SF - BAB 37

"Aku tak percaya dengan semua hal konyol ini." Ryan menghela napas sembari berkonsentrasi dengan jalan di depannya. Ia menggerutu sepanjang perjalanan menyetir dari rumah Adrian menuju ke apartemen. "Ini aneh."

Adrian setuju. Ini terlihat tak lazim tapi Adrian tak bisa memikirkan cara yang lebih membantu. Ia butuh dorongan. Ia terlalu jauh dari Delia yang biasa memberinya motivasi. Sekarang ini ia hanya punya Ryan. Jadi ia meminta tolong pada Ryan.

Demi Tuhan, Adrian sudah gugup sepanjang perjalanan. Ia berkali-kali memastikan penampilan tapi apa yang ia lihat tak pernah cukup pantas. Ia telah berusaha menenangkan hatinya dengan menghela dan mengembuskan napas berkali-kali, namun itu juga tak membantu. Entah sejak kapan Adrian punya kebiasaan buruk ini, tapi akhirnya ia menggigiti kukunya karena kecemasan yang tak kunjung surut.

Ryan memarkir mobilnya di basement. Adrian berusaha menyiapkan diri berkali-kali tapi setelah melihat gedung itu, yang ia rasakan hanya semakin gugup.

"Ayo turun," kata Ryan setelah menarik kunci dan membuka pintu.

Adrian menahan diri. "Bagaimana menurutmu?"

"Apa?"

"Penampilanku."

Ryan mendengus. "Adrian, kau ini tiga puluh enam tahun. Astaga! Ini bukan kali pertama kau berkencan."

"Sebenarnya ini kali pertama setelah bertahun-tahun," kata Adrian pelan. "Aku serius, bagaimana penampilanku?"

Ryan mengamati Adrian sekilas dari ujung kepala ke ujung pinggang. Sebenarnya tak ada yang berbeda. Adrian hanya menggunakan kemeja putih yang lengannya digulung, memadukannya dengan celana jins. Adrian sendiri tak tahu mengapa harus khawatir pada penampilannya. Padahal inilah penampilan Adrian Salendra sehari-harinya.

"Biar kulihat. Aku sedang melihat seorang pria brengsek." Ryan mengamati lagi. "Sayangnya, dia mirip diriku. Sekarang, keluar dari mobil sialan ini."

Adrian sama sekali tak sakit hati. Ia terlalu kebal. Atau kegugupan ini justru membuatnya kebal. Jadi ia bergumam, "Terima kasih."

Mereka turun bersama dan berjalan beriringan memasuki gedung. Beberapa orang mengamati dua orang serupa dari generasi berbeda itu dengan pandangan menilai. Semua orang bahkan terus mengamati Adrian dan Ryan hingga dua orang itu hilang dari pandangan. Meski Ryan berpenampilan lebih acak-acakan dengan rambut memanjang yang dicat pirang, celana jins robek, dan kaos; mata telanjang pun mampu melihat bahwa mereka adalah ayah dan anak.

Keduanya terjebak dalam keheningan ketika berada di lift, hingga akhirnya Adrian memecah suasana itu. "Seberapa sering kau bertemu Delia?" tanya Adrian.

Ryan mengendikkan bahu seraya mengamati angka bergerak naik. "Jujur saja, aku baru bertemu dengannya sekali saat sedang belanja di bawah. Sekitar seminggu yang lalu. Ketololanku ke sekian kalinya karena lupa membawa rupiah. Aku mampir ke apartemennya. Dia... oke, tapi payah ketika memasak panekuk instan."

Adrian menahan senyum ketika mendengar itu. Ia melempar kembali memori tentang telur yang asin hingga membuat wanita itu sesenggukan. Batin Adrian menghangat. Rasanya lift ini bergerak sangat lambat, karena sekarang ini Adrian benar-benar merindukan Delia.

Mereka tiba di lantai empat, di mana apartemen Delia dan Ryan berada.

"Kau... mau mampir?" tanya Ryan.

Adrian melihat pintu akrab itu. Lorong yang bahkan punya banyak kenangan. Adrian hanya membeku di sana, lalu menggeleng. "Masih sangat berat untukku."

Ryan mengangguk lalu menekan bel apartemen Delia. "Ini akan sangat gila."

"Aku tahu." Adrian mengangguk.

"Kau bahkan tak sanggup menekan belnya dengan tanganmu sendiri."

"Sebenarnya Delia memberikan kuncinya padaku."

"Apa?"

Adrian tak sempat menjawab Ryan ketika pintu terbuka dan menampakkan Delia yang sangat cantik dengan perut membesar, cardigan, celana training, dan rambut tergelung asal. Keterkejutan terlihat jelas di wajah wanita itu ketika mendapati siapa tamunya.

Jantung Adrian berdetak lebih cepat. Seketika saja Adrian mampu mengabaikan dunia di sekitarnya. Ia ternyata sangat merindukan Delia. Jika saja Ryan tidak sini, Adrian pastikan hal pertama yang ia lakukan di detik pertama melihat Delia adalah menciumnya habis-habisan.

"A-adrian." Delia tergagap. Adrian bisa merasakan mata cokelat gelap Delia yang menyentuhnya. Adrian ingin mata itu terpaku padanya. Namun cepat-cepat mata itu beralih pada putranya. "Ryan! Hai!"

"Halo, Delia," sapa Ryan. "Bisa kita masuk?"

"Y-ya! Tentu." Delia membuka pintu lebih lebar dan membiarkan mereka masuk. Ia mengambil beberapa majalah di sofa dan mempersilahkan tamunya duduk. "Maaf. Aku sama sekali tak tahu akan kedatangan tamu. Aku akan membuat minuman. Teh atau kopi?"

"Kopi saja," kata Adrian. "Terima kasih."

Delia beralih pada Ryan.

"Aku tinggal membuka pintu sebelah dan mengambil apapun yang kuinginkan."

Delia mengernyit mendengar jawaban Ryan. Namun wanita itu tak ambil pusing, justru menuju ke konter dapur untuk membuat minuman.

Sekarang kegugupan yang dirasakan Adrian semakin membelit. Rasanya sulit sekali berucap ketika tubuhnya hanya ingin menyentuh Delia dan melampiaskan semuanya lewat sentuhan. Adrian ingin kulit satu sama lain yang bicara. Adrian ini tubuh mereka mendekat untuk mengerti maksud satu sama lain. Adrian tak ingin suara atau pemandangan lainnya, ia hanya ingin Delia.

"R-ryan..." Adrian berkata dengan suara gemetar tak jelas. "Aku tak tahu bagaimana memulainya."

Ryan melotot pada Adrian. "Kau bercanda?!" desisnya. Ia melanjutkannya dengan berbisik pada Adrian. "Untuk kali ini, aku akan mengakui umurku delapan belas tahun. Aku tak punya bayangan untuk yang satu ini."

"Aku juga!" Adrian mulai frustasi sekarang. Adrian hanya punya waktu beberapa jam, tadi. Dan itu telah ia habiskan untuk memastikan penampilannya, yang mana detik ini juga tak membantu untuk membangun kepercayaan dirinya. "Ini hal baru bagiku."

"Kau tak pernah melamar seseorang?!" bisik Ryan.

Adrian menggeleng dan kecemasannya tak lagi bisa ia tutupi. Adrian tak tahu apakah kalimat retoris yang ia cetuskan waktu lalu di meja makan, bersaksi Talitha dan Dave, dapat disebut sebuah lamaran atau bukan. Tapi yang satu itu jelas tidak berhasil.

"Kau tiga puluh enam tahun. Kau adalah Adrian Salendra. Kau bahkan hampir punya tiga orang anak, demi Tuhan!"

"Aku mengajak Emilia menikah ketika kami enam belas, oke?!" tukas Adrian dalam bisikan. "Aku tak yakin apakah itu juga bisa dihitung. Kami sangat muda dan aku tak menyangkal bahwa saat itu kami bodoh."

Ryan tercengang menatap Adrian. Ia mendengus lalu melambaikan tangan untuk mengacuhkan Adrian ketika Delia datang membawakan minuman. Sekarang kegugupan Adrian kembali terbentuk. Ia bahkan tak tahu harus memulai dari mana. Terkutuklah dengan situasinya saat ini.

Delia menempatkan diri di sofa yang berseberangan dengan Ryan dan Adrian setelah meletakkan dua cangkir kopi di meja. Delia terlihat kesulitan dengan perutnya namun itu tak menutupi bahwa penampilan natural itu justru menggugah sesuatu dalam diri Adrian. Apakah seperti ini rasanya melihat seorang wanita dengan perut membesar, mengandung darah dagingmu? Ya Tuhan, euforianya tak sanggup Adrian gambarkan.

"Jadi... sudah lama tidak bertemu kalian," ujar Delia seraya mengelus perutnya. Sial, Adrian tidak bisa mengalihkan perhatian dari perut itu. "Apa kabar denganmu, Adrian?"

"Uh..." Adrian kembali disadarkan dengan pertanyaan Delia. Apa katanya tadi? "Ya. Apa?"

"Dia bertanya kabarmu, Adrian," kata Ryan.

"Aku... lumayan baik." Dobel sial. Itu sebuah kebohongan. "Tidak. Maksudku, tidak..."

Apakah Adrian baik-baik saja selama ini? Dia adalah seorang munafik jika berkata demikian. Adrian tak lagi bisa hidup dengan benar dan kali ini ia tak punya psikiater yang menjaganya. Ia hanya memikirkan Delia sepanjang waktu. Padahal yang harus ia lakukan hanyalah menemui wanita itu karena kasus ini berbeda dengan yang terjadi pada Emilia.

Adrian menghela napas ketika tatapan Ryan dan Delia terheran-heran. "Entahlah. Aku tak yakin apakah aku baik-baik saja."

Delia sepertinya mengerti gelagat Adrian. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mengenali pasien paling bermasalah yang pernah Delia tangani. Meski begitu, Delia tetap tersenyum ramah seperti biasanya. "Kau jauh lebih baik, kau tahu?"

"Sungguh?" Adrian terkejut.

Delia mengangguk dan tertawa sekilas. "Lihat perbedaannya. Kau sekarang bersama Ryan."

Ryan dan Adrian saling berpandangan. Delia benar, ini kemajuan pesat. Ryan berubah sejak kunjungan pagi tadi. Ini semua berawal dari obrolan meja makan dan sekarang Ryan bersedia menemani Adrian untuk menemui Delia karena ayah kandungnya adalah seorang pengecut.

Ryan mendengus untuk menyela suasana. "Oke, Delia. Aku ingin kau mengetahui satu rahasia tentang diriku dan kau harus mengingat ini baik-baik. Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi. Apalagi membicarakan omong kosong, itu sama sekali bukan aku. Jadi kita langsung pada intinya saja. Aku tahu ini terdengar aneh karena aku pernah mendengar soal lamaran yang diajukan kedua orang tua untuk putranya, tapi..." Ryan berdeham. Sementara Adrian hanya membeku seperti orang bodoh karena tak menyangka Ryan mengatakan itu. "Kali ini aku akan mengakui diri sebagai putra seorang Adrian Salendra dan aku ke sini untuk... uh... apa ya? Melamarmu atas nama ayahku?"

Ryan menggerutu pelan dalam bahasa Inggris sementara Delia terpaku menatap anak berumur delapan belas tahun itu. "Pokoknya, aku ingin kau menikah dengan Adrian karena aku tak mau kau melahirkan tanpa sosok suami dan anak-anakmu lahir tanpa ayah. Kau bisa saja menolak itu, tapi aku akan menggunakan cara kotor di sini. Jika Adrian tidak berhasil mengambil alih tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, aku telah bersumpah akan mematahkan tulang rusuknya untuk kedua kali. Ini serius." Ryan menghembuskan napas seolah telah melepaskan beban berat. "Jadi?"

Keterkejutan masih menggantung di antara Delia dan Adrian. Sekarang kegugupan Adrian semakin kentara ketika Delia menatapnya dan meminta penjelasan, tapi Adrian hanya mengendikkan bahu dan memasang wajah penuh harap.

Delia tertawa sekilas. "Kau benar, ini aneh sekali."

"Yang itu tidak terdengar seperti lamaran, kan?" sahut Ryan. Ia menyenggol Adrian. "Aku berharap kau bisa lebih membantu."

Adrian tergagap ketika Ryan mendorongnya sementara Delia masih terus menatapnya. "A-aku... Delia... Ryan... Ryan benar. Aku ingin kau menikah denganku."

Kejadian tak lazim ini membuat kecanggungan semakin pekat. Delia menggeser posisi duduknya, menatap Ryan dan Adrian secara bergantian. "Ryan... terima kasih karena telah mengatakannya dan aku telah mengakui bahwa ini aneh. Tapi ada satu hal yang tidak berada dalam kendalimu. Aku tak mempermasalahkan apakah kau sudah cukup umur atau sudah dewasa untuk berada di antara kami, maksudku membicarakan ini untuk mewakili kami, tapi ada satu hal di mana aku dan Adrian perlu memutuskannya bersama. Ini tentang kami."

Ryan mengangguk paham lantas bangkit. "Oke. Itu dia kodenya. Aku akan pergi dan kuharap kalian menyelesaikan urusan kalian." Ryan menepuk pelan bahu ayahnya sebelum melenggang ke pintu keluar. Namun langkah terhenti dan berbalik lagi. "Dan, Adrian, terima kasih karena apartemen ini cukup elit dan kedap suara. Aku yakin pembicaraan selanjutnya akan melibatkan banyak kegiatan dengan suara lantang yang tidak ingin kudengar dari sebelah."

Adrian melotot ketika Ryan mengatakan itu dengan penuh arti. Ia menatap Delia yang kini diliputi semburat merah muda di wajahnya. Ryan tertawa ketika melewati pintu. Adrian tak habis pikir bagaimana kali ini dirinya bisa sangat dipermalukan oleh putranya sendiri di depan Delia.

Kini Adrian hanya berdua dengan Delia dan terjebak dalam suasana canggung setelah sekian lama tak bertemu. Dengan kerinduan yang dalam dan perasaan untuk meluapkannya. Delia bahkan terlihat gugup dengan memilin ujung cardigan miliknya. "Jadi... kau akan menjelaskan tentang sebelah yang Ryan maksudkan?"

Adrian meneguk ludah, berusaha menemukan suara, berjuang mengumpulkan keberanian. Baiklah ini dia, kali ini ia harus memperjuangkan Delia dan bayi mereka.[]

Ketika SL selesai di BAB 37, di SF Adrian masih harus minta tolong Ryan buat ngelamar :"D

Semoga suka, ya, readers. Jangan lupa support dengan vote dan komentar :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top