SF - BAB 29
Jangan lupa follow :D :D
Enjoy! Klik bintang untuk vote dan komentar untuk kritik dan saran membangun. :) :)
Selama perjalanan pulang, hanya keheningan yang terjadi pada Adrian dan Ryan. Adrian sebisa mungkin menyetir dengan aman meski konsentrasinya benar-benar buyar karena pikirannya melayang-layang. Kecemasan dan kebahagiaan melebur menjadi satu, tak sanggup Adrian pilah. Sementara Ryan, anak itu masih saja terus membuang muka setiap kali terjebak di ruang yang sempit bersama Adrian. Setelah lebih dari sebulan Adrian tinggal bersama Ryan, Adrian mulai terbiasa dengan sikap anak itu yang terkadang dingin, hanya menjawab seperlunya, namun kerap kali pula berusaha ramah. Meski begitu, Adrian memilih untuk tidak mengusiknya.
Butuh waktu. Butuh proses. Butuh penyesuaian. Butuh lebih banyak pengorbanan.
Yang Adrian lakukan untuk Ryan belum sebanding dengan delapan belas tahun kebodohannya yang menyia-nyiakan Emilia dan Ryan.
Apakah Adrian akan menjadi ayah yang seperti itu juga nantinya? Apakah Adrian pantas bersanding di samping Delia dan menjadi panutan bagi anak-anak mereka? Tetapi Adrian tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama dengan melepaskan Delia.
Kenapa semua masalah tiba-tiba menumpuk di satu waktu seperti ini?
Cara untuk lebih mendekatkan diri pada Ryan, belum juga mencapai titik terang. Bagaimana menghadapi tekanan keluarga Salendra pun, sekarang ini masih berada di ambang. Lalu bagaimana Adrian memberi tahu Ryan tentang Delia dan bayi mereka? Bagaimana semua ini akan berlanjut?
"Kapan pertama kali kau patah tulang?" tanya Adrian. Ia mulai membuka topik untuk mengalihkan pikirannya tentang banyak hal yang tengah mengendap di kepalanya. Adrian enggan menduga-duga kemungkinan terburuk supaya tetap berada dalam batas kewarasannya.
"Empat belas." Ryan menjawab tanpa menatap Adrian. Sesekali Adrian perlu mengalihkan perhatian dari jalanan ke anak itu, sehingga ia tahu Ryan tengah mengendikkan bahu. "Perginya ibu terlalu sulit kuterima. Aku mengalihkan perhatian ke papan skateboardku. Aku terus bermain skateboard, jatuh, kesakitan, lalu bangkit lagi. Aku tak peduli jika pulang dalam keadaan memar atau berdarah. Yang jelas, itu lebih baik daripada hanya berada di rumah dan menatap foto ibu. Retak tulang menyadarkanku bahwa aku harus berhenti dan segera memulai hidup."
Apakah ini pertanda? Apakah Ryan bermaksud mengungkit Emilia untuk mengingatkan Adrian betapa hidupnya menjadi sulit dan ia membutuhkan sosok seorang ayah?
Ryan... atau Delia dan si kembar?
Tapi ini bukanlah pilihan. Adrian tak akan pernah bisa memilih.
"Kau sangat menyayangi Emilia," gumam Adrian. Begitu pun aku. Emilia tak akan senang jika aku melakukan hal yang sama pada Delia.
Ryan menyeringai. "Sudah jelas, kan? Aku punya segala alasan yang membenarkan bahwa berdiri di samping ibuku adalah hal benar. Dia benar tentang segala hal. Termasuk memberimu kesempatan. Kupikir... itu hal yang benar."
Adrian mulai memancing lagi. "Emily... dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, ya?"
Ryan mengalihkan pandangannya dan mengernyit pada Adrian. "Emily mendapatkan semua hal yang dia butuhkan."
Lidah Adrian kelu ketika nada peringatan tersirat dalam kalimat Ryan. Ia memulai lagi, namun ditatap Ryan seperti itu, Adrian yakin ini tak akan mudah. "Tidak. Maksudku... Emily... hanya seorang anak-anak yang ingin merasakan kasih sayang seorang ibu. Aku berpikir... kalau... kau tahu, William mungkin berpikir untuk—"
Adrian tersentak hingga secara refleks menginjak rem ketika Ryan memukul dasbor kuat-kuat dengan tangan kanannya yang sehat, membuat tubuh mereka terlonjak ke depan karena berhenti mendadak.
Ryan melotot pada Adrian, kemarahan tersirat jelas di matanya. Ryan sepertinya benar-benar terpancing dan mengerti betul tentang topik pembicaraan yang Adrian angkat. "Aku tidak butuh orang lain." Ryan menggeleng. "Kami tidak membutuhkan orang lain untuk menggantikan ibu. Aku tidak peduli apakah wanita itu malaikat sekali pun, aku tak mau seorang pun atau apapun menggantikan ibuku, jika itu yang kau maksudkan. Jangan buat aku menarik kata-kataku dua puluh detik yang lalu, Adrian. Aku memberimu kesempatan, semata-mata karena ibuku meninggalkan pesan. Aku bisa mengubah pikiranku dan tak peduli jika ibuku mengutukku dari surga sana. Jadi, yang jelas, kau camkan ini baik-baik, kau sekalipun tak akan pernah bisa menggeser posisi ibuku."
Tenggorokan Adrian tercekat saat kemarahan Ryan berkobar. Mengeluarkan kata-kata pun, harus ia lakukan sambil terpatah-patah. "B-bukan itu maksudku. A-aku t-tahu ibumu tak akan bisa digantikan. Hanya saja—"
Belum sempat Adrian menyelesaikan kalimatnya, Ryan telah membuka pintu dan meloncat keluar. Adrian menyumpah-nyumpah pada inisiatifnya yang justru memperburuk keadaan. Ia ikut keluar mengejar Ryan, namun anak itu terlampau cerdik. Ryan menghentikan metromini pertama yang melintas dan naik sebelum Adrian sempat mengejar. Angkutan kota itu telah melaju dan meninggalkan Adrian yang marah pada dirinya sendiri. Adrian meninju udara karena lagi-lagi ia tak punya titik yang lebih pantas untuk disalahkan selain dirinya.
* * * * *
Senyum Delia tak kunjung pudar sejak ia meninggalkan rumah sakit. Semua hal yang dikhawatirkan Delia, tidak seburuk bayangannya. Adrian menerima sang jabang bayi dengan penuh sukacita. Pria itu bahkan menyempatkan diri mencium perut datar Delia sebelum pamit untuk menemui putranya yang mengalami kecelakaan ringan. Delia sempat menawarkan diri untuk ikut menjenguk Ryan, putra Adrian, tetapi pria itu menolak dengan alasan Delia perlu banyak istirahat. Adrian bahkan sempat memanggil taksi dan berjanji akan membawa mobil Delia kembali.
Delia melangkah keluar dari lift menuju ke apartemennya. Namun langkahnya membeku saat diujung lorong, ia mengenali seorang wanita dengan gaun ketat dan penampilan glamornya. Wanita itu menatap Delia yang tengah berjalan. Delia menampakkan senyumnya untuk menyambut wanita itu. Namun alangkah terkejutnya Delia saat ia dihadiahi sebuah tamparan keras di pipi kanannya, begitu ia tiba di hadapan wanita itu.
"Kakak?" ujar Delia tak percaya seraya memegangi pipinya yang memanas.
"Kau tentu tahu tamparan itu untuk apa," kata wanita itu tajam.
Delia menelan ludah. Kini ia hanya bisa tertunduk seraya menahan sesak. Pipinya berdenyut-denyut, tapi hatinya seperti digores benda tajam jika dihadapkan kembali dengan keluarga Narendra. Dan Erdina Narendra bukan seorang yang bisa berbasa-basi untuk menyampaikan maksud.
"Kau cerai dari adikku dan tak seorang pun tahu? Kau bahkan tak berniat membicarakan ini pada Mama dan aku? Apakah kau tak pernah diberitahu tentang etika?" Erdina menyeringai sinis. "Benar. Tak ada yang memberitahumu. Tak ada yang berkewajiban untuk itu. Aku bahkan yakin kau tak punya gambaran menjadi seorang istri dan berkeluarga hingga kau menghancurkan pernikahanmu juga dengan Ardan, seperti yang terjadi pada orang tuamu."
"Maafkan aku," bisik Delia. "Aku telah berusaha—"
"Delia... Delia..." Erdina memandang Delia penuh penilaian seraya menyilangkan tangan di perut. "Kau tidak benar-benar menyesal, kan? Aku bahkan masih bisa melihat senyummu meski hari ini kau telah resmi bercerai dengan adikku."
"A-aku—"
Erdina tak memberi Delia kesempatan. "Apakah kurang yang dilakukan Mama padamu? Kau hanya harus menjaga dan mengurus Ardan dengan baik. Kau pikir berkat siapa kau bisa mendapat gelar psikologmu dan menjadi sesukses sekarang?" Erdina menyeringai sinis. "Delia... kau hanya anak buangan. Orang tuamu tak peduli padamu. Hanya Nyonya Narendra yang peduli padamu. Percayalah, Mama tak akan senang jika mendengar berita perceraianmu."
"Kakak... aku—"
Erdina menghentakkan tangan ketika Delia mulai meraihnya. Ia menatap Delia tajam. "Permintaan Mama hanya satu, Delia; tetaplah bersama Ardan. Apa itu terdengar sulit untukmu? Bukankah kau seorang psikolog? Apakah kurang yang keluarga Narendra berikan padamu? Kau hanya akan menjadi lulusan SMA dan menjadi orang pinggiran jika saja Mama tidak melirik tetangga kami yang sebatang kara!
"Kau sudah cukup lama mengenal Ardan, kau harusnya tahu betul apa yang dihadapi Ardan dan kau juga harusnya tahu bagaimana cara mengatasinya!"
Delia menggeleng. Air matanya mulai meluncur. "Aku tak bisa." Delia benar-benar tak bisa. Terlalu sulit. Ardan terlalu sulit dimengerti dan tak tersentuh. Ardan tak bisa dipengaruhi dengan ikatan pernikahan sekali pun. "A-ardan... dia—kau tak mengerti, Kakak. Sesuatu terjadi pada Ardan dan Ardan sendiri lah yang tidak ingin menolong jiwanya."
Erdina terdiam beberapa detik. Menatap Delia lamat-lamat seolah akan menelannya. Delia semakin bergidik ketika Erdina maju selangkah. Delia harus menaikkan pandangan untuk bisa menatap Erdina. "Aku nyaris mengira kau mengatai adikku gila."
Nyaris. Ardan memang nyaris mencapai titik itu sejak ia menikah dengan Delia.
"Itu bukan aku," gumam Delia berusaha mengumpulkan suaranya.
"Apa?"
Delia menundukkan kepalanya. "I-tu bukan aku. Lia yang dimaksud bukan aku. Lia bukan lah Delia."
"Apa yang kau bicarakan?"
Mengumpulkan keberaniannya, Delia menatap Erdina. Delia tak peduli apakah dirinya akan dikatai membual atau apapun, ia hanya ingin mengatakan yang sebenarnya. "Ardan tak pernah di sini bersamaku. Ia selalu bersama kekasihnya. Lia. Ardan menyebut nama wanita itu siang-malam. Dia semakin parah daripada saat mama mengenalkannya padaku. Dia hanya mabuk, dia jadi pemarah, dia tak pernah menganggapku ada! Kau pikir ini semua karena siapa?! Aku mencintai Ardan, tapi... tapi..." Delia berusaha meredakan sesaknya untuk melanjutkan, sementara Erdina memusatkan diri pada cerita Delia. "Lia... Emilia... Aku tak tahu siapa wanita itu. Dia lah yang merebut Ardan dariku!"
Delia pikir Erdina menyemburnya dengan caci maki. Delia pikir akan ada tamparan lain yang mendarat di pipinya. Namun Delia sangat terkejut ketika Erdina menyumpah-nyumpah.
"Dasar brengsek! Wanita jalang itu!"[]
Udah dapet gambaran dari sini? Jangan tanya ini cinta segi berapa. Nanti di ending aja kita review ya guys :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top