SF - BAB 39 (Rated)
Warning! Mature content!
Hentakan pinggul Adrian dari belakang membuat kewanitaan Delia terkoyak nikmat. Adrian melancarkan gerakannya menjadi lebih cepat ketika miliknya mulai berkedut dalam diri Delia. Tangan Adrian terulur ke depan, meraih-raih payudara Delia yang semakin berisi. Keringat telah membasahi tubuh mereka. Gairah telah menguasai keduanya hingga ruangan itu menguarkan aroma erotis.
"Delia. Sial. Kau sangat... sangat... nikmat!" racau Adrian.
Delia menjerit meneriakkan nama Adrian ketika milik Adrian tepat menyentuh inti ternikmatnya. Delia memutar mata ketika puncak kenikmatannya teraih. Sementara Adrian mendorong dalam-dalam ketika dirinya meledak dalam tubuh Delia.
"Delia!" jerit Adrian. Tubuh kekar itu kini runtuh menindih Delia. Namun kesadaran Adrian kembali sedetik kemudian, membuatnya menyingkirkan tubuh ke samping. "Sial. Maaf. Aku lupa dengan mereka. Apakah kau baik-baik saja?" Adrian berkata panik.
Delia tersenyum tipis. Matanya masih sayu. Kewanitaannya berkedut. Sisa-sisa kenikmatan masih membayangi dirinya. "Aku cukup baik."
"Mereka, Delia!" sergah Adrian.
Delia tertawa pelan. Ia mengulurkan tangan untuk meraih wajah tampan Adrian. "Semuanya baik-baik saja."
Adrian menghembuskan napas lega. Ia menarik Delia ke dalam pelukannya. Delia merasa luar biasa nyaman ketika tubuh mereka polos dan Adrian menjaganya seperti ini. Adrian meraih dagu Delia, memaksa wajah Delia terangkat untuk menyematkan sebuah ciuman sehabis bercinta. Delia tak berbohong bahwa dia sangat-sangat merindukan Adrian. Ia tak tahu apakah ini pengaruh bayinya atau akibat hormon kehamilan, yang jelas, tiga bulan terlampau lama untuk Delia berjarak dengan Adrian.
Adrian melepaskan ciuman mereka. Meletakkan dahinya di dahi Delia. "Terima kasih, Delia."
Delia tersenyum. "Terima kasih, Adrian."
Adrian menatap Delia. "Untuk apa?"
Delia mengangkat bahu. "Entahlah. Kupikir kita punya simbiosis mutualisme."
Adrian menghela napas. "Ini bukan lagi saling menguntungkan yang seperti itu. Aku serius bahwa aku ingin bersamamu."
Delia juga tak bisa berdusta. Ia juga menginginkan kehidupan sempurna sebuah keluarga yang tak pernah Delia rasakan. Ketika ia melihat Adrian sedemikian menginginkannya, Delia mau tidak mau tergiur akan permintaan itu. Kehidupan Delia di masa lalu cukup sulit. Delia ingin mengakhirinya. Ia sudah jenuh menjadi seorang yang tak pernah diinginkan. Adrian bisa menyempurnakan mimpi Delia yang satu itu.
Tapi, mungkin saja tidak.
"Delia..." Adrian memaksa mata Delia menatapnya. "Aku tahu aku bukan sosok yang sempurna. Aku rusak dan aku tak tahu cara memperbaikinya. Kau memperbaikiku. Entah bagaimana diam-diam kau memasuki hidupku dan menjadi bagian dari motivasiku."
"Karena aku psikiatermu dan sudah tugasku untuk memotivasimu."
Adrian menggeleng. "Aku yakin bukan seperti itu. Bahkan detik ini pun aku tak bisa membayangkan bagaimana aku menjalani hari selanjutnya jika kau berjarak dariku. Aku serius bahwa aku ingin memilikimu."
Delia menyusupkan diri lebih dalam ke tubuh Adrian. "Aku berbohong jika berkata tak tersentuh dengan ucapanmu."
Adrian hanya diam sementara Delia bisa mendengar detak jantung Adrian di telinganya. Beriringan dengan detak jantungnya. Beriringan dengan gerakan lembut bayi-bayinya yang mungkin menyukai posisi mereka saat ini.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu," kata Delia. "Masa lalu masih membayangimu. Ibu Ryan. Bagaimanapun dia tetap menjadi bagian dari dirimu. Dia bagai figur permanen yang saat ini hanya tertutupi kenyataan di masa depan. Begitu pun aku, sebagian dari diriku pernah berada dalam pernikahan terdahuluku. Kita sebenarnya sama-sama rusak. Hanya saja aku berusaha memperbaiki diriku sendiri."
Adrian mengeratkan pelukannya. Jemarinya beralih ke perut Delia, mengusap di sana. Delia memejamkan mata dan menikmati sentuhan itu. Dagu Adrian berada di ujung kepalanya. Hati Delia bergetar merasakan betapa ia merasa sangat terlindungi saat ini. "Jangan. Jangan berusaha sendirian. Kita akan saling memperbaiki satu sama lain."
"Aku tak tahu bagaimana menjadi orang tua yang benar," bisik Delia.
"Lihat aku. Apakah aku terlihat seperti ayah yang baik bagi Ryan? Aku belum sepenuhnya mengisi peran itu. Yang kulakukan hanya membayar kuliahnya dan memberi uang bulanan. Aku yakin yang itu tidak bisa dihitung."
Delia tersenyum sekilas ketika Adrian berusaha mencairkan suasana. Ia menarik diri dari rengkuhan Adrian. Menatap pria itu. "Sejauh ini kalian terlihat baik."
Adrian menghela napas. "Delia, tidak kah kau melihat betapa buruknya aku? Aku tak bisa menjadi ayah yang baik. Aku bahkan tidak bisa membujukmu untuk menikah denganku. Aku tahu kata cinta masih terlalu awal bagi kita. Aku menghargaimu. Aku juga menghargai alasanmu menunda ini. Tapi aku tak bisa menahannya." Adrian tersenyum. Ibu jarinya mengusap pipi Delia. "Baiklah. Ini mungkin berat tapi aku yakin aku bisa memberi waktu sebanyak yang kau inginkan. Aku hanya ingin kau terbiasa dengan ini―maksudku, bersamaku dan Ryan. Aku harap impianku menjadikanmu bagian dari hidupku akan benar-benar terwujud."
Delia pun bisa melihat gambaran itu. Dirinya, Adrian, Ryan, dan anak kembar mereka―mungkin anak yang lainnya lagi. Hatinya selalu menghangat ketika bayangan itu terlintas.
Apakah ada alasan lain mengapa Delia menolak ini? Ia telah merenungkannya selama tiga bulan dan semua jalan telah mengarah ke Adrian. Ini akan menjadi terwujudnya impian Delia. Ini akan menjadi penebusan bagi Adrian. Ini adalah jalan mereka menapaki jenjang baru. Ini adalah yang terbaik bagi anak mereka kelak.
Delia berdeham. Ia berusaha menatap Adrian ketika mengatakan ini. "Adrian, aku tahu kau memberiku waktu sebanyak yang kuinginkan. Aku benar-benar menghargainya. Sungguh. Itu berarti banyak bagiku. Tapi..."
Adrian menatap Delia.
Delia melanjutkan "Rasanya aku tidak memerlukan waktu lebih lama untuk mengubah pikiranku."
Adrian tergugu menatap Delia. Ia hanya mematung mencerna kalimat yang Delia lontarkan. Senyum Delia seolah menyadarkan diri Adrian yang sedetik tadi melayang. "Tunggu. M-maksudmu... Kau... Delia... Kau menerima lamaranku?"
"Apakah aku harus mengatakan ya supaya kau lebih mengerti dengan apa yang kukatakan?"
Senyum Adrian terbangun. Matanya sama sekali tak berpaling dari Delia. "K-katakan itu."
Delia memajukan wajahnya dan memberi kecupan singkat di bibir Adrian. Ia menatap Adrian dalam-dalam ketika menyatakan kesungguhannya. "Ya, Adrian Salendra. Aku mau menikah denganmu."
* * * * *
Wajah Delia terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Adrian menjalankan telunjuknya menyusuri pipi Delia. Wanita itu bergerak pelan sebelum akhirnya terlelap kembali.
Tangan Adrian yang lain mengusap perut buncit Delia. Adrian telah meletakkan tangannya di sana semalaman. Mereka masih telanjang bulat di balik selimut putih nan hangat. Adrian belum memejamkan mata meski sekarang hampir pukul lima, dan Adrian belum merasa bosan di posisinya sekarang.
Ia merasa tentram, hangat, dan penuh emosi kebahagiaan. Ia tak pernah merasa seperti ini seumur hidupnya. Ia mungkin pernah merasakan ini dengan Emilia, tapi rasanya kenangan itu kabur karena realita yang mendominasi.
Delia menerima lamarannya. Adrian merasakan hubungannya dengan Ryan berjalan cukup baik meski ia perlu berusaha lebih keras. Adrian akan mempunyai anak. Ia akan membangun sebuah keluarga bersama Delia.
Sempurna.
Rasanya kata itu seperti sebuah pencapaian bagi Adrian. Ia bersyukur karena Delia berada di sisinya. Ia bersyukur berada di jalannya sekarang ini.
Kau pasti juga menginginkan ini, kan, Emilia?
Desiran dalam dada Adrian seperti sebuah pertanda atau sebuah jawaban. Jadi ia tersenyum dan menarik Delia mendekat. Adrian tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Mulai hari ini dan sampai kapanpun, ia tak akan pernah melepaskan Delia.[]
Aku juga merasa ini pendek :') Terima kasih untuk silent readers, voters, dan komentator yang bikin aku malam ini pengen update di tengah banyaknya deadline kehidupan nyata.
Ily, Ann
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top