SF - BAB 31 (Rated)
Warning! Mature content.
"Kenapa aku tak bisa berhenti menginginkanmu?" bisik Adrian.
Delia yang terus-menerus digoda oleh lidah lihai Adrian pun hanya bisa mendesah dan mengerang. Adrian selalu menyukai respon yang Delia berikan padanya. Dan entah bagaimana, sepanjang hari ini, sejak Adrian mengetahui bahwa darah dagingnya berada di dalam tubuh Delia, yang terjadi hanya Adrian selalu ingin menyentuh Delia. Perasaan protektif yang sudah lama tak Adrian rasakan pun kini mencuat dan hanya ia curahkan pada wanita ini.
Tangan Adrian beralih ke tengkuk Delia, memaksa wajah wanita itu terpaku padanya. Adrian menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman penuh hasrat. Kenyalnya bibir manis Delia yang memabukkan, sapuan lidah di antara mulut dalamnya, membuat Adrian menggila ingin membawa Delia ke puncak kenikmatannya.
"Kupikir kau pengaruh buruk untukku," kata Adrian seraya menarik wajah dan menatap Delia. "Kau hanya mengganti kegilaanku yang lama dengan kegilaanku terhadapmu."
"Lalu jauhi saja aku," balas Delia.
Adrian menyeringai. Apakah wanita ini bercanda? Sejak mereka saling menyentuh lebih intim di ranjang Adrian beberapa bulan lalu, Adrian merasa ketergantungannya pada Delia semakin menjadi-jadi. "Tidak bisa. Rasanya aku tak pernah puas menyentuhmu."
"Kenapa kau berkata-kata manis seperti itu?" gerutu Delia. Ya Tuhan! Adrian sangat suka ketika wanita itu bersemu seperti gadis remaja. Sangat cantik.
Adrian tertawa pelan. Membawa kaki jenjang Delia terkait di pinggulnya. Hanya dalam sekali angkat, lengan kuat Adrian mampu membawa tubuh Delia bersama dengan tubuhnya sendiri. Adrian melangkah sementara matanya hanya terpaku pada wajah Delia yang bersemu dengan hiasan mata sayu bergairah.
Dengan apartemen kecil Delia ini, Adrian dengan mudah bisa membawa tubuh Delia ke ranjang tanpa memerlukan waktu lama. Adrian bersyukur karena ia tak sanggup menahan gairahnya terhadap Delia lebih lama lagi.
Adrian meletakkan Delia di ranjang. Matanya menelusuri tubuh Delia yang masih berbalut kemeja sementara bagian bawah telah terganti dengan piyama berwarna merah muda. Adrian menarik ke bawah celana piyama itu, perlahan dengan gerakan sensual, sedikit demi sedikit menampakkan paha mulus Delia, lalu lutut yang telah bergetar, tungkai kuat menggairahkan yang sangat seksi ketika melilit di pinggul Adrian. Kemudian tanggal sudah celana piyama itu, memperlihat bagian bawah tubuh Delia yang berbalut celana dalam hitam berenda yang sangat seksi. Adrian mengeram dalam, seraya melempar celana piyama itu ke belakang dan tak peduli ke mana benda itu mendarat.
Adrian membawa kedua kaki Delia ke pundaknya, membuat kaki Delia terbuka lebih lebar. Adrian menyusupkan kepalanya di antara kedua paha Delia. Wanita itu menjerit. Jeritan yang mampu membangkitkan hasrat Adrian hingga ia tak kuasa lagi untuk tidak menciumi paha cantik itu. Jadi Adrian melakukannya. Bibirnya memulai dari paha kiri bawah Delia, kemudian merangkak hingga lidahnya bersentuhan dengan renda celana dalam Delia. Wanita mengeluarkan suara erotis ketika jari-jari Adrian menyentuh kewanitaan yang telah basah itu dari luar, membuat Adrian menegang.
"Aku sangat merindukan ini," kata Adrian. Ia bisa mencium aroma gairah Delia yang memabukkan. Adrian mengambil napas dalam-dalam, merekam bagaimana aroma kewanitaan Delia menguar. "Aromamu saja bisa membuatku keras."
"Adrian..."
"Ini sangat basah," kata Adrian saat menjalankan jarinya mengikuti garis celah kenikmatan itu dari balik celana dalam Delia, sementara wanita itu hanya bisa mendengus dan bernapas pendek-pendek. Adrian dibuat gila hanya dengan aroma kewanitaan itu.
Ia ingin merasakan lebih.
Tanpa ijin, tanpa basa-basi, Adrian merobek kasar penghalang itu.
Delia memekik ketika kain itu terkoyak dengan mudahnya di tangan Adrian, memperlihatkan kewanitaan berwarna merah muda tertutup rambut halus, kini telah mengilap karena gairah. "A-apakah... kau baru saja merobek celana dalamku?"
Adrian menyusurkan tulang hidungnya ke celah Delia. "Ya. Kenapa? Aku tak bisa lagi menahannya."
"Ah!" Delia mengerang hingga punggungnya melengkung. Napasnya putus-putus lagi hingga ia perlu bersusah payah untuk berbicara. "Celana itu tidak akan bisa digunakan lagi."
"Persetan. Aku tak peduli. Aku bisa membelikanmu lebih banyak celana dalam yang seksi." Adrian membuka celah menggairahkan itu. Meniupkan sedikit udara hingga Delia menjerit. "Ini sangat indah. Sangat seksi. Ia berkedut karena perlakuanku."
"Sial."
Adrian menjilat sekali kewanitaan itu. Lalu memundurkan kembali wajahnya. "Manis seperti dirimu."
"Kau membuatku malu," kata Delia disela desahannya.
"Kenapa harus malu?"
"Kau bicara kotor dan itu terdengar sangat vulgar untukku."
Adrian menyeringai di paha Delia. Ia menjilat lagi, Delia menjerit lagi. Menjilat sekali lagi dan dibalas jeritan lebih keras. Tangan Delia mulai turun, mengunci jemarinya di rambut Adrian. Adrian merasakan jambakan wanita seolah ia tak kuat lagi menahan gejolak hasrat yang Adrian berikan. Namun Adrian tak peduli. Ia menjilat lebih cepat dan brutal. Menusuk untuk mengambil seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya. Delia merapatkan pahanya hingga kepala Adrian terbenam, sementara tungkainya bergetar dan kewanitaanya menguarkan aroma orgasme pertama yang memikat.
"Sial, aku tak pernah sekeras ini seumur hidupku." Adrian segera bangkit demi melucuti seluruh kain yang ada di tubuhnya. Ia tak bisa lagi menahan sesak di selangkanya. Delia bisa menyiksanya hanya dengan sebuah desahan.
Ketika Adrian kembali menindih Delia, wanita itu telah melemparkan kemejanya ke sembarang tempat. Delia yang tengah mengenakan bra senada celana dalam terkoyak tadi terlihat sangat menggairahkan. Bagian bawah tubuhnya terekspos hanya untuk Adrian.
Adrian membawa kembali tubuhnya memenjarakan Delia. Mencium Delia dengan penuh hasrat. Tangan Delia meraih kejantanannya. Pijatan lembut tangan kecil Delia membuat Adrian menjadi lebih keras hingga dadanya bergemuruh menahan hasrat yang mengepul.
Ciuman itu semakin keras dan dalam. Adrian meraih kedua tangan Delia yang tengah aktif membangkitkan gairahnya. Membawa kedua tangan itu untuk melingkari lehernya. Adrian menatap mata sayu Delia, wajah memerah karena gairah, bibir terbuka menghembuskan udara panas.
"Tatap aku ketika aku menyatu padamu," bisik Adrian.
Mata Delia berkilat-kilat ketika terpaku pada manik mata Adrian. Tangan Adrian membuka celah untuk membawa diri ke jurang kenikmatan. Matanya tak lepas dari wanita cantik itu. Ketika Adrian berhasil menyatukan diri dalam sekali dorongan, desahan keduanya beradu, menggema ke seluruh ruangan.
Kepala Adrian menyusup ke ceruk leher Delia. Mengecup di sana dan meninggalkan tanda kepemilikan. Erangan Delia seolah menyorakinya untuk mempercepat ritme gerakan pinggulnya. Peluh membasahi tubuh seperti sebuah rekatan yang menyatukan mereka dalam sebuah percintaan. Adrian mempercepat gerakan pinggulnya. Menghentak begitu dalam. Sebuah tarikan ia berikan hanya untuk kembali mendorong ke liang kenikmatan yang mampu memijat kejantanannya hingga berkedut.
"Sial. Kau... sangat... nikmat!" geram Adrian dalam hentakannya.
"Lebih cepat, Adrian!"
"Sial." Adrian mengumpat ketika Delia mulai mengaitkan kakinya ke pinggul Adrian. Jari kaki Delia menyusup ke lubang anusnya dan itu membuat Adrian menggila hingga tak mampu lagi menahan kenikmatan yang menerjangnya.
"Adrian!" Delia menjeritkan namanya ketika dinding itu berkedut dan kehangatan menjalari kejantanan Adrian.
Adrian mendorong dalam-dalam ketika puncak menerjang tubuhnya. Melepaskan orgasmenya ke dalam tubuh Delia. "Sial. Sial. Sial!" Tubuh Adrian luruh hingga menindih tubuh Delia. Ketika ia teringat bahwa Delia tengah mengandung, Adrian segera menyingkir ke samping tubuh Delia.
Keheningan terjadi beberapa saat ketika mereka sama-sama mengambil udara untuk menormalkan kembali napas dan detak jantung mereka.
Delia terkekeh setelah napas mereka kembali normal. "Wow!"
Adrian pun ikut tergelak ketika mengingat percintaan panas yang baru saja mereka lalui. "Rasanya semakin nikmat ketika kita melakukannya."
Delia mengangguk. Di pipinya tersebar warna merah semu, wajahnya berpeluh. Delia terlihat lebih cantik setelah mencapai orgasmenya.
Adrian menempatkan tangannya di perut Delia membawa wanita itu mendekat dalam rengkuhannya. "Terima kasih atas semua yang kau berikan padaku. Kau menyempurnakan lagi hidupku yang telah hancur."
Delia tersenyum. Menyusuri wajah Adrian dengan telunjuknya. "Kau juga menyempurnakan aku."
"Kenapa kau tak menyerah terhadapku?"
Delia menahan senyumnya kali ini. "Karena aku dokternya."
Adrian mencolek gemas hidung Delia. "Tapi kau mau menerimaku. Meskipun kita terpaut umur yang cukup jauh. Berapa, ya? Sepuluh tahun? Bukankah aku terlalu tua untukmu?"
Delia mengangguk. "Siapa yang tidak mau tidur dengan mantan pesepak bola terkenal seperti Adrian Salendra? Bukankah kau telah membintangi tiga merek celana dalam?"
Adrian tergelak. "Jangan ingatkan aku. Aku sudah kepala tiga sekarang."
"Lagi pula aku dan suamiku juga terpaut umur sejauh itu."
Adrian terkejut. Ia tak pernah mengira Delia mempunyai seorang suami yang terlampau dewasa. Pikirnya Delia hanya menikah dengan pria kekanakan yang lebih berpotensi mempunyai emosi labil. "Benarkah?"
Delia mengendikkan bahu. "Kami... dijodohkan. Dia hanya tidak mencintaiku. Harusnya aku tahu dan tidak memaksakan pernikahan kami."
Adrian mendengus. "Si tolol itu."
Sedetik kemudian, suara ponsel Delia memecah obrolan ranjang mereka. Delia bergegas meraih ponsel di nakasnya dan mengernyit ketika memastikan layar. "Halo? Kakak?"
Hening cukup lama ketika raut wajah Delia mulai berubah.
"Ada apa?" tanya Adrian.
"Ya Tuhan!" Delia memekik. "Aku akan segera ke sana. Beri aku alamatnya ... Sampai bertemu nanti."
"Apa yang salah?" tanya Adrian lagi.
Delia segera menuju ke lemari pakaian untuk mengambil celana dalam dan mengenakan pakaian pertama yang disambarnya. Delia yang terburu-buru seperti itu membuat Adrian semakin cemas. "Tadi itu kakak iparku. Mantan suamiku kecelakaan. Aku harus segera ke sana."
Entah bagaimana hati Adrian teremas mendengar itu. Delia masih peduli dengan mantan suaminya, bahkan menjadi sepanik ini ketika pria tolol itu dalam masalah. "K-kau... akan ke sana?" Lidah Adrian kelu mengucapkannya.
"Tentu saja." Delia menyisir rambutnya asal-asalan. Memasukkan dompet dan ponsel ke dalam tas. "Dia membutuhkanku."
"Bagaimana kau tahu dia membutuhkanmu? Dia bahkan tak peduli padamu."
Delia tersentak dan menghentikan kegiatannya yang tergesa. Ia menatap nanar pada Adrian. "Dia tak punya orang lain yang lebih mengerti dirinya. Aku yakin keluarganya pun tak tahu apa yang terjadi padanya."
Adrian benci menanyakan ini, tapi ia tak sanggup menahan pertanyaan ini bersarang di pikirannya. "Kau masih mencintainya?"
Delia bungkam. Matanya berpaling dari Adrian. "Aku tak tahu."
"Apa maksudnya dengan tak tahu?"
"Artinya aku tak tahu apakah aku mencintainya atau tidak."
Delia menyambar kunci mobil dan meninggalkan Adrian yang terduduk di ranjang menatap nanar punggung wanita itu.
"Apakah kau masih mencintainya atau tidak?" tanya Adrian lebih tajam.
Delia memutar tubuhnya menatap Adrian. "Adrian..." Delia menghela napas. "Jangan buat ini semakin rumit. Aku tak bisa berpikir untuk sekarang."
Adrian memejamkan mata utuk menahan kesakitannya. Rasanya lebih buruk dari setiap mimpi yang pernah menghantuinya sepanjang malam. Ketika ia membuka mata, Delia sudah berjarak darinya dan Adrian membenci itu. "Biarkan aku mengantarmu."
"Jangan. Aku tak bisa membiarkan keluarga mantan suamiku melihatmu. Kami baru resmi bercerai hari ini, Adrian. Belum genap dua puluh empat jam sejak aku berstatus sebagai istrinya."
Tapi aku takut kau meninggalkan aku seperti yang Emilia lakukan.
"Aku bisa mengantarmu sampai depan. Aku tak bisa membiarkanmu menyetir malam-malam sendirian. Kau sedang hamil."
Delia tersenyum. Kentara sekali dipaksakan dan Adrian tak tahu mengapa wanita itu sangat berusaha. Delia meletakkan kuncinya di meja terdekat. "Aku akan memesan taksi. Jangan khawatirkan aku. Aku membawa kunciku sendiri. Ada kartu kunci lain di laci sampingmu, kau bisa bawa itu. Kau bisa berada di sini semaumu. Aku akan kembali begitu semuanya beres."
Adrian bangkit dan mengabaikan ketelanjangannya. Ia mencium bibir Delia dengan harapan bahwa apa yang terjadi padanya dan Delia tak akan pernah berakhir. "Hati-hati di jalan. Aku akan menunggumu pulang."
Delia mengangguk dan akhirnya berlalu setelah melewati pintu apartemen. Entah bagaimana perasaan ditinggalkan yang sama seperti delapan belas tahun yang lalu kembali terasa. Seperti saat Adrian berharap Emilia berbalik dan kembali padanya, kali ini Adrian juga berharap Delia berbalik dan memilih dirinya.
Sejak kapan Adrian jadi posesif begini pada Delia?
Dering ponsel Adrian terdengar di sela lamunannya. Ia mengernyit ketika nama putranya terpampang di sana. Adrian pikir Ryan sedang gusar sehingga mengabaikannya dan melarikan diri ke rumah Dave. Jadi Adrian berusaha supaya tak mengusik anak itu dan membuat masalah semakin rumit. Apakah Ryan sedang dalam masalah lagi?
"Halo? Ryan?"
Selalu hening sejenak sebelum anak itu memulai obrolan telepon dengan Adrian. Helaan napas pertama terdengar. Anak itu berkata pelan dan seperti biasanya, tak ada basa-basi. "Adrian... kupikir aku tidak bisa lagi tinggal denganmu."[]
Wish you enjoy this chapt! :D
Ingat batasan umur ya... Yang masih di bawah umur bacanya jangan terlalu menghayati :D
Jangan lupa support dengan vote, komentar, atau share cerita ini ke temen-temen kamu :D Biar author semangat, biar segera menggantung lagi cerita ini (eh), biar segera menyentuh Surrender Series #3 :* :* :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top