SF - BAB 30

Enjoy! Jangan lupa support dengan vote dan komentar.

Kebahagiaan yang terjadi seharian ini pada Delia, mendadak surut. Erdina bahkan pergi tanpa berniat untuk mampir. Sementara Delia, dengan kedatangan Erdina sang kakak ipar, hanya dibuat semakin merasa bersalah karena menyetujui perceraian yang diajukan Ardan.

Pada akhirnya Delia harus mengatakan segalanya pada Erdina supaya wanita itu mengerti bahwa pernikahan ini memang tak bisa lagi diselamatkan. Apalagi dengan adanya si jabang bayi yang tumbuh di tubuh Delia. Meski Delia tidak mengungkit perkara kehamilannya, atau Erdina hanya akan menyalahkan Delia dan menganggap Delia tak tahu diuntung.

Delia memandang kehidupan malam Jakarta dari balkon apartemennya. Pikirannya melayang kembali ke masa di mana dirinya berumur empat belas, sendirian, pontang-panting ke sana-sini. Jika setiap pasangan yang bercerai meributkan hak asuh anak, kedua orang tua Delia justru saling melempar Delia karena tak ingin lagi bertanggung jawab. Pernikahan mereka berakhir. Selesai. Tak mau ada hubungan lagi. Delia pun mengerti bahwa dirinya hanya akan membawa beban bagi keduanya, saat itu juga Delia tahu dirinya tak lagi diinginkan.

Delia bertahan dengan sisa-sisa uang yang ada. Namun ia hanya empat belas tahun dan sendirian, tunjangan yang orang tuanya berikan lama-kelamaan habis dan Delia enggan merecoki kehidupan baru mereka dengan kekasih masing-masing. Hingga Ratna Narendra, sang tetangga baru datang membawa banyak makanan sebagai tanda perkenalan.

Nyonya Narendra yang tak lain adalah ibu Ardan terheran dengan seorang anak yang tinggal seorang diri. Delia menceritakan kehidupannya dan entah bagaimana sejak saat itu, Ratna lebih banyak menghabiskan waktu bersama Delia untuk mengobati kerinduan Ratna pada putrinya Erdina yang saat itu tengah bersekolah di luar negeri. Ratna yang saat itu tinggal seorang diri pun sangat senang dengan kehadiran Delia. Ratna setuju untuk membiayai Delia hingga lulus dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri.

Sampai suatu ketika, putra bungsu keluarga Narendra berkunjung dan Ratna mengenalkan Ardan pada Delia. Ardan sangat lah pendiam, tertutup, dan tak acuh. Namun hal itu tak membuat Delia menyerah, Delia justru bertanya-tanya apa yang terjadi pada Ardan sementara Ratna adalah sosok yang sangat ramah. Tanpa Delia sadari, pengamatannya yang terlalu intens berbuah ketertarikan yang selama ini tak pernah Delia rasakan. Saat itu juga Delia tahu bahwa dirinya telah jatuh cinta pada sosok yang sulit disentuh. Delia percaya suatu hari akan menyentuh Ardan dengan suatu cara yang saat itu tak Delia ketahui.

Delia bahkan tak berpikir dua kali ketika Ratna menjodohkan mereka. Delia berpikir, mungkin itulah saatnya untuk mengenal Ardan lebih jauh, menyentuhnya, menjadi sosok yang akan selalu menyokongnya. Meski Ardan tidak menolak, namun Ardan tak pernah menyatakan persetujuan. Delia pun yakin, sumpah setia yang Ardan ucapkan pada hari pernikahan mereka, bukan Ardan tujukan untuk Delia.

Lia.

Untuk pertama kalinya, Ardan memanggilnya. Hati Delia tersentuh hingga begitu dalam ketika Ardan menyebut namanya dengan penuh kesungguhan. Namun naas, semuanya menjadi hambar ketika mereka terjebak di ruangan pengantin dan Ardan tak pernah menganggapnya ada.

Delia terus bertahan hingga malam selanjutnya. Malam selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya lagi. Hari terus bergulir, pernikahan mereka semakin berumur. Delia berusaha menggoda Ardan dengan berbagai cara, tapi Ardan seperti seonggok mayat hidup yang berstatus suaminya. Ia hanya pergi bekerja, pulang, dan tidur. Tak ada keramahan atau bahkan kepura-puraan sedikit pun meski berada di hadapan keluarga Narendra. Ardan selalu tanpa ekspresi, tak pernah peduli terhadap sekitar. Ia memiliki dunianya sendiri yang tak seorang pun akan mengerti. Satu-satunya ekspresi yang pernah Delia lihat dari pria itu adalah menangis. Ardan pernah sangat mabuk dan menangis di hadapan potret seorang wanita seraya menyebut-nyebut nama Lia. Saat itu juga Delia tahu bahwa Ardan tak akan pernah teraih olehnya.

Tanpa Delia sadari, air matanya meluncur lagi membayangkan sosok cinta pertamanya itu. Ini sudah air mata ke sekian yang Delia tumpahkan demi Ardan—yang bahkan tak tahu bahwa Delia pernah menangisinya. Delia menatap cincin pernikahan yang Ardan sematkan hari itu. Cincin itu sangat indah. Ratna, Delia, dan Erdina yang memilihnya. Delia tersenyum getir menatap benda melingkar di jari manisnya itu. Kenapa pula ia menangis ketika melihat cincin ini? Seolah cincin ini berarti sesuatu dan mengikatnya? Delia bahkan yakin, Ardan pun tak ingat jika ia pernah punya cincin tanda pengikat.

Dengan resminya Delia dan Ardan bercerai, kini Delia bukan bagian dari kehidupan Ardan lagi. Meski sebelumnya pun, Delia ragu jika demikian. Delia melepas cincin itu dari jarinya. Ia mengingat kembali betapa rapuhnya Ardan yang menangis. Delia ingat saat dirinya mengangkat Ardan dan pria itu memeluknya dalam keadaan setengah sadar. Menumpahkan segala macam kata tentang Lia. Meski hati Delia tersayat dengan luka menganga lebar, Delia tetap bertahan menjadi istri seorang Ardan Narendra. Sampai hari di mana Ardan memakinya dan melemparkan surat perceraian ke wajahnya, Ardan seperti menggarami luka Delia yang tak pernah sembuh.

Kenapa dari sekian banyak ekspresi yang jarang Ardan keluarkan, kenapa Delia harus berhadapan dengan Ardan yang marah dan menangisi wanita lain?

Lelah. Ingin menyerah saja.

Akhirnya Delia melempar cincin itu dari ketinggian, Delia tak peduli ke mana cincin itu mendarat. Delia pun pasrah mendaratkan hatinya yang telah terombang-ambing sekian lamanya karena pernikahan hambarnya.

Delia berjengit dan segera menghapus air matanya ketika ia mendengar bel pintunya berbunyi. Delia memastikan kembali penampilannya sebelum dengan segera melesat menuju pintu untuk menyambut tamunya.

Adrian terlihat di depan pintunya. Ia tersenyum dengan raut wajah sulit diartikan. Lengannya bersandar dinding dengan gagahnya. Seketika hati Delia menghangat menemukan sosok itu.

"Hai," sapa Adrian. "Aku membawa mobilmu." Ia mengangkat kunci dan memberikan pada Delia.

"Ayo, masuk," kata Delia seraya membuka pintu lebih lebar.

Adrian masih menunggu ketika Delia menutup dan mengunci lagi pintu apartemennya. Ketika Delia berhadapan dengannya, Adrian membawa wajah Delia untuk menatapnya. Adrian mengamatinya dengan intens. "Kau terlihat berantakan."

Delia berusaha tertawa. "Omong-omong, kau juga. Pernah dengar tentang hormon kehamilan?"

Adrian mengernyit. "Apa itu?"

"Suatu fase di mana wanita hamil bisa jadi sangat sensitif."

"Oke..." Adrian menarik mundur tubuhnya. Menyilangkan tangan di dada dan terus menatap Delia. "Dan apakah kau baru saja menangis?"

Delia mengendikkan bahu.

"Kenapa?"

"Uh..." Delia berjalan melewati Adrian untuk menghindari tatapan menyelidik itu. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan membuatkan Adrian kopi. Tapi sepertinya pria itu tak mau kalah.

Adrian memeluknya dari belakang seraya berbisik, "Kau tak akan bisa lari dariku."

Delia terkikik karena geli pada daun telinganya. Adrian ikut tertawa. Dan entah bagaimana tawa itu mengembalikan suasana hati Delia.

"Jadi, ceritakan padaku, kenapa."

Delia menyodorkan kopi pada pria itu.

Adrian mengernyit. "Bukankah wanita hamil juga harus memperhatikan apa yang ia minum? Dan... kau meminum kopi? Apakah itu tidak berbahaya?"

Delia mengendikkan bahu seraya memasukkan kembali toples kopi dan gula. "Kau bisa percaya atau tidak, tapi... ketika aku berjalan di super market, aku jadi sangat ingin membeli kopi. Sesampainya di rumah, aku sama sekali tak menyentuhnya."

Adrian mengangguk. "Bagus. Aku punya anak-anak yang pengertian." Adrian meletakkan kopinya dan berjongkok untuk menyamakan posisi wajahnya dengan perut rata Delia. "Apakah aku bisa melihat tanda-tanda kehidupan mereka?"

Delia tersenyum. "Aku sudah pernah melakukan USG. Tunggu sebentar." Delia meraih amplop cokelat di lemarinya dan memberikannya pada Adrian.

Adrian mengernyit ketika melihat isinya. Matanya takjub ketika melihat foto tiga dimensi itu. "Indah sekali."

"Mereka baru sebesar buah alpukat, Adrian."

"Tapi ada dua buah alpukat. Ini luar biasa." Adrian mengangkat wajah dan tersenyum. "Terima kasih karena membuatku merasa lebih baik."

Delia mengernyit. Ia menempatkan tangannya di dada bidag Adrian. "Apa kabar Ryan?"

Adrian menghela napas. "Ini tak akan pernah mudah bagiku, Delia."

"Ada apa?"

"Cerita dibalas cerita?" Adrian menyeringai ketika Delia merengut. Mencolek hidung Delia untuk menggoda. "Jangan berusaha mengalihkanku, Sayang. Ceritakan padaku, apa yang membuatmu menangis."

"Aku jadi sensitif karena..." Delia mulai memutar otak. "Karena... karena seorang pasien dengan sangat perhatian mengucapkan semoga cepat sembuh untukku. Kau tahu, bagaimanapun aku harus menjelaskan alasan mengapa aku tak datang dan menunda banyak konsultasi hari ini."

Adrian hanya diam menatap Delia. Raut wajahnya tak terbaca dan Delia takut Adrian bisa mencium dustanya. "Apakah pasienmu laki-laki atau perempuan?"

Delia teringat pasien remajanya yang bermasalah dengan perceraian orang tuanya. Seorang gadis yang manis. "Pe-perempuan. Umurnya lima belas tahun. Terkadang dia bisa jadi tak peduli pada sekitarnya, namun ia juga bisa menjadi sangat peduli."

Tiba-tiba Adrian tergelak. Delia hanya mengernyit melihat Adrian. "Kau menangis karena terharu pasienmu mengucapkan semoga cepat sembuh?"

Meski itu hanya dustanya, Delia tetap gusar. "Jangan menertawaiku!"

Adrian meringis ketika Delia mulai mencubit perut berototnya. "Oke. Oke. Berhenti."

"Kau harus membalasnya dengan cerita," tuntut Delia.

Raut wajah Adrian berubah. Ia menyematkan senyuman sebelum mencium singkat bibir Delia. Wanita itu hanya terheran-heran. Adrian menghela napas. "Ryan pergi lagi."

Delia mengernyit. "Bukankah dia baru saja mengalami kecelakaan?"

Adrian mengangguk. "Sesuatu terjadi saat kami berada dalam perjalanan pulang. Kami berdebat dan..." Adrian mengendikkan bahu. "Dia melarikan diri. Kupikir dia di rumah tapi tidak kutemukan. Dia lari ke Bandung seperti biasanya. Pamannya meneleponku dan mengataiku macam-macam."

Delia merasa simpati. Ia melarikan jemarinya menyusuri wajah Adrian. Pria itu memejamkan mata merasakan sentuhan Delia. "Jangan menyerah. Ryan hanya butuh sedikit waktu untuk menerimamu."

"Aku tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi ini semua secara bersamaan. Ryan bisa jadi ramah, dingin, dan marah di saat yang bersamaan."

Delia menyunggingkan senyum. Mengalungkan lengan ke leher Adrian. "Mau tahu apa pendapatku dari kacamata seorang psikolog? Kupikir, Ryan juga sedang berusaha menerimamu. Dia menunjukkan respon. Bukan tidak mungkin dia mencoba terbiasa denganmu. Maksudku, dia sedang menunjukkan respon positif dengan caranya sendiri."

Adrian tersenyum. Jemari panjangnya menelusuri pipi Delia. Tangan lain yang terbebas membawa wanita itu semakin mendekat. Delia merasakan darahnya berdesir ketika pinggul Adrian menggesek perutnya. Adrian berbisik di telinganya, dengan suara parau. "Mari kita lihat. Apakah kau bisa menganalisis ini dari kacamata seorang psikolog?"

Delia mendesah ketika Adrian mulai menciumi lehernya. Tangan Delia kini telah beralih ke kepala Adrian. Jari-jarinya menelusup ke sela rambut Adrian. "A-adrian..." desah Delia.

"Aku menginginkanmu," bisik Adrian.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top