SF - BAB 15

Hal pertama yang direkam oleh indra Adrian adalah aroma familiar yang menyebalkan. Bau obat-obatan menguar bukan hanya sepintas, namun merebak memenuhi udara. Kemudian pendengarannya perlahan mulai berfungsi. Awalnya hanya suara sayup-sayup namun kini terdengar jelas, bahkan sekarang suara itu membesar. Itu sebuah bentakan.

"Apa yang ada di pikiranmu?!" teriak seorang pria. Adrian mendengar jelas bahwa suara itu terlalu berat, maka ia mengasumsikan itu adalah suara orang dewasa. "Kau hampir membunuhnya! Tulang rusuknya hampir patah dan dia mengalami pendarahan! Dia bisa saja tidak selamat kalau kita terlambat semenit saja!"

Suara muak baru saja terlontar, dan Adrian tahu betul bahwa itu adalah suara Ryan. "Itulah yang kuinginkan! Itu tujuannya! Aku memang ingin membunuhnya!"

"Kau ingin terlibat masalah, Nak?! Kau dalam masalah besar jika kau bercita-cita menyandang gelar pembunuh di usia delapan belas tahun."

"Aku tak peduli!" bentak Ryan. "Yang kupedulikan adalah aku ingin membalas apapun yang ia lakukan padaku dan ibuku selama ini!"

"Kau tahu ibumu tak akan senang soal ini. Kau pikir ini yang diharapkannya? Anak lelakinya berubah menjadi kriminal?"

"Aku tak peduli, Ayah," desis Ryan.

Pria itu mendesah. "Ini menggelikan, tapi aku yang secara resmi memberimu ijin berlatih Krav Maga, sekarang mulai khawatir dan nyaris menyesalinya. Aku mengijinkanmu mempelajari itu untuk perlindungan diri, bukan untuk membunuh!"

"Ini tak ada hubungannya dengan Krav Maga!" hardik Ryan. "Aku bahkan tak menggunakan satu teknik pun yang telah kupelajari. Aku hanya... memukulinya saja."

Pria itu menghela napas. "Aku paham kenapa kau sangat marah. Tapi kumohon, mengertilah, jangan tempatkan dirimu dalam masalah. Kau adalah putraku dan aku tak mau kehilangan lagi."

Keheningan terjadi setelahnya. Dalam hati Adrian berkecamuk berbagai macam penyesalan yang dulunya hanya ingin ia hindari, namun sekarang telah menjadi nyata. Putranya membencinya. Bahkan tak pernah terpikir oleh Adrian bahwa Ryan akan berusaha membunuh ayah kandungnya dengan tangannya sendiri.

Sungguh, bukan karena tulangnya yang patah atau organnya terkoyak sehingga ia merasakan sakit. Tubuhnya hanya kebas, namun hatinya luar biasa sakit.

Adrian ingin pergi sekarang juga supaya putranya puas, supaya segala kesalahan Adrian bisa tertebus. Namun maut pun masih saja enggan menghampiri Adrian meski ini adalah masa kritis Adrian yang ke sekian-sekian kalinya.

Alih-alih melayang, jiwanya justru terikat kembali dengan tubuhnya. Adrian mengerjapkan mata dan mendapati cahaya yang sangat terang di atas kepalanya. Ia berusaha menggerakkan kepalanya untuk menelaah sekitar namun rasanya seluruh otot lehernya mati. Ia menggerakkan jari tangan dan kakinya namun Adrian tak punya banyak tenaga hanya untuk mengetes otot geraknya.

Kasak-kusuk suara Ryan kembali terdengar. Adrian yakin putranya masih di sekitar sini. Ia ingin melihatnya. Ia ingin meminta maaf karena Adrian belum sempat mengucapkannya.

"Dia itu ayahmu, kau tahu," kata pria itu.

"Aku tak ingat jika aku punya ayah seperti dia!" kata Ryan dengan ketus. "Apa yang ada di pikirannya?! Datang setelah usiaku delapan belas tahun dan mengaku bahwa dia ayahku?! Dia pasti bermimpi jika berharap aku memeluknya seolah aku merindukannya selama bertahun-tahun."

Adrian meneguk ludah ketika mendengar itu. Air matanya meluncur dan Adrian tak punya nyali untuk mengusapnya. Ia tak mau Ryan tahu bahwa dirinya mendengar ini. Adrian tahu kata-kata lebih kasar akan terlontar jika Ryan tahu ia mendengar.

"Aku mengerti perasaanmu," kata pria itu. "Aku juga tak merasakan kasih sayang ayah kandungku, kau tahu. Aku, Mike, dan Tery tak lebih beruntung darimu. Bahkan hingga ayah kami meninggal, mereka masih saja tak mau bicara pada kami. Mereka terus menerus menjadi seorang bajingan dan mereka baik saja dengan itu. Tapi... ayahmu di sini sekarang. Aku tak tahu apa tujuannya, tapi dia menghampirimu, Ryan. Itu berarti sesuatu."

"Kenapa kau tak marah padanya? Dia telah menyakiti ibuku selama bertahun-tahun. Dia adalah alasan setiap penderitaan yang aku dan ibuku rasakan."

Dada Adrian bergemuruh mendengar itu. Sungguh, saat ini yang ingin ia lakukan adalah memohon maaf pada Emilia dan Ryan dengan cara apapun. Adrian akan melakukan apapun meski keduanya tak akan memaafkan Adrian dengan mudah. Tapi tubuh sialannya justru terbaring tak berdaya di sini hanya karena pukulan-pukulan yang seharusnya memang pantas ia dapatkan.

"Aku memang marah pada Adrian," kata pria itu. "Mungkin hal pertama yang akan kulakukan saat melihatnya adalah meninjunya, seperti yang kau lakukan. Tapi melihat dia di sana, kurasa itu sudah lebih dari cukup. Dia di sini pasti karena suatu alasan. Kau tidak bisa egois dan memutuskan sepihak. Kau harus mendengarnya, Nak. Dia pantas mendapatkan kesempatan."

Kesempatan.

Itu adalah barang yang sangat mahal bagi Adrian. Rasanya seperti angan-angan yang sulit teraih mengingat yang dilakukan Adrian selama ini. Adrian mengepalkan tangannya demi menahan sesak di dadanya. Namun suara berjengit terdengar dan sebuah wajah hadir di depan Adrian.

Seorang pria dengan rambut pirang gelap yang sewarna dengan milik Ryan, tengah tersenyum pada Adrian. Mata birunya sangat mencolok. Namun wajah ramah itu tetap tak kehilangan kesan tegas nan kebapakannya. Kentara sekali bahwa pria itu adalah orang yang menyenangkan. "Kau sudah sadar. Sebentar, biar kupanggil perawat."

Beberapa menit kemudian pintu terbuka dan seorang perawat mendekati Adrian. Perawat itu mengecek setiap alat yang tertempel pada tubuh Adrian, menyorotkan senter ke mata Adrian, dan mencatat seluruhnya pada kertas yang di bawanya.

"Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" tanya pria itu.

"Sejauh ini saya kira baik. Kita tinggal menunggu pemeriksaan dari dokter, tapi saat ini dokter sedang tidak ada di tempat."

"Syukurlah."

"Apa Anda merasakan sakit?" tanya perawat itu pada Adrian. "Cukup anggukkan kepala atau gerakan jari sedikit jika bisa."

Adrian mulai merasakan otot lehernya yang berfungsi. Ia mengangguk. "Sa-kit."

"Hati-hati," kata perawat itu. "Rusuk Anda retak. Jangan terlalu banyak bergerak."

Adrian menganggukkan kepalanya lagi.

"Baiklah. Kalau begitu saya permisi. Begitu dokter datang, saya akan mengatakan keadaan Anda, Tuan."

"Terima kasih," kata pria itu. Lalu setelah perawat itu pergi, ia beralih pada Adrian. "Hai... Kau ingin sesuatu?"

Satu-satunya jawaban pun di lontarkan Adrian karena memang ini lah yang diinginkannya. "Em-lia... Ryan..."

Pria itu tersenyum segaris. "Ryan ada di sini, tapi Em tidak di sini."

Adrian mengernyit ketika mendengar itu. Bukan si kecil yang ia inginkan. Ia ingin Emilia-nya. "Em-mi-lia..." ucap Adrian sebisa mungkin dengan suara lemah.

"Aku yakin dia baru saja menggumamkan nama ibu, bukan Emily," kata Ryan ketus.

Pria itu berbalik sejenak pada Ryan. "Persis seperti yang kumaksudkan. Apakah jawabanku terdengar menyimpang?" Ia kembali lagi pada Adrian dan berusaha tersenyum. "Adrian... istirahatlah. Kau belum sembuh betul. Kau baru saja melewati masa kritismu."

"Ku-mohon..." desis Adrian. "Em-lia..."

Pria itu meneguk ludah dan menunduk. Tak mau memandang Adrian. "Adrian... Emilia tak ada di sini. Ia sudah pergi."

Pergi?

Pria itu mengangkat wajah dan kini air matanya meluncur. Meski begitu, senyum masih tersemat di sana. "Emilia sudah pergi. Ia meninggal empat tahun lalu saat melahirkan Emily, putri kami."

Telinga Adrian berdenging menyakitkan. Ia tak mendengar apapun selain dengung statis. Sementara memorinya terlempar ke banyak momen yang pernah ia dan Emilia lakukan bersama. Masa bahagia mereka. Masa ketika Adrian mendekati Emilia sebagai seorang sahabat. Masa di mana Emilia menerima cintanya. Ketika Emilia mengucapkan banyak sumpah demi cinta mereka. Ketika Emilia menjadi satu-satunya alasan Adrian untuk bertahan.

Kini alasan itu pergi dan Adrian sudah terlambat.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top