SF - BAB 4
"Aku hamil."
Adrian tersentak, tapi sebisa mungkin tak menunjukkan respon.
Hamil? Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin Emilia hamil? Mereka telah melakukan hubungan seksual selama dua tahun dan semuanya baik-baik saja. Bagaimana mungkin ia hamil sekarang—di saat Adrian sedang mengambil langkah pertama untuk karirnya?
Ini pasti lelucon.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Emilia akhirnya.
Adrian mengangkat kepala dan mengamati Emilia lurus-lurus. Ia berharap menemukan senyum jenaka yang Emilia sunggingkan ketika mereka bergurau, tapi ia tak menemukannya. Emilia justru berkeringat dan luar biasa gugup saat menatapnya.
Ini tak mungkin terjadi.
Kata pertama yang Adrian ucapkan adalah, "Gugurkan."
Emilia terhenyak. Rautnya berubah menjadi kemarahan. Detik itu juga Adrian tahu bahwa semuanya bukan lelucon belaka. "Kau gila!"
"Apa lagi yang bisa kulakukan?!" Adrian tak punya pertanyaan lainnya. Pikirannya buntu sekarang ini. Berita ini mengejutkan—terlalu mengejutkan. Mereka baru delapan belas tahun dan tak siap menghadapi kehidupan sebagai keluarga dan orang tua.
"Pikirkan jalan keluarnya!" teriak Emilia. Ia benar-benar marah dan Emilia tak pernah semarah ini selama Adrian mengenalnya. "Janin ini juga milikmu!"
Adrian bangkit mengikuti Emilia yang berjalan mondar-mandir. Wanita itu hanya kalut. Adrian harus menenangkan Emilia supaya wanita itu berpikir jernih dan berpikir rasional tentang masa depan mereka yang masih panjang. Ia mencoba meraih Emilia, namun wanita itu seolah membentengi diri dan tak mau disentuh Adrian.
"Hanya itu satu-satunya jalan, Lia." Adrian berusaha memendam amarahnya dan berkata lembut pada Emilia. Salah satu dari mereka harus tetap waras tanpa terbawa amarah. "Kita masih delapan belas tahun. Pikirkan apa yang bisa kulakukan."
"Pasti ada jalan lain!" teriak Emilia.
Kepala Adrian pening. Ia tak punya pilihan lain. Tak ada jalan. Apa yang bisa ia perbuat? Mereka berdua belum bisa mandiri. Emilia mungkin wanita yang manis, tapi dia bisa jadi sangat keras kepala. Saat ini keinginan wanita ini untuk mendapatkan jalan lain sedang tak bisa dicegah, dan Adrian tak punya pilihan yang lebih baik.
"Demi Tuhan, kita bahkan baru berada di tahun pertama, Lia." Adrian masih bersikeras meyakinkan Emilia. Wanita ini harus berada di pihaknya. Harus. Adrian tak punya pendukung dari mana pun lagi selain wanita yang dicintainya ini. "Lihat karirku sekarang! Tinggal selangkah lagi aku meraih impianku. Kesempatan berada di tim nasional tidak datang dua kali—"
"Aku tak peduli pada karirmu!" potong Emilia.
Jantung Adrian seketika berhenti. Emilia dan karirnya adalah segalanya. Bagaimana mungkin Emilia yang menyokongnya kini melepaskannya?
"Aku benar-benar tak peduli," gumam Emilia.
Aku tak peduli.
Aku tak peduli.
~
Setengah bagian dalam diri Adrian masih terseret dalam arus mimpi. Adrian memaksakan tubuhnya supaya bangun. Rasanya menyakitkan hanya untuk kembali pada tubuhnya dan memegang kendali sepenuhnya. Adrian terbangun dengan mata terbelalak dan pikiran terantuk-antuk. Ia menelan ludah ketika ia tak ada lagi di tempat yang mengingatkannya dengan Emilia. Ia bersyukur tengah berada di kamar pribadinya dan sedang sendirian. Tidak ada Emilia.
Tidak ada Emilia—itu merupakan kalimat yang menyenangkan.
Tidak ada Emilia—itu juga mencakup kalimat yang mengerikan.
Tidak ada Emilia—adalah kalimat yang menggambarkan kesedihan dalam diri Adrian.
Adrian meraih ponselnya di nakas. Waktu menunjukkan pukul satu malam. Ia tak pernah tidur lebih cepat dan sekarang ia berjuang untuk bangun lewat tengah malam karena mimpi buruknya. Keinginan pertamanya, yang mungkin menggelikan, adalah menelepon Delia.
Adrian tahu ini tak pantas, mengingat apa yang terjadi pagi tadi dengan mengatakan bahwa ia ingin mencium Delia. Sialnya Adrian juga mengingat kenyataan bahwa Delia sudah bersuami dan mungkin wanita itu sedang di dalam rengkuhan yang seharusnya.
Tapi persetan. Adrian butuh berbagi sekarang. Mimpinya tadi merenggut semangat hidupnya. Menyadarkan Adrian bahwa dirinya memang tak punya siapa-siapa lagi selain Emilia. Ketika dukungan Emilia terlepas bersamanya, Adrian tak punya alasan mengapa ia masih berdiri di titik sekarang.
Tak satu pun yang peduli padanya.
"Halo?" Suara di seberang sana mengembalikan pikiran Adrian yang kembali di titik putus asa. Entah pada nada ke berapa Delia mengangkat panggilannya, tapi Adrian bersyukur Delia mengangkat panggilan. "Adrian?"
Tunggu dulu. Ada yang janggal di sini. Ini tidak seperti suara Delia yang lembut. Suara ini terlalu bergetar dibanding suara Delia biasanya.
"Delia?" Adrian memastikan.
Delia menarik napas sekali hingga napasnya terdengar. "Ya?"
Tidak. Itu bukan menarik napas. Wanita ini terisak. Apa? Kenapa?
Alih-alih Delia, Adrian lah yang bertanya, "Kau baik-baik saja?"
"Y-ya..."
Pembohong buruk. Suara Delia terdengar memilukan dan Adrian tahu bahwa Delia sedang menahan sesuatu di sana.
"Kau mau bercerita padaku?" tanya Adrian.
Delia tertawa, tapi isakannya masih kentara. "Kupikir kau yang akan bercerita karena kau meneleponku. Tapi maaf, kau tidak bisa melakukan konsultasi pukul satu malam."
Adrian tersenyum. Wanita cukup berusaha untuk meredam apapun yang terjadi padanya saat ini.
"Kau mimpi buruk lagi?" tanya Delia.
"Ya..." Adrian menghela napas. "Yang kuinginkan sekarang adalah membenturkan kepalaku sampai aku hilang ingatan."
Delia terdiam sejenak sebelum menjawab. "Jangan lakukan. Itu percuma saja. Bisa jadi kau tidak terkena amnesia sepenuhnya. Kau mungkin akan lupa, tapi ingatan kuat akan membuatmu tersiksa. Aku saja sering mengeluh dengan sakit kepala."
Adrian terkekeh. Ini berangsur membaik. Delia adalah psikiater handal yang bisa mengembalikan suasana hatinya.
Mendadak keheningan terjadi. Adrian bingung akan mengatakan apa. Kisahnya pasti sangat membosankan untuk Delia. Tiga tahun sudah cerita itu bersarang, bahkan Adrian mampu mendoktrin pikirannya sendiri bahwa ia adalah korban di sini. Tapi sejak mimpi-mimpi itu hadir makin lekat, Adrian mulai menyadari bahwa satu-satu penyebab kegilaan ini adalah dirinya sendiri.
"Aku—"
"Aku—"
Mereka berdua bisa mendengar senyum masing-masing karena satu kata sama yang bertabrakan.
"Aku berpikir kau akan menyuruhku mengatakan lebih dulu," kata Delia.
"Tentu. Kau wanitanya."
"Aku... ingin berterima kasih padamu karena meneleponku malam ini. Kau membuatku kembali ke jalurku."
Begitu pun dirimu, Delia.
Adrian tak pernah menyadari ini. Namun ia tahu bahwa setiap kali ia berbagi pada Delia, ia menjadi baikan. Adrian pikir ini adalah efek yang diberikan setiap terapis pada pasiennya. Tapi mungkin saja tidak.
"Kau... uh... tidak bersama suamimu?" Ini bukan jenis pertanyaan lazim. Tapi rasa penasaran mulai mencekik Adrian. Lagipula dirinya pernah terdiagnosis depresi dan menderita penyakit kejiwaan. Delia akan memaklumi pasiennya yang melontarkan pertanyaan retoris.
Delia menghela napas dikejauhan sana. Ia pun tak langsung menjawab seolah menimbang akan mengatakan apa. "Dia di sini. Tapi tidak di dekatku."
"Apakah... aku mengganggu waktu kalian?"
Adrian bisa mendengar Delia menarik sebuah senyuman tipis. "Tidak, Adrian. Sudah kukatan bahwa aku berterima kasih karena kau meneleponku."
"Apakah kau menangis?" tanya Adrian. Astaga, dia sangat ingin tahu urusan orang lain.
"Kenapa kau menanyakan itu?"
"Karena kau tidak terdengar seperti biasanya."
"Aku bisa saja sedang kehausan atau kelaparan atau menahan sesuatu yang membuatku tidak terdengar seperti biasanya."
"Dan apakah kau mengalami di antara itu?" tanya Adrian.
Hening sejenak. Adrian berpikir bahwa ia telah mendorong Delia. Tapi entah bagaimana dirinya merasa senang Delia mengobrol dengannya.
"Tidak." Suara Delia kembali terdengar. "Kau tahu, ini bukan seperti panggilan yang dilakukan seorang terapis pada pasiennya."
"Kau benar." Adrian mengangguk dalam kesendirian. Ia merebahkan kembali kepalanya ke bantal. "Aku sedang membuat percakapan yang biasa dilakukan di lingkaran pertemanan. Apakah pertemanan baik untukku?"
"Ya. Pertemanan sangat baik untukmu. Aku tidak menyarankan kau pilih-pilih. Tapi dalam keadaan seperti ini, kau perlu memilih teman yang baik untukmu."
"Dan apakah kau baik untukku?" Adrian pun tahu itu pertanyaan bermakna ganda.
Ia salah mengira jika jawabannya adalah antara ya dan tidak. "Aku sudah bersedia membantumu. Akan kulakukan sebisaku."
Adrian tersenyum. Delia memang selalu bijak. "Kalau begitu aku setuju berteman denganmu. Teman yang tetap kupertahankan dalam tagihanku hanya untuk sebuah sesi curhat."
Delia tertawa di balik sana. Dada Adrian mengembang mendengar tawa itu. Ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Sesuatu yang asing namun akrab. Sesuatu yang menyenangkan namun membuatnya gelisah.
"Adrian..." Suara Delia menyadarkannya kembali. "Tentang pagi tadi... aku minta maaf karena meninggalkanmu dengan penolakan. Aku tahu itu berat untukmu, tapi kau tahu keadaannya lain. Aku tak bisa melakukan yang satu itu."
"Aku mengerti, Delia." Sial, Adrian sangat mengerti bahkan sebelum Delia meminta maaf. Dirinya lah yang idiot. "Maafkan aku karena lancang."
"Kau..." Suara Delia berubah ragu-ragu, namun Adrian tetap menunggu. "Akankah kau melanjutkan cerita tadi?"
Tentang seksualitas? Melemparkan dirinya kembali ke posisi tadi siang?
Lihat ini, kejantanannya tiba-tiba menggembung di balik boxer ketika kilas balik bentuk bibir Delia terbayang di kepalanya.
"Aku tidak yakin," kata Adrian pelan. Ia mengelus miliknya sendiri dari luar. Bibir itu masih membayanginya, dan suara napas Delia di kejauhan sana sama sekali tidak membantu. Hanya membuatnya semakin membesar saja. "Kau tahu, ini terlalu larut untuk membicarakan itu."
"Oh," jawab Delia, yang terdengar seperti desahan.
Ini semakin membuatnya keras.
Tidak. Tidak. Ini salah.
"Delia." Adrian menggeram tanpa sadar. "Sial. Apa yang kau lakukan padaku?"
"Apa?" Delia terdengar bingung.
Adrian menghembuskan napas berkali-kali. Ini menyiksanya. Ia tak pernah setegang ini. Adrian benar-benar menderita saat ini. Kesakitan ini melebihi apapun yang mendorongnya untuk bunuh diri dengan segala cara.
Karena kali ini ia ingin mati dalam sebuah percintaan panas. Bersama Delia. Bersama istri orang.
Hal sialan apa itu?!
"Adrian? Kau baik-baik saja?" tanya Delia khawatir.
Persetan dengan apa saja yang akan dilanggarnya. Ia menginginkan Delia meski ia tahu ini salah. "Apakah kita bisa bertemu? Sekarang?" Aku benar-benar ingin melihatmu.
Delia terkejut. "Apa? Kau gila. Ini menjelang pukul dua."
"Kau tahu aku pernah keluar dari tempatmu bekerja. Dan, ya! Aku memang gila. Bisakah kita bertemu?"
Delia berhenti sesaat. "Kenapa kau ingin bertemu?"
"Karena..." Sial, ia hanya harus mengatakannya. "Karena aku... benar-benar ingin menciummu."
"Adrian!"
"Tidak, sial, dengarkan aku. Aku tahu ini gila." Adrian bangkit terduduk dari posisinya. Tempat di antara pahanya mulai tak nyaman. Ia menenangkan batangnya dengan tangannya sendiri. "Kau akan tahu apa yang sebenarnya membuatku menggila, Delia. Tapi pertama-tama, aku harus menghadapi kegilaan ini. Aku tak bisa orgasme dan ini membuatku frustasi! Kumohon, satu ciuman saja. Demi kewarasanku."
"Adrian, ini adalah keputusan paling tak waras yang pernah kupertimbangkan. Aku tak bisa mengkhianati suamiku."
"Satu ciuman saja. Kumohon. Setelah itu..." Adrian kelu saat mengatakan ini. Ia tak benar-benar ingin mengatakan ini. Apalagi melalui panggilan sialan. Tapi ia butuh negosiasi yang pantas untuk Delia. "Setelah itu, kau bebas mendorongku ke mana pun. Apakah kau akan menarikku atau kau akan meninggalkanku."
"Ini tak masuk akal."
"Mari buat ini menjadi masuk akal. Aku akan memperlihatkannya padamu. Satu ciuman dan semua keputusan ada di tanganmu."
Hening cukup panjang. Adrian tahu ini tidak rasional. Dirinya pun tak bisa menjelaskan. Tapi sesuatu dalam dirinya menggebu sejak kejadian pagi tadi. Harusnya Adrian menjauh, harusnya Adrian menolak supaya tak mengalami kegilaan lainnya. Tapi, sialan, ia benar-benar frustasi karena tak bisa lagi mendapatkan pelepasannya. Jika ini tidak berhasil bersama Delia yang digilainya sejak pagi ini, maka Adrian akan menyerah dan mengakui bahwa dirinya impoten.
Jawaban Delia sama sekali tidak diduganya. "Kita bertemu di kafe tempat kita sarapan. Kudengar tempat itu buka dua puluh empat jam."[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top