SF - BAB 23 (Rated)

Warning! Mature content.

Pelukan Adrian begitu erat hingga membuat Delia bernapas putus-putus. Tangan Adrian merambat dari payudara Delia ke perutnya, ke pinggulnya, dan berakhir di kait belakang setelan Delia. Hembusan napas terdengar berat ketika Adrian menurunkan ritsleting rok spannya. Kaki Adrian menendang-nendang rok itu hingga terlepas dari tempatnya. Kini tinggal lah Delia dengan celana dalamnya saja.

Adrian menarik ujung dagu Delia dan membawa bibir Delia ke bibirnya. Lidah lihai yang mengeksplorasi rongga mulut Delia. Jemari tegas yang mengabsen setiap inci bagian tubuhnya.

Seumur hidup Delia, ia tak pernah merasa secantik ini.

"Kau sangat manis," bisik Adrian. Membuat Delia merona setiap kali Adrian memujinya. "Lucuti aku, Sayang."

Delia hanya menautkan matanya pada Adrian. Tangannya berada di dada bidang Adrian. Dari sentuhan ini, Delia bisa merasakan getaran dada Adrian ketika jantung berdegup kencang. Delia merasakan Adrian, secara utuh dan nyata.

Adrian menggeram hingga dadanya bergemuruh. Ia meraih tangan Delia dan membawanya ke bagian di antara pahanya yang masih tertutup namun penuh. Delia berusaha menarik tangannya karena malu memegang barang Adrian, meski masih tertutup; tetapi Adrian menahan tangannya. "Aku menginginkanmu."

Delia melihat gairah di mata gelap Adrian. Mata itu kini terbakar api pemujaan ketika menelusuri tubuhnya. Mata itu menjelma seperti predator yang siap menangkapnya. Delia bergidik seperti seekor mangsa yang tidak bisa melakukan apa-apa.

"Bercintalah denganku," bisik Adrian di lehernya.

Belum sempat Delia menjawab, mulut Adrian telah beralih ke bongkahan daging kenyal di dadanya. Adrian melahap seperti orang kelaparan. Jemari panjangnya berkonsentrasi di ujung celana dalam, hanya untuk menyusup lebih jauh. Punggung Delia melengkung ketika jari dan mulut Adrian mempermainkannya.

"Adrian!" jerit Delia. Tangannya mulai mencakar punggung Adrian karena tak sanggup menahan kenikmatan yang sedang menerjangnya. Harusnya Delia tahu, ini terlalu jauh dan ini tak baik untuk dirinya. Namun yang ia lakukan justru menikmati setiap perlakuan yang Adrian berikan. "Aku ingin..."

"Berikan padaku, Delia sayang," desis Adrian di dadanya. Tangan bebas Adrian memelintir putingnya yang menegang, lalu jutaan kembang api meledak di kepala Delia saat gelombang itu datang menerjang tubuhnya hingga bergetar.

Adrian menutup orgasme pertama Delia dengan sebuah ciuman di bibir. Tetapi permainan belum selesai. Adrian hanya memberi Delia semenit untuk menikmati orgasmenya, sementara Adrian kini bersiap menjulang di atas Delia dan membebaskan kejantanannya.

"Aku menginginkanmu," kata Adrian. Delia masih diam saja ketika tubuh berkeringat Adrian mendekat padanya dan tangan Adrian sibuk meloloskan kain pelindung terakhirnya. Tangan Adrian di pinggulnya, dan ia berkata, "Berbalik, Sayang. Kau akan menyukai ini."

Adrian membantu Delia membalikkan tubuh. Kini pantat mulus Delia terekspos hanya untuk Adrian. Lidah Adrian menyusuri punggung Delia, membuat wanita itu mendesah, mengerang, dan terengah-engah. Ketika kejantanan Adrian menempel pada celah licin Delia, wanita itu pun menjerit. "Sangat cantik," puji Adrian.

Delia merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat ketika Adrian menggodanya dengan menggesek saja. Tanpa sadar, Delia pun mengikuti lantunan permainan Adrian dengan memaju-mundurkan pinggulnya.

"Jangan bergerak, Sayang. Atau aku tidak akan bertahan lama."

"Adrian... kumohon..."

"Sebentar," desis Adrian. Ia menempatkan diri di depan celah Delia. "Sebentar lagi." Lalu pinggulnya maju untuk melesak ke dalam mengejar liang kenikmatan, hingga Delia berteriak saat penyatuan itu terjadi. "Sial."

"Adrian!"

"Kau sangat sempit, Delia." Adrian memulai perlahan gerakan pinggulnya. Delia bisa merasakan otot-otot kewanitaannya yang menyempit dan meregang, konstan dan berulang-ulang, membuat Adrian menggeram. "Ini nikmat sekali."

Delia mengikuti tempo permainan Adrian. Keringat bercucuran meski pendingin menyala. Suara desahan bersahutan tidak serta merta membuatnya malu, untuk saat ini. Yang Delia inginkan hanya terus bergerak untuk mencapai puncak keduanya.

Adrian mempercepat gerakan pinggulnya. Tangannya meraih mencari-cari payudara Delia. Tangan lainnya melesak memberi pijatan pada klitoris Delia. Dalam beberapa detik yang menggairahkan, akhirnya keduanya mendapatkan pelepasan. Teriakan ketika kenikmatan itu menerjang bersahut menjadi satu. Mereka jatuh di ranjang yang sama. Tanpa melepas penyatuan mereka, Adrian menarik Delia dalam pelukannya. Dan mereka pun tertidur dengan perasaan puas dan bahagia.

* * * * *

Adrian terbangun karena merasakan dingin menerpa kulitnya. Ketika Adrian mengerjapkan mata dan memroses sekitar, barulah ia teringat bahwa ia berada di apartemen Delia, di ranjang Delia, setelah percintaan mereka yang sangat menggairahkan.

Adrian merasakan Delia yang masih tertidur dengan gelisah, menggeliat, dan menggigil di pelukannya. Ia menarik selimut untuk menutup tubuh telanjang mereka. Delia pun menyusupkan diri ke pelukan Adrian lebih dalam.

Ya Tuhan, wanita ini sangat cantik dan Adrian merasa wajar saja jika dirinya mulai gila dan membayangkan Delia setiap saat. Selain cantik, wanita ini juga membawa pengaruh positif baginya, wanita karir yang mandiri dan hebat, serta sangat responsif ketika mereka melakukan hubungan seks.

Adrian tak habis pikir, bagaimana ia tak melihat Delia sebelumnya seperti sekarang ini. Tiga tahun seperti berlalu tanpa apa-apa dan membuatnya berakhir pada kegilaan yang tak berujung. Padahal selama ini yang dibutuhkannya hanya wanita ini.

Di luar langit hampir gelap dan langit mulai menebar semburat senja. Adrian bangkit dari ranjang dan memakai kembali boxer dan celana jinsnya yang menggantung di ujung tungkai. Ia meraih kemeja yang teronggok di lantai dan mengenakannya dengan cepat. Menyematkan satu ciuman di kening Delia dan menatap wanita itu sekali lagi.

Ia meraih kertas terdekat dan menyambar pulpen, menulis pesan bahwa Adrian mempunyai urusan yang harus diselesaikan dan akan kembali saat makan malam. Diletakkannya catatan itu di bantal samping Delia tidur. Wanita itu menggeliat ketika Adrian memberi usapan terakhir sebelum akhirnya meninggalkan apartemen Delia.

Lima menit kemudian Adrian telah berada di resepsionis lantai dasar. Petugas resepsionis itu masih wanita yang sama dengan wanita yang berbicara dengannya empat tahun lalu, tapi Adrian tak yakin jika wanita itu masih mengingatnya.

"Selamat sore," sapa Adrian.

"Selamat sore," sahut wanita itu. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Saya pemilik apartemen nomor 402. Saya lupa membawa kunci dan saya ingin meminjam cadangannya. Tidak akan lama."

"Atas nama siapa? Boleh saya meminta tanda pengenal Anda?"

Adrian mengambil dompet sakunya dan mengeluarkan SIM. "Adrian Salendra."

Wanita itu mengotak-atik komputer dan mencocokkan dengan tanda pengenal Adrian. Lalu kembali pada Adrian. "Anda juga meminjam kunci sekitar empat tahun yang lalu, benar?"

"Kira-kira begitu." Adrian mengendikkan bahu.

Wanita itu tersenyum lalu meminta Adrian menunggu sebentar sementara wanita itu berbicara pada rekan prianya. Kemudian pria itu pun melesat ke kantor.

Lima menit menunggu, pria itu datang dan memberikan kunci pada Adrian. Adrian mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia kembali naik ke lantai empat dan memasuki apartemen nomor 402.

Suasana pengap menyapa Adrian ketika memasuki ruangan itu. Satu-satunya lampu yang Adrian ingat memang ia hidupkan sepertinya tidak bertahan selama empat tahun karena ruangan itu kini gelap gulita.

Adrian meraba dinding dan menyalakan saklar lampu lainnya. Lampu ruang utama menyala menampakkan keseluruhan isi apartemen sederhana itu. Apartemen yang penuh sentuhan warna biru dan putih. Apartemen yang sudah lama tak ia tinggali. Apartemen yang menyimpan banyak kenangannya bersama Emilia.

Wajah Emilia terpasang di sepanjang dinding apartemen ini, karena ketika awal kepergian Emilia, yang Adrian lakukan hanya mencetak banyak-banyak foto kenangan mereka dan memajangnya di dinding. Tempat ini adalah tempat Adrian dan Emilia menghabisakan waktu mereka. Tempat ini adalah tempat mereka pulang dan saling mencurahkan hati satu sama lain. Apartemen ini adalah segalanya tentang Emilia.

~

"Membayar uang sewa lagi, ya?" tanya Emilia pada Adrian kala itu. "Kau hanya menghabiskan uangmu untuk membayar tempat ini."

Adrian tersenyum. "Karena aku belum cukup uang untuk membeli tempat ini, Sayang."

"Aku membayangkan bagaimana jika kita keluar dari tempat ini dan orang lain yang menggantikannya. Kupikir aku tak akan rela. Kau tahu, kita berdua yang mengecat tempat ini."

"Kau tak rela mereka mengganti catnya?"

Emilia menggeleng. "Bukan hanya itu. Aku tak rela orang lain menghapus kenangan kita. Meski tempat ini kecil, tempat ini berarti sesuatu. Aku tak keberatan dengan tempat kecil namun menyimpan banyak kenangan bersamamu."

"Aku akan terus membayar uang sewa, kalau begitu."

"Tetap saja," Emilia merengut. "Tempat ini sangat mahal untuk ukuran remaja seperti kita. Cepat atau lambat, uangmu akan habis untuk membayar uang sewa."

"Kalau begitu aku akan berusaha agar tempat ini tak akan digantikan orang lain. Aku akan membelinya ketika uangku nantinya cukup. Barang pertama yang akan kubeli dari jerih payahku adalah cincin dan yang kedua adalah tempat ini."

Emilia mengernyit. "Cincin?"

Adrian memajukan wajahnya. Mencolek hidung Emilia denga hidungnya. "Memilikimu adalah yang nomor satu, Sayang."

Emilia tersenyum lebar dan selanjutnya hanya ada ciuman mesra yang penuh cinta oleh mereka berdua.

~

Adrian tersenyum ketika mengingat momen itu. Itu sebabnya Adrian membeli apartemen ini ketika uangnya sebagai pemain bola cukup. Adrian tak pernah mengganti cat atau tata letak setiap barang yang ada di tempat ini karena Adrian yang menatanya bersama Emilia.

Tapi kini Emilia sudah pergi. Emilia tidak di sini lagi. Emilia bukan miliknya dan yang ada di antara mereka hanya kenangan. Adrian tak bisa selamanya berada di titik ini dan membiarkan hidupnya terjebak di masa lampau. Adrian ingin melanjutkan hidup dan berjalan ke depan. Ia tidak ingin melupakan Emilia, namun sudah saatnya ia melepas Emilia.

Adrian mungkin bisa mengukir masa depan lainnya, dengan Ryan, dengan wanita lain yang mungkin akan singgah di hatinya. Adrian menatap wajah Emilia yang tersenyum, yang menciumnya, yang tertawa dalam gendongannya. Ia merindukan Emilia hingga rasanya sakit. Tempat ini bisa membuatnya sakit, hingga Adrian jarang mengunjunginya. Terakhir kali ia mengunjungi tempat ini karena suatu barang tertinggal dan tempat ini mengungkit seluruh memorinya tentang Emilia. Tempat ini yang menjadi bibit kegilaannya selama tahun-tahun belakangan.

Adrian meraih dompet dan mengeluarkan cincin Emilia. Ia menuju ke laci di mana ia ingat pernah meletakkan kotak beludru, tempat cincin ini dulunya. Meletakkan kembali cincin itu ke asalnya dan meletakkan kotak terbuka itu di laci tersebut. Menatap sekali lagi cincin tersebut, Adrian tersenyum, lalu menutup laci.

Ia mengambil bingkai dan mengeluarkan foto mesranya bersama Emilia ketika mereka di pantai. Menyematkan foto tersebut di dinding bersama gambar lain dengan lekatan solatip. Menggunakan bingkai tadi untuk foto cantik Emilia bersama Ryan, putra mereka. Adrian tersenyum ketika menempatkan foto itu di nakas ruang utama. Helaan napas terakhir ia hembuskan sebelum mematikan saklar dan melangkah keluar.

Sudah saatnya Adrian mengatakan selamat tinggal pada cinta pertama dan cinta terbaiknya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top