bayi. Di sana ada Ryan yang menatap tajam pada pria paruh baya itu. "Siapa namanya, Ryan?"

Adrian bisa melihat Satya yang menatap tegas pada Ryan. Tangan Ryan mengepal seolah menahan emosi. Rahangnya mengetat, namun tinju menyakitkan itu masih belum bersarang di pipi Satya Salendra. Padahal Adrian bersumpah bahwa Ryan tak akan pandang bulu untuk melancarkan tinjunya. Melihat dari banyaknya penjaga yang terlatih, Ryan cukup pintar untuk mengetahui pria-pria bersetelan gelap ini membawa senjata di balik mantel mereka.

"Ryan. Archer?" Satya menyebut nama itu lamat-lamat.

"Katianda Salendra...." Ryan meneguk ludah sekali sebelum melanjutkan, seolah Satya baru saja merenggut udaranya. "dan Katryna Salendra."

Satya memicing melihat boks bayi di mana si kembar menatapnya dengan cara yang sama. Satya tersenyum, namun senyumnya benar-benar janggal. "Kebanggaanku."

Satya mengangkat wajah untuk menatap Ryan. Ruangan menjadi sangat hening dan pergulatan tatap itu hanya terjadi pada Ryan dan Satya. "Kita tidak lagi membicarakan tentang ini, Ryan. Kau cukup pintar untuk mengetahui bahwa takdir memang berpihak padaku. Suka atau tidak suka. Terima atau tidak terima. Aku punya caraku sendiri untuk memenangkan permainan ini."

"Kau tidak akan mengambil apapun dari adikku," kata Ryan dengan nada datar. Tatapannya setajam pisau pada Satya Salendra. "Kau tidak bisa menuliskan takdir pada bayi berumur dua hari."

Satya tertawa pelan. "Apa yang bisa kaulakukan dengan itu? Dia punya darah Salendra. Begitupun dirimu. Kalian senilai. Hanya masalah waktu―"

"Aku mengambilnya," potong Ryan dengan tegas. "Aku terima."

"Tidak." Adrian merangsek maju. Ia menatap Ryan. "Kau bisa menolak hak waris itu jika kau tidak ingin menerimanya."

Satya menatap Ryan, menanti jawabannya.

Ryan tak mau menatap Adrian. "Aku... menginginkannya." Keraguan dalam suara Ryan pun dapat dipastikan bahwa kalimat itu tidak benar-benar milik Ryan. "Aku akan terima segala hal yang membawaku ke Salendra Group."

"Ryan―"

"Maka buktikan," Satya menyela sebelum Adrian meyakinkan bahwa Ryan tak perlu mengambil tanggung jawab ini dan meninggalkan kebebasannya. "Buktikan jika kau layak berada di posisi itu."

Ryan mengangguk kaku.

Satya tersenyum hangat di balik topengnya, ia membuka tangannya untuk Ryan. "Peluk kakek, Nak."

Ryan melangkah ragu ke arah Satya, namun pelukan itu benar-benar terjadi. Adrian tak mengira Ryan mau mengambil tanggung jawab ini untuk menggantikannya. Jika saja Ryan membantah dengan lebih keras, Adrian yakin Satya akan melupakan ini dan berakhir memberikan segalanya pada Derian.

Ryan tak perlu dibelenggu seperti ini. Ini lebih berat bagi Ryan daripada Adrian sendiri yang harus kembali pada keluarganya. Ryan berada di lingkungan asing yang tak diketahuinya, namun Ryan mengambil resiko itu entah untuk alasan apa.

Ryan menatap Adrian dari balik bahu Satya. Mulutnyabergerak tanpa mengecap suara. Adrian sangat yakin bahwa Ryan ingin menyampaikan,"Maaf."[]


E.N.D


Memang gantung. HAHAHA! Biar lapaknya Ryan rame (ketawa jahat)

Nggak sih.. pokoknya Ryan nerima warisan. Anaknya Adrian namanya Ian & Kate

SO bakal diupdate.... nggak tau kapan. Saya nggak pernah janji-janji palsu (pernah sih.. ntaran gw bayar) pokoknya ntar tau-tau update gitu aja lah... biasanya juga mau end, mau marathon juga gabilang :p :p :p 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top