SF - BAB 38 (Rated)

Warning! Mature content.

Entah bagaimana suasana menjadi begitu canggung antara Adrian dan Delia. Mereka sudah saling mengenal selama tiga tahun. Mereka telah melakukan banyak hal hingga menghasilkan si jabang bayi. Tapi semuanya menguap, Adrian tak mengenal Delia yang hanya diam sementara semburat merah muda menyebar di wajah cantiknya. Mereka terpaku di posisi duduk masing-masing, tak mau saling tatap, padahal Ryan sudah menghilang lima belas menit yang lalu.

Sialnya, jantung Adrian berdetak lebih cepat dari menit sebelumnya. Delia yang seperti ini terlihat sangat natural. Seperti seorang wanita dewasa yang sedang hamil, terlihat cantik dan menggemaskan. Adrian tersenyum diam-diam, bersyukur Delia tak tahu bahwa dirinya tersenyum.

"Adrian—" "Delia—" Mereka berujar bersamaan. Selama sedetik mereka bertatapan, lalu senyum geli sama-sama mereka sunggingkan ketika menatap satu sama lain.

"Kau dulu," kata Adrian.

"Aku benci ketika wanita yang harus memulai lebih dulu."

Adrian tergelak. Ia bisa merasakan suasana yang mulai mencair. Ia meraih kopi yang ia yakini sudah dingin. Namun ia butuh pengalihan sebelum memulainya.

Delia masih mengamatinya hingga cangkir kopi diletakkan. Ia mengusap perut buncitnya. Dan Adrian benci terpisah jarak sejauh ini dengan Delia, meski hanya sebatas meja.

"Apa kabar mereka?" tanya Adrian seraya menatap perut Delia yang menggembung. "Sudah berapa bulan?"

"Berjalan enam," balas Delia. "Mereka baik."

"Aku merasa sangat buruk sebagai seorang ayah."

Delia menarik bibir. "Aku tak mempermasalahkan itu."

"Tapi itu masalah besar. Ryan benar tentang segalanya. Tentang anak itu harus mendapat seorang ayah. Kita..." Adrian berdeham. "Kita harus menikah."

Adrian berharap setidak-tidaknya Ryan bisa mempengaruhi Delia. Kali pertama Adrian mengajak Delia menikah adalah dengan cara yang tidak seharusnya. Adrian tahu itu. Ia tak pernah membicarakan pernikahan bersama Delia, tapi dirinya membuat asumsi seolah pernikahan mudah saja dijalankan dengan Delia yang sedang mengandung keturunan Salendran dan ia telah resmi menjanda.

Adrian tak mengira sesulit ini.

Delia menatap Adrian sungguh-sungguh. "Adrian, ada banyak hal yang terjadi dalam sebuah pernikahan. Kupikir kau harus tahu itu mengingat kau belum pernah membangun rumah tangga. Aku tidak menyalahkanmu soal itu. Aku juga setuju dengan apa yang Ryan bicarakan. Aku tak berbohong bahwa aku juga memikirkan bagaimana jika bayi ini mempertanyakan siapa ayahnya. Tetapi pernikahan harus kupertimbangkan berkali-kali. Aku pernah gagal—"

"Kujamin kali ini tidak," potong Adrian.

"Kau tidak bisa menjamin masa depan."

"Bagaimana jika aku bisa?"

"Dan apa yang kau lakukan jika ternyata kau tidak bisa?!" sahut Delia telak. "Bagaimana jika aku tak bisa?"

Adrian bungkam. Delia benar, tapi Adrian tak mau mengakui kebenaran itu. Adrian masih bertanya-tanya mengapa Delia tak mau mencoba. Adrian bisa membuktikan bahwa dirinya lebih baik dari mantan suami Delia yang bahkan menyia-nyiakan Delia dengan tidak melakukan hubungan badan. Jelas Adrian mampu melakukan banyak hal untuk menghormati Delia sebagai seorang wanita.

"Aku pernah menghancurkan rumah tanggaku."

"Itu karena si idiot mantan suamimu pantas mendapatkan itu."

Delia menggeleng. "Ini sulit bagiku untuk membangun apa yang telah hancur."

"Tapi kau kini bersamaku."

"Apa bedanya? Aku sama sekali tak berhasil mempertahankannya. Kau tidak mencintaiku. Kenapa kau berpikir kau bisa mempertahankannya?"

"Karena kita punya bayi itu!" tukas Adrian. "Mereka akan menjadi pengikat di antara kita. Bisakah kau melihat di mana bedanya hubungan kita ini? Ada bayi kembar kita yang menjadi dasar komitmen. Kita bisa saling mengenal setelah pernikahan itu terjadi. Kita bisa merancang masa depan kita bersama-sama."

Delia memejamkan matanya selama beberapa detik. Adrian bangkit dan menghampiri Delia. Ia menjatuhkan diri di depan Delia, berlutut di depan wanita itu. Adrian menatap Delia lekat-lekat ketika mata wanita itu kembali terbuka.

"Delia, pikirkan tentang bayi kita. Aku tak ingin menyesal dengan menuruti keinginanmu untuk tidak menikah. Mengertilah bahwa pernikahan ini juga membantuku setelah apa yang kulakukan pada Ryan. Aku mungkin mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan baru, tapi aku bersumpah aku akan berusaha untuk membahagiakanmu. Aku ingin berbagi hidup denganmu. Aku ingin kau memotivasiku, bukan sebagai dokter yang menjaga kewarasanku, tapi sebagai seorang istri yang selalu ada untukku. Kumohon, Delia. Kau tentu tak ingin mendengar detil cerita Ryan ketika ia tumbuh tanpa seorang ayah."

Adrian bisa melihat binar di mata Delia. Adrian kehabisan kata. Ia punya banyak hal, tapi rasanya seluruh kata terangkai tak akan pernah cukup untuk menyatakan seberapa besar keinginan Adrian untuk hidup bersama Delia. Adrian memang hanya memimpikan masa depan dengan Emilia, tapi kini Delia di hadapannya dan Adrian harus menempuh jalan itu. Faktanya memang Adrian menginginkan ini meski tak pernah ia merencanakannya.

Adrian ingin bersama Delia.

"Sudah kuputuskan." Delia akhirnya berkata. "Kau benar tentang sosok seorang ayah. Kupikir aku bisa mandiri dan membesarkan mereka sendiri, tapi ada beberapa hal yang mungkin tak akan pernah bisa kuisi seluruhnya. Mereka butuh ayah."

Adrian tersenyum.

"Jadi aku tidak akan membatasi hubunganmu dengan mereka," lanjut Delia. "Kau bisa hadir di antara mereka. Kau berhak menempati posisimu sebagai seorang ayah. Tetapi maaf, Adrian, aku tak bisa menikah denganmu."

Harapan yang memercik sedetik tadi menguap begitu saja. Adrian tak mengerti. Adrian kehabisan cara. Ia merasakan sesak yang sama seperti saat Emilia meninggalkan lorong seraya menarik tasnya. Adrian membayangkan dirinya berada di tengah-tengah Delia dan anak-anak mereka tapi jarak mereka terlampau jauh karena Adrian tak benar-benar memilikinya.

Adrian frustasi namun tak bisa mengungkapkannya. Akhirnya ia menjatuhkan kepalanya di pangkuan Delia, memeluk tungkai Delia kuat-kuat. "Kumohon."

"Adrian!" pekik Delia. Ia berusaha melepaskan Adrian, namun Adrian tak ingin beranjak. Ia bisa bersujud di kaki Delia bila perlu. "Bangun!"

Adrian menggeleng. "Kumohon. Kumohon. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan."

"Demi Tuhan, bangun!"

Adrian mengangkat kepala untuk menatap Delia. "Mengapa kau tak mau menikah denganku?"

"Adrian, ini sulit bagiku—"

"Ini juga sulit bagiku!" tukas Adrian. Ia bangkit untuk meraih wajah Delia, memaksa wanita itu menatapnya. "Beritahu aku, apa yang harus kulakukan supaya kau mau menikah denganku."

Delia menggeleng. "Kau tak harus melakukan apapun. Aku telah memberimu kesempatan hadir di antara anak-anak ini. Aku tak keberatan sesekali mereka tinggal denganmu—"

"Tapi aku ingin kalian bersamaku seterusnya!" Adrian memejamkan mata. Menunduk dalam-dalam. "Tidakkah kau tahu bahwa rumahku begitu dingin dan sepi? Aku berharap bisa mengisi rumah itu dengan kehidupanku. Kupikir dengan adanya dirimu, dengan adanya si kembar, juga Ryan; kupikir aku bisa meneruskan hidupku dari sana. Rasanya ketentraman itu terlalu jauh dan sangat sulit kuraih."

"Adrian—"

"Menikahlah denganku, Delia Fransiska."

Adrian berharap telah mengatakan segalanya. Inilah alasan mengapa Adrian enggan melangkah ketika kekalahannya di depan mata. Ia tak yakin jika dihadapkan dengan kenyataan itu, apakah dirinya akan bertahan atau tidak. Emilia telah pergi dan kini hubungannya dengan Ryan pun harus ia tempuh seraya tertatih. Ia tak tahu apa jadinya jika Delia bersikeras menolak dan suatu hati nanti Delia serta anak-anaknya menemukan kehidupan di mana tidak ada Adrian di dalamnya. Adrian tak sanggup melewati itu.

"Beri aku waktu," balas Delia. Adrian terhenyak hingga mengangkat wajah. Rasanya seperti ia baru saja diangkat sebongkah harapan dari satu kalimat. "Beri aku waktu untuk berpikir. Aku pernah gagal dan aku ragu pada diriku sendiri untuk memulai ini."

Adrian tersenyum lebar. Ia meraih tangan Delia dan mengecupnya berkali-kali. Senyum Delia merekah ketika menatap Adrian yang seperti itu. "Aku akan menunggumu. Ambil waktu sebanyak apapun yang kau mau untuk menerimaku."

"Tapi jika mungkin aku menolak—"

Adrian menggeleng. Sudah cukup dengan ketidakpastian. Persetan jika orang mengatainya arogan. "Tidak. Jangan tolak aku. Sudah terlalu banyak yang menolakku. Kumohon. Aku akan memberi waktu yang kau butuhkan. Aku akan di sana ketika kau mengatakan ya padaku. Kapan pun itu."

Setetes air mata Delia meluncur di sela senyumnya. Ia mengangkat Adrian untuk bangkit. "Sekarang bangun."

Adrian tak bisa lagi menahan dirinya. Ia segera menarik Delia ke dalam rengkuhannya. Ia menyambar tengkuk Delia dan memberinya ciuman. Sentuhan antar bibir yang mempunyai banyak arti. Adrian senang karena Delia memberi secercah harapan, Adrian juga takut jika hanya kekalahan yang lagi-lagi menghadangnya. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin memeluk Delia, mencium wanita itu untuk mengungkapkan seluruh emosi yang beradu dalam diri Adrian.

Delia menjalankan tangannya ke sela rambut Adrian. Ciuman lembut itu kini berubah menjadi sebuah kecapan penuh gairah. Adrian ingin lebih dari ini. Ia mengangkat Delia ke pangkuannya. Tangan Adrian aktif meraba setiap inci tubuh Delia yang masih berbalut pakaian lengkap. Namun tangan Adrian semakin nakal dengan menyusup ke dalam celana training yang Delia kenakan. Ia bisa merasakan wanita itu basah di balik celana dalamnya. Delia mengerang di sela ciuman panas mereka. Genggamannya di rambut Adrian menguat dan aroma erotis mulai kental di ruangan ini.

"Aku menginginkanmu," bisik Adrian. Miliknya sudah luar biasa tegang sejak Delia menggeliat dalam pangkuannya. Rasanya detik ini juga, ia ingin melakukan hal terfavoritnya bersama Delia; melucuti wanita itu, mengagumi betapa indah tubuhnya, Adrian ingin memiliki Delia dalam sebuah penyatuan.

Tapi...

"Sial, aku tak bisa melakukan ini padamu," geram Adrian. Ia bersusah payah menetralkan napasnya dan mengembalikan kesadarannya yang bergelut dengan gairah. "Aku harus menghormatimu. Aku tak bisa menghilang dan tiba-tiba datang, lalu memintamu menikah denganku, kemudian kita melakukan seks padahal kau belum memberi jawaban apa-apa padaku."

Delia menatap bingung pada Adrian. Lantas ia tersenyum dan mengecup pipi Adrian. "Apa yang salah? Aku... juga menginginkanmu."

Ketika semburat merah itu menyebar kembali di pipi Delia, milik Adrian semakin mengetat dan ini sungguh menyiksa. Apakah Delia tak merasakan batangnya yang meronta di bawah sana? Astaga! Wanita ini terlalu polos untuk ukuran dua puluh enam tahun.

"Delia," geram Adrian. "Aku suka dengan posisi kita saat ini, tapi sungguh, jika kau tidak beranjak sekarang, aku akan menjadi binatang karena sudah lebih dari tiga bulan tidak melakukan seks."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top