SF - BAB 36

Kupikir ini udah sebulan. Rasanya lama banget nggak update SF, ternyata baru kelewat seminggu. Dua minggu juga belum genep :'D :'D Gatel banget pengen update. Ga suka cerita nggak lengkap.

Jadi, jangan lupa support dengan vote dan komentar, ya. Siapa tau drama ini segera berakhir... atau... pengen diulur-ulur aja kayak hubunganmu dan dia? (eh)

Ketukan di pintu ruang kerja Adrian membuat sang pemilik ruangan tersentak dari lamunannya ketika menatap foto berwarna gelap. Adrian menghela napas, menyimpan foto USG yang pernah Delia berikan, lalu berjalan membuka pintu.

Nana terlihat berdiri di sana, mengangguk pelan pada Adrian. "Maaf, Tuan Adrian. Tuan Ryan datang dan sekarang berada di ruang makan. Dia bilang ingin bertemu Anda."

Ryan?

Adrian tersenyum sekilas sebelum mengucapkan terima kasih pada Nana. Ia segera menemui putranya yang telah tiga bulan ini jauh darinya karena memilih untuk mandiri. Meski mereka berada di kota yang sama, Ryan tetaplah Ryan yang tak ingin membangun hubungan baik dengan Adrian. Mendapati Ryan mengunjunginya, merupakan suatu kebahagiaan bagi Adrian.

Ryan sedang berbicara sesuatu pada Ali ketika Adrian tiba di ruang makan. Ryan menyelesaikan obrolannya ketika melihat Adrian datang. "Adrian..." sapa Ryan.

Adrian tersenyum. "Aku tak menyangka kau di sini." Adrian menempatkan diri di kursi yang berseberangan dengan Ryan. Anak itu masih mengamatinya lekat-lekat dan Adrian tahu sesuatu terjadi. "Bagaimana dengan kuliahmu?"

Ryan menatap sinis pada Adrian. "Serius? Kau menanyakan itu padaku seolah hubungan kita baik-baik saja? Omong-omong, itu basa-basi yang bagus."

Adrian mengernyit. Ia memang masih berusaha dan sebisa mungkin mengambil seluruh kesempatan yang ada. Ia ingin setidak-tidaknya membangun sebuah percakapan yang dilakukan ayah dan anak. Ini semua memang tidak mudah untuk Adrian raih. "Jadi... ada apa?"

"Katakan padaku, apakah kau akan menyembunyikan kenyataan bahwa apartemen yang kau beri untukku ternyata bersebelahan dengan apartemen Delia? Karena ini sangat konyol, Adrian. Aku jauh darimu tapi kau justru meninggalkanku dengan wanita yang kau tiduri. Kau berusaha mempersempit ruang gerakku?"

Adrian menggeleng tegas. Ia luput memberitahu Ryan soal itu. Bahkan tak terpikir olehnya bahwa informasi itu penting bagi Ryan. Di sisi lain, pancaran ketidaksukaan Ryan dengan menyebut Delia wanita yang ia tiduri sedikit membuat Adrian terusik. Jika saja anak di depannya bukan putra kandungnya dan hubungan mereka masih jauh dari kata baik. Adrian tak suka Ryan menilai Delia seperti itu. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku lupa memberitahumu."

"Seperti kau juga lupa memberitahu bahwa semua pacarmu kau beri properti setelah tidur denganmu?"

"Ryan!" ucap Adrian tegas. Ia mulai kehilangan kontrol diri. "Itu sama sekali tidak sopan—"

Ryan bangkit dari tempatnya hingga memotong Adrian. "Jangan membicarakan kesopanan di depan wajahku jika kau tak pernah mengajarkannya padaku!" serunya. Ia mencondongkan tubuhnya pada Adrian. Tatapannya tajam dan membakar. Seharusnya Adrian tahu bahwa Ryan berkunjung bukan tanpa maksud.

Adrian hanya bungkam.

Ryan menghela napas. Ia masih saja tidak menurunkan emosinya dan menjulang mengintimidasi. "Itulah dirimu, kan? Kau berlari dari tanggung jawab sesukamu. Kau meninggalkan kewajibanmu memegang Salendra Group. Sekarang apa? Kau melimpahkannya padaku? Kau meninggalkanku dan ibuku sementara kau punya semua yang kau miliki di sini—"

"Ryan—"

"Kau bahkan juga meninggalkan Delia dalam keadaan seperti itu?! Aku bahkan malu mendapati kenyataan bahwa aku separuh bagian dari dirimu!"

Adrian tersentak mendengar itu. Ryan telah mengingatkan Adrian bahwa ia tak pernah mau punya ayah seperti dirinya, tapi kalimat terakhir itu menohok Adrian. Hingga bagian dalam diri Adrian begitu kuat untuk mengutuk dan menghabisi diri sendiri.

Adrian tahu bahwa ia pengecut. Itulah yang ia renungkan selama ini. Ia begitu malu pada dirinya sendiri. Ia bahkan tak tahu apakah anak yang dikandung Delia kelak mau mengakuinya sebagai ayah. Ryan menunjukkan fakta itu lebar-lebar. Membuat Adrian semakin kecil dan putus asa.

"Sampai kapan?" tanya Ryan.

Adrian mengangkat wajah dan menatap putranya.

"Sampai kapan kau akan menjadi bajingan seperti itu?"

"Aku..." Adrian kesulitan menyusun kata-katanya. Siapa yang mampu mengerti dirinya seperti Delia yang telah menanganinya selama tiga tahun? Tapi kini Delia pun tak mengerti bahwa Adrian hanya ingin melakukan segalanya bersama-sama dengan wanita itu. Adrian tahu perkara cinta akan sangat sulit bagi Delia, tapi Adrian tidak bisa membicarakan perasaan ketika Emilia punya tempat sendiri di hatinya. Tidak bisakah mereka bersama demi satu tujuan yang sama? "Kau tak akan mengerti situasinya."

"Apakah kau juga akan bersikap seolah aku anak berumur sepuluh tahun?" Ryan mendengus. "Kenapa semua orang menganggapku tak akan mengerti apa yang orang dewasa pikirkan? Aku cukup dewasa secara mental maupun hukum. Aku bahkan bisa memilih status kewarganegaraan yang kuinginkan."

"Ryan..." Adrian menghela napas. "Delia adalah seorang janda. Ini sulit baginya. Bagiku juga. Kami... dalam keadaan rumit."

Ryan menatap Adrian lekat-lekat. Adrian melihat simpati terpancar dari mata gelap itu. Tanpa Adrian duga, Ryan menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi dan terpaku pada Adrian. Apakah ini sungguh terjadi? Mereka punya obrolan di meja makan?

Ryan mengetukkan jari di meja makan. Sama sekali tak berpaling dari Adrian. "Aku tak ingin membuatmu besar kepala dengan percakapan ini tapi... ini serius, Adrian, berhentilah melakukan hal bodoh. Aku tak percaya kenapa harus aku yang mengatakan ini padamu, tapi kau benar-benar harus berhenti dengan apapun yang kaupikirkan hingga melewatkan segalanya. Kau terlalu sibuk berpikir dan mengira. Kau tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di masa depan."

"Aku hanya takut." Adrian mencicit. "Semuanya berjalan di luar rencanaku. Aku tidak bisa mengatasinya."

"Itulah hidup," seru Ryan. "Gunakanlah sedikit otak. Terkadang logikamu tidak benar-benar diperlukan. Kuberitahu, ya, gara-gara logikamu itu, aku hampir tidak merasakan sosok seorang ayah selama tiga belas tahun. Rasanya tidak enak. Kau pikir aku akan membiarkan bayi yang dikandung Delia—yang secara teknis adalah adikku—akan mengalami hal serupa?"

Adrian tergugu menatap putranya. Ini adalah sesi konsultasi paling kasar yang Adrian alami. Tapi Ryan benar. Tidak, Adrian tidak ingin si kembar mengalami hal serupa.

"Itu dia!" tukas Ryan. "Aku bukan bajingan licik yang ingin setiap orang merasakan apa yang aku rasakan. Meski aku tidak berjanji akan bersikap baik dengan Delia, aku ingin kau melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ayah. Aku tak percaya kau masih saja bodoh seperti delapan belas tahun yang lalu."

"Tapi Delia tidak mau menikah denganku."

"Persetan dengan itu!" hardik Ryan. "Dia seorang ibu. Dia punya naluri seorang ibu. Dia bukan jenis wanita yang akan menjadi ibu brengsek. Dia ingin semua yang terbaik bagi anaknya. Seorang ayah adalah apa yang anaknya butuhkan. Kau hanya harus berusaha lebih keras."

"Sekeras apa lagi?"

Ryan mendengus. "Kuberitahu satu hal lagi tentang dirimu yang mungkin Delia sendiri yang mana psikiatermu saja tak pernah memberitahu ini padamu. Kau adalah orang paling menyedihkan, yang paling putus asa di planet ini. Itu adalah satu dari ribuan alasan mengapa aku lebih suka nama Ryan Archer daripada Ryan Salendra. Jujur saja, aku tak heran jika ibu meninggalkanmu."

Itu... kenyataan yang sedikit menyakitkan untuk Adrian. "Kau menghancurkan lagi kepercayaan diriku. Tunggu. Bagaimana kau tahu bahwa Delia adalah psikiaterku?"

Ryan mengendikkan bahu. "Kau bisa menebaknya." Benar, mungkin mereka saling bertemu di gedung itu. Adrian tak mengira sebelumnya bagaimana Ryan bisa tahu bahwa Delia adalah tetangga sebelah pintunya. "Aku tidak tahu apa masalahmu, tentu saja. Tapi itu menjadikan satu lagi alasanku kenapa aku tidak mau menyandang nama Salendra. Sekarang aku percaya bahwa kau gila."

Alih-alih tersinggung, Adrian tertawa pelan. Pembicaraan ini adalah pembicaraan yang cukup normal baginya meski Ryan beberapa kali mengucapkan kata kasar. "Kau mirip sekali dengan ibumu."

Ryan mengernyit. "Ibuku tidak pernah mengumpat."

Adrian menggeleng. Mereka pernah remaja. Pernah terjebak dalam kehidupan bebas. Adrian dalam masa bersenang-senang demi melepaskan penat dari kenyataan menjadi seorang putra mahkota Keluarga Salendra. Mereka banyak melakukan hal bersama hingga Adrian cukup yakin mengenal Emilia dengan cukup baik di masa itu.

"Kami pernah seusiamu dan kami menikmati hidup tanpa mengetahui apa yang ada di luar sana. Sebuah kebohongan jika Emilia tidak pernah keluar dari batasnya." Adrian menghela napas. "Aku masih mencintai ibumu, kau tahu. Kupikir akan tetap seperti itu. Itulah yang mungkin memberatkan Delia menyetujui lamaranku. Atau mungkin ia masih mencintai suaminya." Adrian mengendikkan bahu. "Aku tak tahu. Bukan berarti aku tak pernah memikirkan bahwa aku mungkin akan mengulangi kesalahan yang sama. Tapi kami punya masa lalu masing-masing dan tentu saja itu memberatkan kami meski sekarang ada mereka."

"Mereka?" Ryan bingung.

Adrian memberi anggukan. "Ya. Mereka. Delia mengandung bayi kembar."

"Sial," umpat Ryan yang tercengang.

Adrian tersenyum kikuk. "Bagaimana menurutmu?"

Sementara Ryan memelototinya. "Bagaimana menurutku?! Kau bertanya padaku apa yang kupikirkan?! Sungguh, Adrian? Kau masih menanyakan itu?! Kau adalah bajingan gila paling brengsek yang pernah kukenal, asal kau tahu! Aku tak akan membiarkan ada dua Ryan yang mengalami hal mengerikan selama mereka hidup." Ryan bangkit dari tempatnya dan Adrian benci obrolan ini akan segera berakhir. "Aku tak mau tahu, Adrian. Kau bisa lakukan kegilaan apapun dengan harta warisan itu, tapi aku tidak mau kau mencampakkan Delia seperti itu sementara dia mengandung anak kembar. Nikahi dia. Aku serius! Nikahi dia! Atau aku tidak akan segan-segan hanya membuat retak tulangmu, aku akan mematahkannya. Kau camkan itu, Adrian. Aku tak peduli jika ayahku membunuhku atau bahkan menjebloskanku ke penjara."[]

The truth is, yang nulis aja gregetan ma Ryan >.<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top