SF - BAB 43
Kamar Adrian gelap gulita ketika ia tiba dirumah. Ini memang sudah pukul sembilan, namun Adrian tahu betul bahwa Delia tidak terlalu suka ruangan yang gelap. Mereka selalu tidur dengan lampu redup, namun gelap seperti ini sama sekali bukan tipikal Delia.
"Delia..." Adrian berkata pelan, namun tak ada jawaban. Ini sukses membuatnya khawatir. Dengan cepat Adrian meraih saklar lampu untuk memperjelas penglihatannya. Ia terkejut ketika mendapati Delia yang duduk di sofa. Wanita itu menutupi wajah dengan telapak tangannya, seperti mengurut kepalanya. Seketika kekhawatiran menghampiri Adrian. "Delia, Sayang, kau baik-baik saja?"
"Mundur," kata Delia tajam, bahkan terkesan dingin. Ia bicara tanpa melihat Adrian. "Jangan mendekat."
Adrian bingung dengan yang terjadi pada Delia. Hingga ia keras kepala tetap mendekati Delia, takut sesuatu terjadi pada wanita itu. "Delia, apa yang terjadi―"
"Aku bilang, mundur!" bentak Delia. Ia mengangkat wajahnya. Adrian terkejut dengan amarah yang tercetak jelas di wajah Delia. Bahkan mata wanita itu terlihat sembab. Adrian tahu sesuatu tengah terjadi. Sialnya, ia tak tahu apa itu. "Jangan dekati aku, Adrian."
"Kenapa aku tak boleh mendekatimu? Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi."
"Apakah kau mencintaiku?" tanya Delia tiba-tiba. "Apakah kau menginginkan anak-anak ini?"
"Apa yang kau bicarakan?! Jangan bertanya hal konyol, Delia. Tentu saja aku menginginkan mereka."
Delia menggeleng. Air mata meluncur ke pipi wanita itu. "Tidak. Kau tidak benar-benar menginginkan aku dan mereka. Emilia akan menyingkirkanku lebih cepat daripada yang kuperkirakan. Dia selalu lebih unggul dibandingkan aku, bukan?"
Emilia? Lebih unggul? Sebenarnya apa yang terjadi?
Adrian bingung dengan arah pembicaraan ini. Delia kini terkesan jauh dan tak tersentuh. Adrian sama sekali tak mengerti mengapa ia pulang dalam keadaan seperti ini, padahal Delia masih bermanja-manja padanya pagi tadi.
Delia tertawa tanpa humor seraya mengusap air matanya. Dan Adrian benci mengapa air mata itu lagi-lagi meluncur di pipi Delia. "Aku setengah mati membenci Emilia-mu itu. Dia bisa mengambil apa saja yang ingin kumiliki. Dia bisa menjadi alasan dari hancurnya kau, pernikahanku, hancurnya orang yang kucintai hingga ia sangat sulit kuraih."
Adrian menggeleng. "Sumpah, aku tak mengerti dengan yang kau bicarakan."
"Aku melihat ironi di atas ini semua, Adrian. Pernikahanku gagal karena sosok Emilia yang terus menghantui suamiku. Aku telah memberikan seluruh cinta dan pengabdianku, tapi aku tak pernah mendapatkan secuil perhatian dari suamiku. Itu semua karena si jalang Emilia-mu itulah penyebabnya!"
Adrian tersentak dengan kata-kata kasar Delia, hingga amarahnya mulai memercik. "Apa yang kau bicarakan?! Berhenti menilai Emilia seperti itu! Emilia tak ada hubungannya dengan apa yang terjadi padamu!"
"Tentu saja ada!" seru Delia tajam. "Dia adalah alasan mengapa Ardan tak pernah melirikku! Itu semua karena Ardan hanya dipenuhi oleh sosok sialan itu!"
"A-apa?" Adrian mencoba mencerna semuanya ketika nama itu disebut.
Suara ponsel yang berbunyi bersamaan menyela suasana tegang itu. Delia segera mengambil ponsel, sementara Adrian hanya terpaku tanpa memedulikan ponselnya yang berdering.
Emilia? Ardan?
Ardan yang itu? Dia adalah bajingan yang menyia-nyiakan Delia selama ini?
Suara histeris Delia membuyarkan lamunan Adrian. Wanita itu telah menangis tersedu-sedu seraya menutup mulutnya. Adrian segera menghampiri Delia namun wanita itu menampik uluran tangannya. Delia justru segera berlari dengan ponsel yang masih menempel di telinganya.
Adrian mengejar Delia yang sudah melesat ke pintu depan. "Delia!" seru Adrian. "Tunggu! Kau mau ke mana?!"
Delia sama sekali tak memedulikan Adrian. Suara mesin mobil Adrian yang menggerung, membuat Adrian semakin ketakutan. Ketika Adrian tiba di terasnya, Delia telah melajukan mobilnya keluar pagar rumah. Demi Tuhan! Apa yang ada di pikiran wanita itu?!
"Sial." Tidak. Tidak. Ia tidak ingin ini terjadi lagi. Ia sudah bersumpah tak akan melepaskan Delia dan Delia tidak boleh pergi begitu saja. Tidak dengan cara yang sama seperti yang Emilia lakukan.
Adrian memasuki rumah dan berteriak panik. "Ali! Ali!"
Ali tergopoh-gopoh mendengar tuannya yang memanggil dengan suara nyaring. "Ada apa, Tuan?"
"Siapkan mobil yang ada di garasi. Cepat!"
Ali mengangguk dan segera melakukan perintah. Adrian kembali ke kamarnya untuk mengambil dompet dan ponsel. Ponsel yang tadinya mati kini berdering kembali. Adrian mengernyit ketika nama Erdina terpampang di sana.
Apa yang diinginkan wanita itu?! Ini pukul sepuluh malam dan Adrian tak punya waktu untuk menanggapi wanita itu. Adrian mengabaikan panggilan itu. Ia mengernyit ketika Erdina ternyata telah menghubunginya berulang kali.
Ponsel Adrian berdering lagi, ia segera mengangkat panggilan itu kalau-kalau memang terjadi sesuatu yang penting. "Halo," jawab Adrian dengan suara beratnya.
"Oh, syukurlah kau menjawab panggilanku." Suara Erdina terdengar lemah di seberang sana. Bahkan Adrian mendengar isakan di seberang sana.
"Ada apa, Erdina?"
Helaan napas Erdina terdengar. "Aku hanya ingin memberi kabar bahwa adikku Ardan baru saja meninggal. Aku ingin meminta maaf atas nama adikku jika dia punya kesalahan padamu semasa dia hidup―"
Adrian tak menunggu Erdina menyelesaikan kalimatnya. Ia memutuskan panggilan itu lebih dulu. Sekarang ia tahu di mana Delia berada. Ia bergegas untuk menyusul Delia.
* * * * *
Ini terlalu tragis. Delia tak pernah mengira Ardan pergi secepat ini, dengan cara meninggal yang tak pernah ia duga. Overdosis obat penenang. Kenyataan ini memukul keluarga besar Ardan yang hanya diberi kabar oleh pembantu rumah tangga Ardan yang menemukannya tergeletak di ruang tamu. Namun hantaman telak jelas ditujukan oleh Delia karena tidak melakukan apa-apa untuk menolong Ardan.
Apakah Delia masih pantas menyandang gelar psikolognya jika ia sendiri tidak bisa membantu memperbaiki psikis Ardan menjadi lebih baik.
Para pelayat masih memenuhi rumah duka. Mereka menatap penuh dukacita pada Delia dan keluarga Ardan. Terutama Nyonya Narendra sendiri yang sedari semalam tak berhenti menangis di pelukan Delia. Peti mati Ardan telah diturunkan ke liang lahat pagi tadi karena keluarga Ardan ingin prosesnya cepat saja daripada menimbulkan banyak pertanyaan perihal kematian sang putra bungsu.
Bahkan Delia pun mendapatkan bela sungkawa khusus karena dikira tengah mengandung darah daging Ardan.
"Aku tak pernah menyangka putra kesayanganku berakhir seperti ini," bisik Ratna Narendra. Ini mungkin kelima kalinya wanita paruh baya itu mau berbicara, mengingat yang dilakukannya hanya menangis. Delia merasa harus berada di sisi wanita yang telah ia anggap sebagai ibunya itu. Ratna hanya mau bicara pada Delia saja. Delia pun mengerti karena putri sulung keluarga Narendra bukanlah orang yang bisa sabar menghadapi sesuatu. "Maafkan Mama, Delia."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mama. Kalaupun ada, itu harusnya aku yang disalahkan. Aku yang harusnya meminta maaf."
Ratna menghela napas. "Kita tidak akan berhenti untuk saling menyalahkan seperti ini." Ratna berusaha tersenyum meski hanya segaris, tetapi Delia membalas dengan senyum yang sama. Ratna mengusap perut Delia. "Berapa usia kehamilanmu?"
"Enam bulan." Delia tersenyum malu. Ratna pasti lebih tahu daripada kebanyakan orang bahwa ini bukanlah keturunan Narendra.
"Aku berharap setidak-tidaknya Ardan dan Erdina berhasil dalam rumah tangganya. Rasanya impian untuk menimang cucu sangat sulit untuk diraih. Tapi bukan aku yang menentukan takdir. Kau harus bahagia, Delia. Maafkan Mama yang memutuskan sepihak untuk menjodohkanmu dengan Ardan. Mungkin secara tak langsung, perceraian kalian disebabkan oleh Mama yang memaksakan kehendak pada Ardan."
"Itu sudah berlalu." Delia tersenyum. Ia berusaha menghibur Ratna. "Aku tak menyesali apa yang terjadi, Mama. Aku mencintai Ardan sepenuh hatiku. Aku juga mencintai Mama seperti ibuku sendiri. Kalau Mama mau, Mama bisa menganggap janin ini sebagai cucu Mama."
"Benarkah?" Mata Ratna berbinar.
Delia mengangguk pelan.
"Ardan beruntung pernah mendapatkan dirimu. Begitupun Mama."
"Aku juga beruntung, Mama. Aku berhutang banyak dan aku bersyukur Mama mau menganggapku sebagai seorang anak."
"Nyonya Narendra." Suara berat itu menyela keduanya. Delia tak sempat terkejut ketika mendapati Adrian yang telah berada di sini mengenakan kemeja hitamnya. "Anda pasti melupakan saya. Saya Adrian, sahabat Ardan sejak SMP. Saya turut berduka-cita," kata Adrian seraya mengulurkan tangan.
"Aku mengingatmu." Ratna berusaha menyunggingkan senyum tegarnya dan menjabat tangan Adrian. Delia sendiri mengagumi wanita ini meski diam-diam ia tersakiti ketika ditanyai perihal kematian Ardan. "Terima kasih sudah datang untuk mengenang putraku."
"Salendra!" sapa Erdina yang hadir di antara mereka. "Kau datang. Terima kasih." Erdina merangsek maju dan memberi pelukan keakraban pada Adrian. Delia hanya bisa menunduk untuk menghindari pemandangan itu.
Delia bertemu tatap dengan Adrian dari balik bahu Erdina. Delia merasa kikuk ditatap seperti itu. Kemarahannya pada Adrian terlempar entah ke mana, terkalahkan oleh duka atas kepergian cintanya. Sekarang melihat Adrian dipeluk seperti itu membuat Delia tak enak hati. Ini Erdina kakak iparnya. Kecemburuan melanda Delia namun ia tak bisa melakukan apa-apa.
Jadi Delia menarik Ratna hingga wanita itu mengalihkan pandangan pada Delia. "Ayo kita sapa tamu yang lain."
Tepat saat Delia berbalik, suara Adrian terdengar. "Delia!"
Jantung Delia berdetak lebih cepat ketika suara berat Adrian memanggilnya. Keheranan pun tercetak di wajah Ratna maupun Erdina.
"Kau... mengenalnya?" tanya Erdina.
"Tentu saja," tukas Adrian. Delia menggeleng pada Adrian, namun pria itu berkata lebuih cepat. "Dia adalah ibu dari anakku. Aku akan segera menikahinya begitu bayinya lahir."
Baik Erdina maupun Ratna tercengang. Para tamu pun ikut memperhatikan drama yang tak direncanakan itu. Delia berusaha mencari aman dengan memaksa kakinya berbalik, meninggalkan tempat itu.
Namun suara Erdina menghentikan langkahnya. "Dasar wanita jalang!"
Delia membeku ketika seruan Erdian menelisik telinganya, bahkan mampu menembus jantungnya hingga berdarah.
"Jadi anak yang ada di perutmu itu bukan anak keponakanku dan kau tersenyum sepanjang orang berbela sungkawa pada dirimu yang ditinggal mati saat hamil besar?!" hardik Erdina.
"Erdina, Demi Tuhan!" sela Ratna.
Namun Erdina tak peduli. "Dan kau masih berani menampakkan dirimu di sini padahal kau jelas-jelas hamil anak dari pria lain?! Kau adalah alasan perceraian itu terjadi! Aku bahkan yakin bahwa Ardan mati juga karena kau tinggal dengan kejam!"
"Erdina!" bentak Adrian.
Kini perseteruan itu menjadi bahan tontonan para tamu lelayu. Ini sama sekali tidak etis dan Delia malu karenanya. Meski perkataan Erdina tidak sepenuhnya benar.
"Delia tak pantas kau begitukan?!" seru Adrian.
Erdina membuat suara muak. "Sahabat macam apa kau Adrian? Kau bahkan mengambil istri dari sahabatmu sendiri. Dan si istri dengan rendahnya menerima rayuan itu."
Tamparan keras bersarang di pipi Erdina. Tangan Ratna bergetar setelah melakukan itu. Wanita paruh baya itu kini menangis. Erdina hanya menatap nanar pada ibunya sendiri. "Hentikan," desis Ratna. "Cukup, Erdina. Kita masih berduka atas kepergian Ardan dan kau membuat keluarga ini lebih malu."
"Mama!" Delia berusaha memeluk Ratna, namun wanita itu mengangkat tangannya dengan lemah untuk mencegah Delia.
"Pergi saja, Delia. Mama mohon. Mama juga lelah, ingin istirahat saja. Pria ini benar, kau tak pantas dibegitukan. Pergi dari sini."
Air mata Delia meluncur begitu saja. Ia harus menerima makian sang kakak ipar di tengah kesedihannya yang berduka untuk cinta pertamanya. Tubuh Delia kaku, namun entah bagaimana ia telah ditarik mundur oleh lengan kekar. Mereka keluar dari rumah duka dengan pasang-pasang mata yang menatap kepergian mereka.
Delia masih menangis bahkan ketika Adrian merengkuh tubuhnya.
"Aku menyesal," bisik Adrian.
Delia susah payah menelan gumpalan ditenggorokannya. Napasnya sesak seperti udara direnggut hingga tandas daridadanya. Ini terlalu berat untuk ia lalui sekaligus. Ia menangis sejadi-jadinyadi pelukan Adrian. Tubuhnya lemas seketika. Ia mendengar Adrian memanggilnamanya. Namun suara itu semakin kabur dan yang Delia inginkan saat ini hanyaberistirahat untuk sejenak.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top