SF - BAB 5 (Rated)


Warning! Mature content.

Delia mengangkat wajahnya setelah panggilan itu berakhir. Hal pertama yang dilihatnya adalah monster paling menyedihkan yang pernah hidup. Di depannya adalah visualisasi seorang wanita dengan rambut panjang yang tergelung acak-acakan, mata menggembung karena sembab, maskara yang telah luntur menyebabkan bagian bawah matanya menghitam, dahi yang ditempeli plester luka. Orang ini jelas mengerikan. Orang itu adalah dirinya, Delia Narendra—

Ralat.

Nama belakang itu bukan lagi miliknya. Narendra adalah nama keluarga suaminya, sementara Delia sama sekali tak ingat jika ia pernah punya suami.

Apakah mereka pernah benar-benar menikah? Apakah ini rasanya hidup berumah-tangga? Jika benar, maka yang dirasakannya sama sekali bukan suatu kehidupan bersama yang mereka bagi berdua.

Ini dibagi tiga dan jelas tak sama rata.

Ardan Narendra hanya membagi sebagian kecil rumahnya dengan Delia. Sementara seluruh ruang hatinya adalah untuk wanita lain yang bahkan sudah Delia benci sejak melihat gambarnya.

Hanya gambarnya. Dan itu sudah membuat Delia membenci wanita itu seumur hidupnya.

Delia menghembuskan napas untuk ke sekian-sekian kalinya. Ia perlu menetralisir dadanya yang bergemuruh dan tak mau bangkit dari keadaan terdesak. Ini membuatnya sesak napas. Ardan berhasil membuatnya seperti ini lagi untuk ke sekian-sekian kalinya—terlalu banyak selama empat tahun pernikahan mereka dan Delia tak sanggup lagi menghitungnya.

Bahkan sepertinya perlu seumur hidup Delia untuk membalaskan apa yang Ardan perbuat padanya.

Lantas untuk apa Delia bertahan dan tetap setia selama ini jika mereka hanya berujung pada sebuah perpisahan?

Dasar brengsek, kau Ardan Narendra! Pergilah ke neraka!

Sekarang Delia bisa mengumpat sedemikian rupa karena beberapa menit yang lalu, ia telah menandatangani surat perceraian yang dilemparkan Ardan di depan wajahnya. Pria itu bukan lagi suaminya, dan ini tidak melanggar norma Delia sebagai seorang istri.

Delia merasa jatuh, mengingat profesinya sebagai psikiater. Ia menangani banyak orang yang memiliki masalah, beberapa di antaranya adalah masalah percintaan, juga pertengkaran dalam rumah tangga hingga membuat mereka frustasi. Banyak pula latar belakang anak yang depresi karena perpisahan orang tua mereka. Delia memberi banyak masukan dan saran yang isinya hanya omong kosong belaka, karena nyatanya, Delia pun tak bisa melakukan apa yang dikatakannya pada orang lain.

Calon mantan suaminya jelas terlihat sangat sakit jika dilihat dari kacamatanya sebagai seorang psikiater. Tapi Delia tak bisa melakukan apapun untuk menolong laki-laki itu.

Tidak.

Bukan Delia yang tak bisa apa-apa. Ardan lah yang menutup diri untuk sebuah pertolongan. Delia akan dengan senang hati membantu Ardan, tapi laki-laki itu memiliki hati serupa baja yang terbakar. Terlalu keras, tak bisa diruntuhkan, dan tak mampu disentuh meski hanya sedetik saja

"Kau sangat malang, Delia," kata Delia pada bayang diri. Ia menghidupkan kran wastafel untuk mengambil air. Membasuh wajahnya dengan gosokan kasar agar sisa riasan mengerikannya hilang. Sekarang ia terlihat jauh mengerikan dengan wajah polos dan mata sembab.

Siapa pula yang mengatainya cantik? Kalau saja Delia cantik, Ardan sudah menggilainya sejak dulu. Bukan menggilai wanita yang tak pernah menampakkan batang hidungnya.

Dasar pengecut. Perebut suami orang.

Delia mengusap wajahnya dengan sedikit bedak. Memberi perona pipi supaya ia terlihat hidup. Maskara supaya matanya lebih baik. Sentuhan terakhir adalah lipstik yang dipilihnya pagi ini karena berkat lipstik baru sialannya itu membuat Delia melakukan hal ini sekarang.

Ia bersiap menemui Adrian—untuk sebuah ciuman.

Sial.

Apakah Delia wanita yang semurahan itu? Demi Tuhan! Delia cukup tahu bahwa Adrian adalah salah satu pasiennya yang paling putus asa dan bebal karena tiga tahun hidupnya hanya berputar pada satu masalah yang sama. Sekarang ia merespon keputus-asaan itu dengan keputus-asaannya sendiri karena sebuah ciuman yang akan berarti sesuatu.

Bagaimana bisa sih Delia merona seperti ini?!

Delia sudah menginjak dua puluh enam tahun dan ia merasa gugup demi sebuah ciuman seorang Adrian Salendra?!

Itu normal. Semua orang asti gugup jika hampir dicium bintang sepak bola terkenal, Adrian Salendra. Si tampan dengan rambut cepak dan tubuh sempurna. Si maskulin pencetak skor terbaik di negaranya. Si gila yang bisa membuat wanita manapun tergila-gila.

Apakah Delia akan menjadi salah satu dari wanita-wanita itu?

Tentu saja tidak!

Itu akan menghancurkan kredibilitasnya. Jika media mengetahui hubungan apa yang terjalin antara dirinya dan Adrian, eksistensi lelaki itu akan menghitam dan Adrian akan lebih putus asa lagi.

Jadi Delia akan menemui lelaki itu hanya untuk sebuah terapis yang bisa mencegah pria itu bertindak gegabah. Bukan untuk sebuah ciuman.

Tidak ada ciuman, Delia.

"Tidak ada ciuman, Delia." Ia menggumamkan kata itu seraya menatap pantulannya sendiri. "Tidak ada ciuman. Kau tidak boleh menciumnya. Persetan jika dia seksi dan jantan, kau tetap tidak boleh berciuman dengannya."

Delia menghembuskan napas. Merapikan peralatan riasnya. Menyambar tas kecilnya di lemari. Tapi ia melupakan sesuatu.

Delia kembali ke wastafel untuk berkumur dengan pembersih mulut. Delia hampir tersedak dan menelan cairan itu saat menatap pantulan wajahnya sendiri. Ia cepat-cepat menyelesaikan acara berkumurnya.

"Bodoh!" umpatnya. "Sialan kau, Delia. Kau idiot!"

Untuk apa sih dia mencuci mulut?

"Kau tak perlu mencuci mulut. Kau tidak akan berciuman dengannya. Ingat, tidak ada ciuman!" Delia mulai kesal sendiri mengulang kalimat ini hanya untuk menyugesti pikirannya yang keras. "Jangan mencium Adrian Salendra yang seksi."

Delia keluar dari kamarnya, dan seperti biasanya, ia menemukan Ardan yang sudah tergeletak di sofa dengan tangan menggantung memegang botol minuman keras. Dan seperti biasanya pula, Ardan menggumamkan nama wanita itu dalam keadaannya yang tak sadarkan diri.

Meski Ardan bergumam tak jelas, Delia pun telah menghafal apa yang dikatakannya.

"Lia... aku mencintaimu."

Siapa sebenarnya si jalang itu?! Delia tentu tahu seperti apa wajahnya karena wajah wanita itu lebih banyak terpasang di rumah ini daripada wajah Delia sendiri.

Sebenarnya dengan siapa sih Ardan menikah?

Delia kesal memikirkan itu. Ardan telah menyakitinya selama lebih dari empat tahun. Jika lelaki itu tak peduli, maka itu pula yang akan dilakukan Delia.

Delia melangkahkan kakinya keluar dari rumah terkutuk itu. Hari ini dia harus mencari tempat tinggal baru karena ia sudah tak berhak menempati properti milik Ardan. Tapi sekarang ini, ia harus mengurus pasiennya yang mempunyai catatan tagihan terbesar.

Dengan arus lalu lintas dini hari dan perasaan yang menggebu setelah Ardan memakinya, berteriak padanya, dan memaksanya menandatangani surat perceraian; tidak butuh lama untuk Delia tiba di kafe yang dimaksud.

Kafe itu memang buka dua puluh empat jam. Terlihat sepi namun terang benderang, menandakan bahwa mereka buka. Alih-alih di dalam kafe, Adrian terlihat berdiri di areal parkir bersandar mobilnya dengan tangan terlipat. Lelaki itu hanya mengenakan kaos putih polos yang ketat di tubuhnya yang berotot, dan celana jins yang selalu cocok dengannya—membuatnya tampak lebih muda dari tiga puluh enam tahun usianya. Punggung Adrian tegak saat melihat mobil Delia datang.

Delia baru akan turun menemui lelaki itu, namun tiba-tiba saja pintunya terbuka dan Adrian sudah masuk ke bagian penumpang.

"Delia..."

Delia tak sempat terkejut karena Adrian telah menariknya mendekat. Mengaitkan bibir mereka dalam suatu ciuman yang menuntut dan penuh keputus-asaan. Mantra yang terus Delia ulang kini telah pergi entah ke mana. Delia tak ingin mengakui betapa nikmatnya ini, tapi ciuman ini sangat sulit dilewatkan. Ciuman ini menggairahkan dan Delia bahagia mendapatkannya.

"Manis." Adrian menyusupkan kembali lidahnya. Tangannya berada di tengkuk Delia seolah menahan kalau-kalau ia melarikan diri. Sia-sia sudah tekad yang Delia paksakan masuk ke dalam otaknya tadi. "Kau membuatku gila."

"Adrian," Delia terengah. Tetapi di tengah keinginannya untuk terus diciumi Adrian, Delia tahu bahwa ini tak benar. Adrian hanya putus asa dan Delia belum resmi bercerai. "Tidak seharusnya begini."

Pikiran Delia memprotes kata yang baru saja terlontar. Seharusnya begini. Delia mendambakan sebuah ciuman romantis, penuh hasrat dan gairah. Ciuman Adrian ini adalah salah satunya.

"Biar seperti ini." Adrian kembali melumat bibirnya. Memberi kecupan-kecupan nakal. Terima kasih, Tuhan, karena Adrian keras kepala dan terus menciuminya. Delia merasa sangat naif karena sebenarnya ia tak ingin ini berakhir.

Bibir berpagutan telah terlepas. Kini Adrian beralih ke lehernya. Menjilat dan menggigit kecil. Delia melarikan jari-jarinya ke sela rambut Adrian yang legam dan terpotong cepak rapi. Tiap ujung rambut mengirimkan impuls melalui kulit tangannya hingga membuat Delia mengerang ketika Adrian mulai berani bertindak lebih dengan menyusupkan tangan ke balik blusnya.

"Lebih dari setengah menit," kata Adrian di ceruk lehernya. Masih sibuk memberi kecupan di sana. "Tak kusangka."

Tak pernah. Tak pernah Delia merasa seperti ini seumur hidupnya. Inikah gairah yang dibicarakan orang-orang? Inikah yang disebut terangsang? Rasa berkedut di selangkanya membuatnya frustasi. Delia ingin melarikan jari ke kewanitaannya untuk membelai, demi menghilangkan rasa frustasinya.

"Adrian..." Delia mengangkat kepala Adrian. Ia bertemu dengan mata gelap yang semakin kelam. Tidak ada lagi mata kosong tanpa tujuan seperti yang sering ia lihat di mata Adrian. Lelaki ini sepenuhnya bergairah dan menyukai ini sebagaimana Delia.

"Apakah kau akan mendorongku atau menarikku?" tanya Adrian pelan.

Mata mereka saling bertaut. Adrian tak melepaskan pandangan pada setiap inci wajahnya. Jawaban Delia bukan semata-mata dukungan psikis yang sering ia berikan sebagai bentuk terapi. Ia menjawab karena ia juga menginginkannya.

Tak sepatah kata pun keluar, namun ini isyarat cukup untuk segala jawaban yang ada di pikiran Delia. Ia membawa wajah Adrian ke dadanya yang masih tertutup pakaian lengkap. Adrian menggerakkan mulutnya untuk menangkup daging kenyal yang masih terbalut. Erangan nikmat keluar dari bibir Delia.

Adrian menggeram. "Sial, aku tak ingin melakukannya di mobil."

Delia mengerjap saat Adrian menarik diri. Mengakhiri dengan sebuah ciuman singkat di bibir. Keduanya terengah-engah setelah momen panas itu. Tiba-tiba jurang keheningan terasa begitu dalam saat mereka mengatur kembali napas mereka yang baru saja diinvasi satu sama lain.

Delia menyunggingkan senyum diam-diam karena mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Bibirnya bengkak dan aroma mint dari Adrian masih melekat di sana. Delia bersyukur dengan kebodohannya yang tidak melupakan cairan pembersih mulut.

"Aku ingin bibirmu di antara gigiku. Lagi."

Delia melebarkan mata saat Adrian mengatakan itu. Ia ingin membalasnya dengan sesuatu tapi tak yakin. Ia benar-benar sangat naif saat ini.

"Delia, dengarkan aku." Adrian memposisikan diri menghadapnya. Delia hanya bisa terpaku seolah ciuman tadi membuatnya terdisorientasi. Ia menelan ludah karena jarak Adrian begitu dekat dengannya. Ia sudah sering berada satu mobil dengan Adrian, tapi jantungnya tak pernah bekerja sedemikian keras seperti sekarang. "Aku tahu ini gila. Tapi... kurasa... aku membutuhkanmu."

Apa maksudnya itu? "Kau... membutuhkanku?" tanya Delia bingung.

Adrian mengangguk. "Inilah yang membuatku gila dan ingin mengakhiri hidupku. Aku merasa sangat lemah dan frustasi karena bayang-bayang Emilia yang selalu ada di kepalaku. Tapi lebih dari itu..." Adrian menggantungkan kata.

"Apa?"

"Aku tak bisa orgasme dengan benar saat aku menginginkannya. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku, tapi kupikir Emilia lah yang menyebabkan aku seperti ini."

Delia terdiam mencerna kata-kata vulgar Adrian. Baiklah, ia adalah seorang psikiater, tapi ia tak pernah mendapatkan pasien yang punya masalah tentang hubungan seksual. Hal itu terlalu tabu di negara ini. Masalah semacam ini adalah hal baru untuknya.

Adrian mengerang karena bungkamnya Delia. Ia meninju udara seolah tak tahu akan melampiaskan pada siapa. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Berhenti membuka bibirmu seperti itu!"

"A-apa?" Delia kebingungan.

"Kau!" Adrian maju tanpa aba-aba lagi. Ia mengaitkan kembali bibir Delia dengan bibirnya. Ia menggigit bibir bawah dengan gemas. Delia pun mengerang karena ciuman menuntut itu.

"Apa-apaan itu tadi?!" Delia mendorong perlahan dada Adrian.

Adrian menangkup wajah Delia. Memaksa mata saling bertatapan. "Aku menginginkanmu. Aku tak peduli jika harus masuk penjara karena suamimu menuntutku. Aku ingin bercinta denganmu. Aku ingin seks. Aku ingin milikku berada di dalammu. Aku membutuhkanmu, Delia."

Delia bisa melihat keputus-asaan Adrian. Tapi entah bagaimana wajah frustasi itu justru membuat Delia bahagia ketika menatapnya. Seolah Adrian sangat bergantung padanya. Seolah Adrian memujanya. Seolah Adrian bisa mati jika tak melakukannya. Seolah Delia adalah sosok tercantik satu-satunya dalam hidup Adrian.

Delia tahu bahwa sekarang ini dirinya tengah beradadi titik putus asa yang sama karena Ardan mencampakkannya. Delia tahu ini pikiran singkat yang akan berujung penyesalan, tapi—persetan! Ia juga membutuhkan Adrian sekarang.[]    

21+ loh. Umur kamu berapa? :D

Semoga suka!

ily,

Annie Green

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top