SF - BAB 44
Adrian benci hanya bisa mondar-mandir di ruang tunggu sementara kekhawatirannya tak kunjung reda. Bagaimana mungkin ia bisa tenang jika Delia berada di dalam Ruang Gawat Darurat dan Adrian sendiri yang membopong wanita itu dalam keadaan tak sadarkan diri?
Adrian luar biasa panik ketika Delia tiba-tiba lemas dalam pelukannya dan mendadak pingsan. Adrian hanya bisa berharap semuanya baik-baik saja―bayinya baik-baik saja.
Adrian tak pernah setakut ini seumur hidupnya. Ini mengalahkan segala hal yang ada dalam hidupnya. Ia takut Delia pergi. Ia takut sesuatu terjadi dan membuat keadaan tidak berjalan seperti sebelumnya. Ia takut bukan karena dibayangi kesalahan di masa lampau. Ia takut karena Delia pergi.
Ini lebih menakutkan daripada kesalahan yang terus membayangi Adrian. Ia telah terlepas dari belenggunya di masa lalu dan Delia yang membuatnya begitu. Delia telah mengikatnya dan Adrian bersedia dengan seluruh jiwa tertawan oleh Delia.
Adrian mencintai Delia.
Ia tak bisa membayangkan hari ini atau besok atau hari setelahnya tanpa Delia.
Tak ada lagi sosok lainnya atau perasaan menyiksa lainnya. Adrian hanya tersiksa jika ia kehilangan Delia.
Pintu Ruang Gawat Darurat terbuka menampakkan seorang dokter pria yang berada di pertengahan empat puluhan. "Tuan Salendra."
Adrian segera bangkit menghampiri dokter itu. "Bagaimana keadaannya? Apakah bayinya baik-baik saja?"
"Nyonya Delia mengalami dehidrasi parah dan saya menyarankan supaya malam ini membiarkannya beristirahat total di rumah sakit. Saya harus memantau keadaannya dalam dua belas jam dan menambahkan cairan pada Nyonya Delia. Tapi bayinya baik-baik saja. Anda tepat waktu membawanya ke sini. Sebaiknya ibu hamil, apalagi untuk kehamilan kembar, dijauhkan dari hal-hal yang mungkin memicu emosinya. Stres bisa saja berakibat fatal untuk kehamilannya. Pastikan ia tidak tertekan secara emosional."
Adrian menghembuskan napas lega. "Tentu. Saya akan memastikan itu."
"Anda bisa menemui Nyonya Delia. Tapi sepertinya ia belum sadarkan diri. Dia perlu banyak istirhat."
Adrian mengangguk dan segera masuk ke Ruang Gawat Darurat. Delia tertidur di ranjang dengan tangan yang dililiti selang infus, hidung yang dililiti selang oksigen. Adrian membungkuk mendekati Delia. Menyematkan ciuman di kening wanita itu.
"Baik-baiklah, Delia. Aku sangat mengkhawatirkanmu," gumam Adrian.
* * * * *
"Adrian..."
Adrian mengerjapkan mata ketika mendengar suara lirih itu. Sentuhan lembut di kepalanya membuat Adrian mendongak. Ia tanpa sadar tertidur di samping ranjang Delia. Wanita itu sudah sadarkan diri dan tersenyum lembut pada Adrian. "Hei, kau sudah bangun. Bagaimana persaanmu?"
"Lebih baik." Delia terlihat kesulitan menelan ludahnya.
"Mau aku ambilkan sesuatu."
Delia mengangguk pelan. "Tolong air."
Adrian mengambil air di nakas. Membantu Delia minum dengan sedotan. Adrian mengecup kening Delia sekilas sebelum mengembalikan gelas.
"Maaf merepotkanmu," kata Delia lirih.
"Bicara apa kau ini? Aku khawatir dan kau justru meminta maaf? Kau harus fokus untuk memulihkan kondisimu. Kau ceroboh sekali tidak memperhatikan kehamilanmu saat pergi dari rumah kemarin. Kau tidak makan, tidak tidur. Bahkan Ardan yang sudah mati pun masih merepotkanmu."
Delia terdiam mendengar Adrian. Kesedihan masih bersarang pada diri Delia dan Adrian merasa bersalah karena mengungkit Ardan.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud―"
"Aku masih mencintainya," kata Delia. "Rasanya sulit menerima kenyataan bahwa dia telah tiada."
Adrian hanya menatap Delia. Ia tahu persis bagaimana rasanya ditinggal pergi hingga tak akan pernah bisa bertemu lagi. "Aku di sini," ujar Adrian. "Aku akan selalu ada untukmu."
Delia meraih tangan Adrian. Membawanya telapak tangan Adrian ke bibirnya. Mengecup di sana. "Tapi aku juga mencintaimu, Adrian. Aku takut kau pergi meninggalkanku juga karena kegilaan yang terjadi pada dirimu akibat meratapi wanita itu. Lia merenggut banyak hal dariku meski aku tak pernah bertatap muka dengannya."
Adrian membungkam Delia dengan sebuah ciuman. Ia mencurah segala rasa yang menggebu dalam dadanya. Ia merasakan pula ketakutan Delia yang menjadi-jadi. Ketakutan yang sama terjadi pada Adrian jika membayangkan Delia yang dicintainya pergi.
Dahi Adrian menyandar pada dahi Delia. Keduanya saling memejamkan, mencurahkan energi satu sama lain. "Aku mencintaimu, Delia," bisik Adrian. "Aku tak akan bisa bertahan tanpa kau di sisiku. Kau menyelamatkanku. Aku ingin kau terus berada di sisiku dan menerima seluruh kelebihan dan kekuranganku. Aku hanya bisa berusaha untuk menjadi yang terbaik bagimu dan anak-anak kita. Jadilah milikku seutuhnya, Delia."
Delia menarik mundur wajah Adrian. Ia mencari-cari kejujuran di wajah tegas itu. Benar saja, hanya ketulusan yang Adrian pancarkan. Adrian tak pernah berdusta dengan kata-kata hatinya.
Delia tersenyum lebar. Membawa Adrian kembali dalamsebuah ciuman penuh cinta. "Miliki aku, Adrian. Aku milikmu."[]
E . N . D
Ini serius End wkwk. Nggak gantung, kan? Happy ending loh ini.
Kurang happy? Nanti kita bikin epilog.
Terima kasih untuk silent reader, voters, komentator yang jadi motivasi saya kebut cerita (semoga ending nggak maksa, karena ini serius plot SF dari dulu). Semoga kalian nggak bosen sama Surrender Series soalnya ini masih ada satu seri lagi yang langsung update sipnosisnya (sinopsi loh ya... beri saya waktu untuk update bab 1 haha) jadi bisa langsung kalian masukin ke reading list/library kalian selagi nunggu epilog SF.
See you on Surrender Series #3 !!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top