SF - BAB 41

Kamu barusan balik malem mingguan, ya? Aku lho.. marathon SF wkwk.

Semoga suka.

Jangan lupa vote dan komentar :D

"Aku baru menyadari satu hal."

Adrian memutar kepalanya ketika mendengar suara Delia. Pikirannya sempat melayang sedetik tadi. Ia tak bisa tenang selama perjalanan ke rumah sakit. Beruntung Adrian berinisiatif mengajak Ali sehingga Adrian tak perlu menyetir atau mereka akan berakhir dengan celaka akibat kekhawatiran Adrian yang menjadi-jadi.

"Ternyata kau mudah sekali gugup," kata Delia.

Delia adalah seorang psikiater. Pasti tidak sulit baginya untuk menilai apa yang terjadi pada Adrian saat ini. Delia meraih lengan Adrian, menyusupkan diri mendekati tubuh Adrian tanpa peduli pada Ali yang menyetir di depan. Adrian mulai menyadari satu hal sejak mereka tinggal bersama, Delia ternyata sangat manja. Entah mengapa Adrian justru senang dihadapkan dengan kenyataan itu. Ia juga tak ingin jauh-jauh dari Delia.

"Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja."

"Ini hal baru untukku."

"Aku tahu." Delia mencium lengan Adrian. Kemudian terkekeh. "Tapi aku masih tak mengerti mengapa kau perlu gugup hanya untuk jadwal kontrol kandunganku?"

Adrian pun tak tahu apa alasannya. Ia cemas akan kesehatan bayi-bayinya meski ia berharap mereka baik-baik saja. Ini sama sekali tidak rasional. Kenyataannya, Adrian sudah gelisah sejak semalam.

"Ah..." Delia mengangguk. "Hormon kehamilan terkadang menular pada sang ayah. Pernah mendengar itu?"

Adrian terkejut. Apa-apaan itu?

"Jadi bukan aku yang bersikap paranoid padahal aku yang mengandung," jelas Delia. "Aku tidak tahu bagaimana penjelasan kedokterannya, tapi sepertinya itu terjadi padamu."

"Ini semata-mata karena aku protektif, Delia," bantah Adrian.

"Kau sangat-sangat protektif." Delia mengoreksi. Kemudian memutar mata. "Kau melarang semua hal yang kulakukan. Lihat aku sekarang, perutku menggembung dan aku seorang pengangguran. Kau bahkan tak mengijinkanku ke rumah sakit. Aku mulai merindukan asistenku, Lisa. Tidak bisakah kau melihat bahwa aku seorang psikiater? Aku hanya mendengar cerita pasienku dan mereka membayar tagihan. Kau tahu betul bagaimana jalannya pekerjaanku."

Adrian menggeleng. "Berhenti mendebatku, Delia. Aku meminimalisir hal yang tidak diinginkan. Ini disebut mengurangi resiko. Kau mengandung dua bayi. Dua! Dan mereka lebih rentan daripada bayi kebanyakan."

"Siapa yang bilang mereka rentan?" tanya Delia tidak terima. "Mereka sangat sehat. Aku menjaganya dengan benar."

"Jangan menyanggahku!" gerutu Adrian. "Aku hanya berusaha menjadi ayah yang benar."

"Tapi―"

"Diam atau aku akan membungkammu dengan mulutku. Di sini. Saat ini. Aku tak peduli pada Ali yang melihat kita." Adrian berbisik tajam hingga Delia merona dan menyusupkan kepala ke dada Adrian.

Mobil yang Ali kendarai tiba di pelataran parkir rumah sakit. Ketika Delia berusaha turun lebih dulu, Adrian menarik wanita itu supaya menunggu Ali membuka pintu.

Delia memutar mata. "Sebenarnya berapa persen kemungkinan aku celaka jika aku membuka pintuku sendiri?"

"Berhenti mempertanyakan maksudku," ujar Adrian tegas.

Mereka berdua turun setelah Ali membuka pintu. Adrian sama sekali tidak berniat melepaskan tangannya dari tubuh Delia, bahkan ketika mereka melakukan pendaftaran.

"Selamat siang, Dokter Delia. Dokter Jasmine sudah menunggu Anda di dalam," ujar seorang perawat yang tampak sangat mengenali Delia. Ia melirik Adrian. "Apakah Anda suaminya?"

"Ya," sahut Adrian lebih dulu sebelum Delia menjawab dengan jawaban yang tak Adrian inginkan. "Apakah kami bisa langsung masuk?"

Perawat itu mengangguk seraya membuka pintu. "Silahkan."

"Suami, ya?" bisik Delia.

"Apa bedanya? Aku tetap akan menjadi suamimu."

"Selamat siang, Dokter Delia," sapa Dokter Jasmine. "Selamat siang, Tuan. Tidak biasanya Dokter Delia membawa suaminya."

Inilah yang Adrian gugupkan sejak semalam. Ia tak tahu bagaimana penilaian orang-orang terhadapnya yang selama ini tak pernah ada di samping Delia. Ia benar-benar tidak bertanggung jawab sebagai calon ayah. Namun Adrian telah memikirkan jawaban untuk pernyataan itu sejak semalam. "Kebetulan saya punya waktu hari ini," kata Adrian.

Dokter kandungan yang seumuran dengan Adrian itu pun tersenyum. "Mari kita mulai," katanya sambil bangkit dan menuju ke ranjang periksa. "Apakah ada keluhan pada trimester kedua?"

Delia menggeleng.

Namun Adrian menyela. "Dia sangat mudah lelah. Dia mengeluh pegal setiap malamnya. Dan dia sangat keras kepala ketika aku menyuruhnya berhenti bekerja."

Delia melotot pada Adrian.

Sementara Dokter Jasmine terkekeh seraya menyingkap blus Delia yang telah bersiap di ranjang. "Perhatian sekali ayahnya."

"Katakan jika yang kulakukan adalah benar," tuntut Adrian.

Dokter Jasmine mengarahkan sebuah tongkat yang tak Adrian mengerti dan menyalakan layar. "Baiklah. Jika memang Nyonya Delia sering kelelahan, memang baiknya Anda mengambil cuti sementara dari jadwal praktek Anda."

Adrian menatap Delia penuh arti. Sudah kubilang. Adrian berusaha menyampaikan itu lewat tatap.

"Mari kita lihat di sini," kata Dokter Jasmine seraya menatap layar. Seketika pemandangan itu terlihat. Suara itu terdengar dari pengeras suara hingga membuat jantung Adrian berhenti berdetak. "Mereka... sehat. Detak jantungnya normal. Oh, lihat, yang satu ini bergerak."

Adrian membeku menatap layar. Bayi-bayinya di sana. Mereka benar-benar hidup. Ada sesuatu yang menghujam dada Adrian. Kebahagiaan yang tak terkira hingga ia tanpa sadar bergumam. "Ya Tuhan, anak-anak Papa."

"Tapi sepertinya posisi mereka terbalik," lanjut Dokter Jasmine.

"Apa artinya itu?" tanya Delia.

"Salah satunya mungkin tidak bisa lahir secara normal. Ini memang sering terjadi pada kehamilan bayi kembar. Biasanya memang harus dilakukan operasi. Apalagi di bulan ke enam seperti ini. Ukuran mereka sudah cukup normal dan hanya sedikit ruang yang memungkinkan mereka bergerak satu sama lain, apalagi mengubah posisi."

"Apakah itu masalah?" tanya Adrian.

Dokter Jasmine tersenyum. "Selama bayinya sehat dan baik-baik saja, tidak akan ada masalah. Tapi Nyonya Delia memang harus menyiapkan diri untuk operasi. Kemungkinannya sangat besar untuk dilakukan operasi."

Delia mengangguk. "Oke."

Dokter Jasmine mengangkat tongkat dan membersihkan perut Delia dengan tisu, namun Adrian menyela. "Bisakah aku mengetahui kelamin mereka?"

"Belum tahu, ya?" tanya Dokter Jasmine pada Delia. Sementara Delia hanya tersenyum kikuk. Dokter Jasmine beralih pada Adrian. "Perempuan dan laki-laki. Anda beruntung bisa mendapat putra dan putri dalam satu waktu."

Kebahagiaan Adrian kini membuncah. Meluap-luap. Tanpa memedulikan Dokter Jasmine, ia merangsek maju mendekati Delia dan mencium kening wanita itu hingga pipinya merona malu. "Terima kasih, Sayangku."

Dokter Jasmine tersenyum dan meninggalkan mereka untuk mencurahkan kebahagiaan.

Adrian pun turun ke perut Delia yang belum tertutup dan memberikan kecupan di sana. "Sehat di sana, anak-anak Papa."

"Ayo kita temui Dokter Jasmine," kata Delia seraya menyisir rambut Adrian.

Adrian bangkit dan mengangguk. Ia membantu Delia turun dan membenahi blus Delia. Kemudian menemui Dokter Jasmine yang menunggu di mejanya.

"Untuk sementara masih vitamin seperti biasanya. Tetap jaga aktivitas Anda, Dokter Delia. Anda harus terus berhati-hati dengan kehamilan Anda. Bisakah Anda memastikan itu, Tuan?"

Adrian mengangguk. "Tentu."

Kemudian Adrian dan Delia keluar setelah Dokter Jasmine memberi resep dan foto USG. Baik senyum Adrian maupun Delia tersungging di bibir masing-masing. Hilang sudah kegugupan yang membelit Adrian sepanjang malam. Ia mendapatkan lebih dari yang ia inginkan.

Adrian menarik Delia mendekat ketika menuju bagian administrasi. "Aku senang sekali."

Delia mengusap perut buncitnya. "Aku juga."

Adrian menghentikan langkah ketika mengangkat kepala. Membuat Delia ikut terhenti mendadak.

"Ada apa?" tanya Delia bingung dengan perubahan raut Adrian yang menatap lurus ke depan.

Jantung Adrian berhenti seketika. Kali ini bukan karena kebahagiaan, tetapi karena benar-benar terkejut Satya Salendra telah berdiri di hadapannya berserta dua pengawalnya yang berpakaian serba hitam.

"Adrian..." sapa Satya dengan suara tegas.

Adrian tak habis pikir bagaimana ia bisa bertemu dengan ayahnya di sini. "Ayah... K-kenapa kau ada di sini? Kau sakit?"

"Kenapa aku tak boleh di sini?" kata Satya datar. "Bukankah ini tempat umum?" Ia menatap sekeliling rumah sakit. "Aku bahkan bisa membeli rumah sakit ini jika aku mau, hanya untuk berdiri di sini."

Hilang sudah kecemasan Adrian yang terbesit sedetik, yang mengira bahwa Satya mungkin sedang sakit. Orang ini masih tajam dan dingin seperti sosok ayah yang ia kenal.

Satya mengambil dua langkah mendekat hingga berhadapan dengan Adrian. Kewaspadaan keduanya sama-sama tak diturunkan. Ia menatap Delia sesaat, seolah menilai. Sedetik kemudian, ia telah menyambar foto USG yang ada di genggaman Delia.

"Hei!" seru Delia. Namun wanita itu dengan segera menutup mulut ketika Satya menatap tajam.

Satya mengamati foto itu dengan seksama. Ia menatap Delia dan Adrian bergantian setelahnya. "Aku ingin mereka punya nama belakang Salendra." Satya berkata dengan nada yang tidak bisa dibantah. "Bukankah ini putra dan putrimu?" tanya Satya pada putra sulungnya.

Adrian hanya diam. Satya masih memberi pengaruh sama pada dirinya. Bahkan Adrian sekalipun tak mampu menatap mata sang ayah.

"Kau benar-benar tak belajar dari kesalahan," kata Satya. "Punya tiga orang anak bahkan sebelum terikat sumpah sakral apapun. Harusnya kau malu pada dirimu."

"Aku berniat menikahi Delia," kata Adrian pelan. "Aku mencintainya."

Satya membuat suara muak. "Ini kedua kalinya kau berkata seperti itu di depan wajahku. Kau mengatakan itu tanpa memikirkan peranku dan Marissa sebagai orang tuamu. Kau tak sekalipun meminta restu pada kami."

"Itu percuma saja," kata Adrian seraya mengangkat wajah. "Kalian tak akan memberikan restu apapun padaku. Kalian hanya ingin diriku untuk kalian. Kalian tak pernah menghargai pilihanku."

"Berhentilah menjadi dramatis, Adrian. Kami ingin yang terbaik untukmu."

Adrian menggeleng. "Tidak selamanya yang kalian rancang untukku adalah yang terbaik."

"Terserah." Satya melambaikan tangan tak acuh. "Jangan kau pikir dirimu masih anak emas keluarga Salendra, Adrian. Kita tidak lagi bicara tentang itu." Ia berbalik pada pengawalnya. "Urus administrasi mereka." Kemudian ia pergi meninggalkan Adrian dan Delia yang bertahan di sana.

"Itu tadi... ayahmu?" Delia bertanya pelan sementara ia hanya diam ketika Satya berbicara.

Adrian mengangguk. Ia berusaha tersenyum untuk menenangkan Delia, namun wanita itu sepertinya lebih mengerti. Ia meletakkan tangannya di pipi Adrian, menyalurkan ketenangan pada pria itu. "Aku menyesal dengan sikap ayahku. Aku berharap pertemuan pertama kalian lebih baik."

"Tak apa," kata Delia. "Sepertinya dia tidak benar-benar menolak si kembar. Maksudku, dia bahkan meminta nama belakangnya ada di nama anak-anak kita."

Adrian menatap sendu pada Delia. "Itulah yang kutakutkan, Delia. Sekarang Ayahku punya lebih banyak pion yang bisa menggantikanku sebagai anak emas."

Delia mengernyit. "Apa maksudnya?"

"Kau mengandung seorang bayi laki-laki dariku, Delia. Ayahku berpikiran kuno dan hanya ingin seorang anak laki-laki pertama yang menjadi penerusnya. Sekarang dia punya orang lain yang bisa menggantikan posisiku, kalau-kalau Ryan menolak keinginannya. Kau tahu betul seperti apa Ryan. Anak itu mudah lepas dan cenderung pembangkang. Sekarang bayi yang di sana itu, mungkin saja akan menggantikan Ryan."[]

(Biarkan aku mikir part selanjutnya Adrian dan Delia mau diapain)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top