SF - BAB 24
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Adrian kembali ke rumahnya, setelah menghabiskan malam bersama Delia. Ketika Adrian membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci, ia mendengar suara tawa yang menggema ke seluruh ruangan. Yang Adrian tahu, itu adalah suara tawa Ryan dan hati Adrian menghangat ketika mendengar itu. Ia tidak pernah mendengar suara tawa putranya dan kesempatan kali ini tentu sangat langka.
Adrian melangkah masuk dan menuju ruang utama. Di sana ada Nana dan Ali yang sedang duduk berhadapan dengan putranya di sofa. Ryan terlihat lepas sekali ketika bicara dengan mereka.
Nana mengangkat wajah dan mengangguk sopan pada Adrian, membuat Ryan mengalihkan pandangannya dan seketika tawa itu sirna. "Selamat malam, Tuan."
Adrian membalas Nana dengan anggukan, namun tiba-tiba Ryan berdiri dan berlari ke lantai dua. "Ryan!" panggil Adrian.
Ryan tidak menghiraukan Adrian sama sekali. Sehingga hanya helaan napas untuk memupuk kesabaran lah yang bisa dilakukan Adrian.
"Apakah Ryan sudah makan malam?" tanya Adrian pada Nana.
"Sudah, Tuan. Tuan Ryan menyukai nasi goreng. Katanya, itu pertama kalinya dia memakan makanan Indonesia."
Adrian tersenyum. Mengangguk pada Nana dan Ali ketika mereka undur diri. Adrian naik ke lantai dua, menuju kamar Ryan. Ia mengetuk sekali pintu kamar Ryan, tanpa menunggu jawaban dari dalam, karena ia tahu, Ryan tidak akan menghiraukannya. Jadi Adrian langsung masuk ke kamar Ryan dan melihat putranya itu sedang naik ke ranjang dan bersiap menarik selimut.
"Kau tidur pukul sembilan?"
Ryan tidak menjawab dan menjatuhkan tubuh ke ranjang.
"Apakah kau akan mendiamkanku terus seperti anak sepuluh tahun?"
"Kau bahkan tidak tahu seperti apa aku saat aku sepuluh tahun."
"Bukan itu maksudnya—"
"Tentu itu maksud dari semua pembicaraan sialanmu!" tukas Ryan. "Pergilah. Aku mau tidur. Kuharap kau menepati janji untuk membawaku pada Paman Dave. Aku sudah terlalu lama di sini, berbaik hati mengantarmu pulang ke Indonesia, lebih murah hati daripada anak yang delapan belas tahun hidupnya tidak diinginkan oleh ayah kandungnya hanya untuk mencegahnya dibunuh."
"Ryan, sampai kapan kita akan terjebak dalam suasana seperti ini?"
Ryan bangkit dari posisinya dan memasang wajah tak senang. "Kita tidak terjebak, Adrian. Inilah yang seharusnya terjadi. Berhentilah berharap aku akan menganggapmu ayahku, karena kau bukan. Hubungan kita tidak baik-baik saja dan pikirmu siapa yang mendalangi ini semua?"
Adrian hanya diam.
"Itu kau! Kau yang membuatku seperti ini!" bentak Ryan. "Jangan mengira semuanya baik-baik saja setelah apa yang kau lakukan padaku dan ibuku!"
"Aku minta maaf. Jika ada cara aku bisa menebus semuanya—"
"Tidak ada caranya!" hardik Ryan. "Selamanya akan tetap seperti ini!"
Adrian menggeleng. "Kau tidak sungguh-sungguh dengan ucapanmu."
"Pergilah, brengsek!"
Adrian hanya menghela napas dan membiarkan putranya istirahat. Setelah pintu tertutup, Adrian menatap nanar pada pintu kamar Ryan. Ia kehabisan ide untuk memperbaiki segalanya ketika Ryan berkata tak akan ada yang berubah selamanya. Adrian berada ujung tanduk keputus-asaannya. Nyaris. Ia tak mendapat petunjuk dari mana pun. Ia juga tak mendapat dorongan dari manapun meski suara Delia dan Emilia di benaknya sangatlah tersirat. William berkata bahwa Ryan lebih mirip dirinya dari Emilia. Tetapi tak satu pun kepribadian Ryan yang ia mengerti. Yang Adrian tahu, anak itu hanya dipenuhi kebencian yang memang pantas Adrian dapatkan.
Adrian mengeluarkan ponsel dan kartu nama di dompet yang hampir sebulan ia simpan. Tenggang waktunya sebentar lagi dan Adrian tidak boleh egois meski ia sangat ingin Ryan lebih lama berada di sini. Bagaimanapun, Adrian harus menepati janjinya pada Dave, Ryan, dan William.
Adrian mengirim pesan ke nomor ponsel pribadi Dave yang memberitahukan bahwa Ryan sudah berada di Indonesia dan Adrian akan membawa Ryan besok.
Balasan itu datang beberapa menit kemudian,
Bagus. Besok, pukul 9. Datanglah ke alamat yang tertera pada kartu. Aku sudah menyiapkan semuanya.
Pukul 9? Tinggal berapa jam lagi kebersamaannya dengan Ryan? Adrian berharap bisa menghabiskan waktu mereka bersama-sama, tapi sepertinya Ryan tak akan mengijinkan. Adrian hanya pasrah jika Dave akan mengambil Ryan darinya karena Ryan pun belum sepenuhnya menjadi milik Adrian.
* * * * *
Suasana mobil menjadi hening selama berjam-jam perjalanan Ali, Adrian, dan Ryan dari Jakarta ke Bandung. Ryan memilih sibuk dengan ponselnya di kursi belakang penumpang, sementara ketika Adrian bicara pada Ali, mendengar suara Adrian saja anak itu malas.
Cabang Lazuardi Realty yang berada di Bandung tidak sebesar yang di Jakarta. Tapi tetap saja, perusahaan properti yang cukup nama di negara ini terlihat cukup mencolok di pusat kota. Ketika Adrian menyebutkan namanya dan Ryan, mereka dibimbing masuk lebih dalam ke kantor itu. Mereka tidak ditujukan ke ruang direktur utama, namun ke arah ruangan yang lebih luas yang Adrian kira adalah ruang pertemuan. Kini ruang pertemuan itu telah disulap dengan banyak dekorasi dan hidangan.
"Dia besar-besaran untuk kedatanganmu," kata Adrian pada Ryan tanpa balasan.
"Ryan!" teriakan seorang gadis kecil yang berumur sekitar sembilan tahun, membuat Ryan melongo dan tersenyum lebar.
Ryan membuka tangan untuk gadis itu dan gadis itu menerjang Ryan untuk sebuah pelukan. "Angela!"
"Aku merindukanmu," kata gadis bernama Angela itu.
Di belakang Angela, terlihatlah Dave tengah menggandeng wanita yang terlihat kalem dan anggun. Dave pun terlihat gagah dengan setelah mahalnya.
"Paman Dave! Bibi Talitha!" seru Ryan.
Adrian harus menelan keiriannya ketika Dave mendapat pelukan akrab dari Ryan yang tak pernah Adrian dapatkan. Adrian mengangguk sopan pada Talitha, wanita itu pun membalas sopan.
"Kau berhasil," kata Dave sambil menjabat tangannya.
"Aku bisa membuatnya tidak berhasil," cibir Ryan.
"Aku lebih berharap begitu." Dave mengedipkan matanya pada Ryan. "Aku lebih senang membunuhnya daripada melihat wajahnya di sini."
Adrian berusaha tenang karena ia memang tak akan menang di sini. "Aku hanya mengantar Ryan sesuai dengan janjiku."
"Silahkan duduk," kata Dave membuka tangannya ke meja melingkar yang Adrian pikir untuk pertamuan lima orang, kursinya terlampau banyak. "Aku sudah menyiapkan semuanya. Tentu kalian tidak keberatan dengan makan siang, kan?"
"Ada makanan Amerika jika kau tidak suka dengan makanan Indonesia," kata Angela.
"Aku suka makanan Indonesia. Tenang saja," jawab Ryan pada Angela.
"Aku mau pipis," kata Angela.
"Ayo kuantar," tawar Ryan. Gadis itu mengangguk semangat dan berlalu lah mereka berdua. Meninggalkan Talitha yang sibuk dengan pelayan yang menyiapkan makan siang. Sementara suasana mencekam terjadi di antara Dave dan Adrian.
"Jadi..." Dave memasang wajah penuh kontrol pada Adrian. "Aku tidak melihat kedekatan kalian."
Adrian tahu bahwa Dave mengacu pada hubungannya dan Ryan. "Delapan belas tahun itu bukan waktu yang sebentar."
"Oh, baguslah jika kau mengerti itu. Pasti berat, ya? Bagimu? Bagi Ryan? Aku kecewa dengan keputusan William yang memaksa Ryan. Aku lebih suka menghabisimu dengan tanganku."
Bagus. Setelah Derian dan putranya sendiri yang berhasrat menyingkirkannya, Adrian kini punya orang lain yang perlu ia waspadai. Tapi Adrian tak ambil pusing soal itu
"Kau tahu keputusan William?" tanya Adrian, menetralisir.
"Tentu. Hubungan kami baik sebagai seorang ipar. Kami sama-sama punya Ryan dan Emily yang menjadi tanggungan dan mereka berdua masih ada hubungannya dengan Emilia. Mereka tetap bagian dari Lazuardi, meski ayahku tidak berpendapat begitu."
Mengangkat wajahnya, Adrian menatap Dave lekat-lekat. "Emilia sudah meninggal empat tahun yang lalu. Kenapa kau tidak memberitahuku?"
Dave menyeringai. Ia memajukan tubuhnya. "Untuk apa? Aku lebih suka kau mengetahui kenyataannya sendiri. Pasti kau gila-gilaan ketika mendengar itu. Tidak cukup menyakitkan dibanding aku sebagai kakaknya yang terpisah dengan adik tercintaku selama empat belas tahun, bahkan mengiranya sudah mati. Lalu ketika aku baru saja menemukannya, ia direnggut begitu saja tanpa pertanda apapun."
"Aku tetap mencintai Emilia meski sudah delapan belas tahun."
"Omong kosong." Dave tertawa. "Aku tak mendengar satu pun cerita dari Emilia bahwa keberadaanmu tercium selama itu. Kau menutup diri, Salendra. Jika kau mencintai Emilia, bukan itu yang seharusnya kau lakukan."
Dave memundurkan tubuhnya dan menatap Adrian seolah menilai musuh. Saat itu juga Adrian tahu bahwa hubungan mereka tak akan pernah baik-baik saja tanpa melepas masa lalu. Dave mengangkat gelas berisi anggur pekat dan menyesapnya sebelum berkata. "Tapi Emilia sudah bahagia. William ikhlas. Aku merelakannya. Ryan punya nama belakang yang tepat, kehidupan layak. Dan sepertinya, takdir barunya sudah menunggu di depan mata tanpa aku bersusah payah."
Adrian mengernyit memahami maksud Dave.
Pria itu menyeringai dan terkekeh, bahkan tawanya belum sepenuhnya reda ketika istrinya yang sangat anggun menempatkan diri di sampingnya. "Beritahu aku, Adrian, bagaimana pandangan Satya Salendra tentang putra sulung pertama dalam silsilah?"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top