SF - BAB 14
Adrian menatap dirinya sendiri yang sedang termenung. Adrian berkaca. Adrian tengah menatap pantulannya sendiri yang terlihat serius mengamati. Sosok di depannya berkedip, tapi Adria bersumpah ia tidak sedang berkedip sedetik tadi.
Adrian menatap dirinya sendiri kebingungan. Namun ketika Adrian mengernyit, sosok itu justru tersenyum. "Derian?" tanya Adrian untuk memastikan. Satu-satunya orang yang identik dengannya adalah kembarannya.
Sosok itu menggeleng dan senyumnya melebar. "Aku Ryan."
~
Adrian terbangun seketika. Bahkan ia spontan terduduk di ranjang yang tak ia kenali. Perlu semenit bagi Adrian untuk mengumpulkan kembali nyawanya dan menyadari di mana tempatnya berada.
Oh, Adrian ingat. Ia sedang berada di kamar hotel yang ia sewa setelah penerbangan lebih dari dua puluh jam yang ia tempuh demi mencari alamat yang Dave berikan. Ia tertidur dengan kemeja dan celana jinsnya yang masih utuh karena ia tak sempat menggantinya akibat terlalu lelah. Di perjalanan, Adrian sama sekali tak bisa memejamkan mata karena otaknya memaksa untuk berpikir. Kegugupannya tak kunjung surut sejak ia bertekad terbang ke Amerika untuk menemukan Emilia dan Ryan.
Ini pula sebab Adrian mendapatkan mimpi aneh barusan. Ia terlalu banyak menerka seperti apa putranya dan Emilia. Ke manakah anak itu menjiplak sifat dan fisik? Meskipun Adrian berharap Ryan lebih mirip Emilia supaya menjadi pribadi yang baik, namun Adrian tak bisa menutupi bahwa ia mengharapkan adanya kesamaan antara Ryan dan dirinya.
Sedikit saja. Bakatnya bermain bola, misalnya.
Jam di nakas hotel menunjukkan waktu pukul delapan pagi. Adrian mengira-ira kapan hendaknya ia akan mencari alamat itu. Kemudian ia teringat lagi dengan pesan Delia supaya menghadapi saja apapun yang terjadi. Meski Adrian punya banyak alasan untuk merasa khawatir, namun sebaiknya ia berpikir positif seperti yang Delia katakan.
Benar. Adrian sudah di sini. Untuk apa ia melarikan diri lagi?
* * * * *
Taksi yang ditumpangi Adrian berhenti di sebuah rumah besar berwarna putih yang terlihat bersih dan asri. Adrian tak yakin, namun sang sopir taksi yang mengantarnya mengatakan bahwa di sinilah alamat yang ditunjukkan Adrian.
Jantung Adrian berdegup kencang saat mengamati rumah itu dari balik kaca. Ia benar-benar tak siap untuk ini. Apa sih yang dipikirannya sampai memburu Emilia sejauh ini? Bisa jadi yang dikatakan Dave benar, Emilia sudah bahagia dan Adrian tak perlu lagi mengganggunya.
Baiknya Adrian meminta sopir itu melaju saja, kan?
Tapi yang dilakukan Adrian justru mengambil lembar dolar di dompetnya dan memberikannya pada sang sopir taksi. Adrian keluar dari taksi itu dengan linglung seolah kakinya mempunyai pikirannya sendiri. Adrian membuka pagar kayu bercat putih itu dengan mudah. Kakinya melangkah gontai ketika menapaki teras rumah lalu menaiki beberapa anak tangga di beranda. Jantungnya berdetak hingga ia nyaris mendengar detumnya.
Kini Adrian berdiri di depan pintu bertuliskan 236. Persis seperti yang tertulis di kartu itu. Di sini kah Emilia-nya berada? Ke mari kah wanita yang dicintainya selama ini melarikan diri? Apakah ini pintu yang akan membawanya menemui kedamaian?
Adrian hanya harus mengetuk. Namun tangannya gemetar hebat sekedar untuk terangkat. Memang benar ia harus mengambil resiko yang mungkin terjadi, tapi sial, sisi pengecut Adrian mencuat lagi.
Lakukan. Kau hanya bisa berusaha.
Benar, jika Adrian punya alasan selain pengampunan Emilia yang ia butuhkan, alasan itu adalah Adrian yang tak mau membuat Delia kecewa. Wanita itu sudah tiga tahun mendampinginya untuk menjadi lebih baik. Bukan menjadi lebih pengecut dari Adrian Salendra yang Delia temukan di rumah sakit jiwa tiga tahun lalu.
Dengan segenap tekadnya, Adrian mengetuk pintu rumah itu. Sedetik yang ia butuhkan untuk menantikan pintu itu terbuka terasa seperti selamanya. Adrian mengetuk lagi, kali ini lebih kencang. Dan tak butuh waktu lama, pintu itu terbuka.
Adrian tak pernah menduga orang pertama yang membukakan pintu untuknya. Siapapun bisa membuka pintu itu dan Adrian juga tak merencanakan apa yang akan ia lakukan ketika pintu itu terbuka untuknya—kalau-kalau Emilia lah yang ternyata membuka pintu untuknya, Adrian pun tak tahu apa yang akan ia lakukan.
Tetapi Adrian tak pernah mengira ketika seorang gadis balita yang hanya setinggi lututnya lah yang membuka pintu untuknya. Gadis itu menatap Adrian sungguh-sungguh. Dan Adrian baru saja menyadari bahwa gadis itu mempunyai iris gelap akrab yang berbinar ketika menatapnya.
"Halo," kata gadis itu.
"Hai," balas Adrian dengan senyuman. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya. Menatap gadis itu dalam-dalam dan Adrian baru menyadari betapa ia melihat Emilia pada gadis ini. Putri Emilia, pikirnya. "Siapa namamu?"
"Namaku Em. Siapa namamu?"
Em.
Adrian meneguk ludah ketika nama itu disebut. Apakah ini sungguhan? Ia berada sedekat ini dengan putri Emilia. Ia bisa menyentuh putri Emilia jika ia mau. Ia bisa memeluk putri Emilia seolah memeluk Emilia-nya yang kini tak bisa lagi dimilikinya.
Adria mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. Gadis itu dengan senyum cerah membalas uluran tangan Adrian. "Namaku—"
"Em!" seruan itu memotong Adrian. Seorang remaja laki-laki dengan rambut pirang gelap yang sedikit panjang tergopoh-gopoh menghampiri gadis itu. Laki-laki itu sedang mengenakan celemek di tubuh atletisnya.
Adrian membeku ketika mengamati sosok itu.
"Maaf. Emily baru berumur empat tahun dan dia baru belajar tentang angka-angka. Dia senang sekali mengotak-atik tombol alarm dan menunggu tamu datang demi menekan angkanya." Laki-laki itu tertawa. Ia menyuruh Em masuk namun gadis itu hanya menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu. Kini laki-laki itu sepenuhnya beralih pada Adrian. "Jadi... ada yang bisa kubantu, Tuan?"
Ya Tuhan. Anak ini adalah manifestasi lain dari dirinya. Ryan adalah Adrian. Anak ini punya fisik yang sangat mirip dengannya. Bahkan Adrian bisa seketika mengenali dirinya sendiri ketika ia seumuran dengan Ryan meski putranya kini mengecat rambutnya dengan warna pirang gelap.
Putranya kini ada hadapannya.
Adrian ingin memeluknya erat-erat tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Ia harus menahan dirinya.
"Tuan?" Ryan menatapnya terheran-heran.
Apakah Ryan tahu bahwa Adrian adalah ayahnya? Apakah Emilia pernah mengenalkan Ryan pada ayah kandungnya meski itu adalah tindakan yang tak pantas Adrian terima?
"Tuan?" Ryan melambaikan tangan di depan wajah Adrian karena pria itu sama sekali tak berhasrat untuk berkedip ketika putranya yang telah lama hilang kini ada di depan matanya.
"A-aku... mencari William... Archer." Adrian menyodorkan kartu nama yang Dave berikan pada Ryan. Lelaki itu mengernyit membacanya. "Benarkah ini tempatnya?"
"Ya," kata Ryan. "Ini benar tempat tinggal William Archer. Tapi ayahku sedang keluar sebentar. Apakah kau ingin menunggu atau menyampaikan sesuatu?"
"Apakah..." Adrian membersihkan tenggorokannya sebelum melontarkan pertanyaannya. "Apakah Emilia di sini?"
Ryan sontak berkerut ketika Adrian menyebut nama itu. Matanya memicing mengamati Adrian sungguh-sungguh, bahkan kini menilai penampilan Adrian dari ujung kaki. "Kenapa kau mencari ibuku? Tunggu. Aku sudah curiga sejak melihatmu. Aku seperti mengenalimu," kata Ryan dengan tajam. Wajahnya tak lagi bersahabat. "Siapa kau?"
Ryan mengenalinya? Apakah Emilia memang pernah menceritakan Adrian pada Ryan?
"A-aku..." Adrian tergagap seolah seluruh kata dalam hidupnya tersedot pelan-pelan. Dengan gugup ia mengulurkan tangannya tapi Ryan hanya menatap tangannya dengan dingin. "Aku... teman lama ibumu. Aku... Adrian Salendra. Kau pasti putra Emilia, kan? Siapa namamu?"
Sedetik kemudian sebuah tinju bersarang tepat di hidung Adrian. Darahnya mengalir deras hanya dengan satu kali tinjuan keras yang diberikan putranya hingga Adrian terjungkal di depan beranda. Adrian menyeka hidungnya dan benar saja, darah segar telah mencoreng wajahnya.
"Ryan!" pekik Em.
"Mundur, Emily!" bentak Ryan. "Aku harus menghabisi bajingan ini." Ia menghampiri Adrian dengan berapi-api. Adrian pasrah saja ketika Ryan menarik kerah kemejanya, membuat Adrian bangkit. "Apa yang kau lakukan di sini, brengsek?!"
Tanpa memberi Adrian kesempatan menjawab, Ryan kembali melayangkan tinju pada Adrian. Kali ini lebih keras dan tepat mengenai perutnya.
"Ryan! Jangan bertengkar!" omel Em.
Ryan tak lagi memedulikan adiknya. Ia mendorong wajah Adrian hanya untuk sebuah tinjuan lain di pipinya. Adrian merasakan asin di ujung bibir tapi tak sedikit pun ia berusaha untuk membalas. Ia pantas mendapatkan ini. Ini lah yang seharusnya Adrian dapatkan, bahkan ini tak cukup.
"Ryan!" teriakan Em makin kencang, bahkan gadis itu kini menangis. "Ayah! Ayah!"
Tersadar karena tangisan adiknya, Ryan menghentikan perbuatannya. Lelaki itu bahkan tak terengah sama sekali seolah belum keseluruhan tenaganya ia kerahkan untuk menghajar Adrian. Ryan mendorong Adrian hingga punggung Adrian menghantam pilar beranda. Ryan mencengkeram kerah Adrian kuat-kuat. Menatap Adrian dengan amarah yang menggebu. "Kau tidak dibutuhkan di sini! Jangan pernah ganggu kehidupanku karena apapun yang kaulakukan untuk menebus, tidak akan pernah cukup bagiku!" Ryan menyentak Adrian yang sudah lemas. Adrian memegangi ruang antara perut dan rusuk yang baru saja mendapat hantaman keras. "Pergi!" bentak Ryan.
Adrian mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaganya. Kata-kata Delia terngiang di kepalanya dan menggemas dengan jelas.
Kau harus tahu kapan kau berhenti berjuang karena tidak selamanya pengorbananmu mendapatkan hasil yang setimpal.
Adrian merasakan seluruh tubuhnya kesakitan. Hatinya sakit. Hidupnya hancur. Ini baru selangkah dan semuanya telah tertutup untuk Adrian. Inikah saat dirinya berhenti berjuang?
Aku kalah, Delia. Ini persis seperti yang kutakutkan.
Napas Adrian tersengal-sengal. Ia terbatuk dan memuntahkan darah di atas rumput hijau. Tungkainya tak lagi terasa. Dan Adrian berharap Tuhan mengambil hidupnya sekarang juga karena tak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Adrian terjatuh di atas lututnya. Ia ingin bangkit dan pergi dari tempat ini karena itu permintaan pertama dan terakhir Ryan untuknya. Ia ingin mengabulkan itu, namun dalam hitungan detik kesadarannya terenggut.
"Dia jatuh!" seruan Em kecil terdengar di telinganya, diiringi sebuah bisikan lembut akrab yang menenangkan.
Bangun. Jangan menyerah.
Itu suara Emilia.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top