SF - BAB 11
Pilih salah satu:
a. Vote
b. Komentar
c. Keduanya
:D :D :D :D :D :D
enjoy!
Undangan yang Derian lempar kemarin adalah undangan untuk perayaan tahun emas Salendra Group. Adrian tak tahu alasan apa yang membuat ayahnya, Satya Salendra, memutuskan untuk mengirim undangan padanya. Mengingat bertahun-tahun sudah masalah keluarga mereka terjadi dan ayahnya telah bersumpah akan menghapus dirinya dari silsilah keluarga.
Meski banyak yang telah terjadi di antara mereka, Adrian tak bisa berbohong bahwa dirinya juga merindukan suasana keluarga yang dulu ia dapat. Bagaimana ayahnya akan mengambil alih untuk mengajari Adrian, bagaimana ibunya akan mengambil posisi untuk Derian. Mereka berempat sering menghabiskan waktu bersama-sama. Adrian merindukan suasana kasih sayang yang dulu ia dapatkan. Adrian rindu menghabiskan waktu bersama Derian selayaknya saudara kembar yang tak terpisahkan tanpa berjarak suatu keiri-hatian. Adrian merindukan ayah dan ibunya.
Perasaan gugup pun tak mampu Adrian cegah menelisik hatinya. Ia tak pernah lagi segugup ini selain saat menyatakan cintanya pada Emilia pertama kali dan saat pertandingan internasional pertamanya. Setelahnya, Adrian biasanya lebih mudah menerima dan membawa diri dalam suasana. Tetapi kali ini detak jantungnya tak kunjung beranjak berdegup normal hingga ia memasuki sebuah rumah besar yang akrab namun juga asing.
Mobil-mobil mewah berderet berjejeran terparkir di halaman yang luas. Berbagai karangan bunga ucapan selamat menghiasi sepanjang jalan hingga pintu depan teras. Tamu-tamu undangan dengan pakaian formal tanpa cela terlihat memadati rumah itu. Kebanyakan dari mereka membawa serta keluarga mereka—paling tidak, mereka membawa sang penerus generasi selanjutnya. Adrian cukup tahu berada di posisi itu, karena hampir seluruh masa remajanya ia habiskan untuk datang ke acara seperti ini. Bahkan ketika Derian menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, Adrian harus menuruti kemauan ayahnya.
Kendati demikian, hari ini Adrian tetap menunjukkan sisi pembangkangnya dengan berpakaian kasual. Ia hanya mengenakan celana kain dan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Ia tak peduli jika menjadi anomali di sini. Tak peduli dengan mata yang mengamatinya terlalu serius karena pakaiannya, Adrian hanya perlu berada di sini utuk menemui panggilan ayahnya.
"Kakak!" seru Derian yang menyambutnya, bahkan ketika Adrian baru saja melewati pintu ganda depan. "Kau sudah datang."
Adrian bergidik ketika lengan Derian merangkulnya dan membawanya ke dalam. Meski adiknya itu tersenyum, Adrian tak bisa merasakan senyuman yang sesungguhnya. Suasana ini terlalu asing sampai Adrian lupa, kapan mereka melakukan ini untuk terakhir kali dalam ikatan saudara kembar yang sesungguhnya.
"Kau datang," bisik Derian dengan nada tajam. Seringaian tercetak di bibirnya. "Aku tak menyangka kau meruntuhkan egomu yang selalu berusaha menentang ayah."
"Kupikir kau menginginkan kedatanganku," kata Adrian. Meski dia tahu, Derian pun tak suka menyambutnya seperti ini seolah Adrian adalah orang penting.
Derian mendengus. "Aku tak menginginkanmu, asal kau tahu. Tapi ayah dan ibu punya beberapa hal yang ingin mereka katakan padamu." Ia mengendikkan bahu. "Meski aku telah menduga bagian akhirnya akan seperti apa."
Adrian pun sudah tahu bahwa undangan ini bukan tanpa maksud. "Pertama-tama, terima kasih karena sudah mengundangku."
Derian menyeringai. "Hanya semata-mata karena aku bukan pembangkang sepertimu, Adrian. Jadi aku bersedia mengantar undangan itu." Derian mendorong bahu Adrian menuju satu titik. Mengarahkannya ke seorang wanita dengan gaun putih menjuntai yang cantik dan tengah menggandeng seorang gadis berusia dua belas tahun. "Sayang..."
Wanita itu menengok ketika Derian memanggilnya. Ia tersenyum begitu juga dengan gadis itu. Adrian bisa melihat persamaan keduanya hingga ia bisa menyadari bahwa mereka adalah ibu dan anak. Rambut hitam panjang yang sama, terlepas dari bagaimana rambut itu tersanggul dengan model serupa. Mata kelam nan cerdas yang sama. Hidung mancung yang menonjolkan kecantikan keduanya. Tapi satu titik di wajah gadis itu tersirat senyuman akrab ketika bibir itu tertarik ke atas bersamaan dengan ujung matanya. Senyum gadis itu mirip Derian.
"Perkenalkan," kata Derian. "Ini Anita, istriku. Ini Deanita, putri semata wayang kami. Mama, Dea, ini saudara yang pernah kuceritakan, Adrian."
"Kalian punya wajah sama," kata Dea. "Tapi kalian tak sama. Apakah aku akan memanggilmu paman?"
Melihat saudaranya berada di posisi ini, sebagai seorang anak yang diinginkan orang tuanya, menjadi suami yang pantas untuk seorang wanita, menjadi seorang ayah yang seharusnya; mau tidak mau membuat Adrian iri. Kehidupan Derian benar-benar sempurna.
"Ya," jawab Adrian. "Aku... adalah pamanmu."
Dea tersenyum senang. Ia mengulurkan tangan pada Adrian. "Halo, Paman Adrian."
"Senang bertemu denganmu, Adrian. Derian pernah bercerita tentangmu, tapi aku tak menyangkan baru bisa bertemu denganmu hari ini," kata Anita dengan nada formal. Wanita ini anggun dan sangat terkontrol. Adrian bisa melihat mengapa ia cocok dengan Derian.
"Maaf aku tak datang ke pernikahan kalian," kata Adrian tulus. Karena Derian tak mengundangnya. "Maaf karena aku tak datang saat kelahiran Dea atau saat ulang tahunnya yang pertama—"
"Tak apa," potong Anita. "Sungguh, kau tidak harus merasa tak enak soal itu. Jadi... apakah kau membawa istrimu juga ke sini? Mungkin Dea tidak akan merasa kesepian lagi, dia mungkin akan punya sepupu—"
Derian berdeham untuk menghentikan istrinya, sementara Adrian hanya membuang pandangannya ke arah lain. "Sayang, Adrian belum menikah."
Mulut Anita membulat. Namun tak berlangsung lama karena senyumnya terpasang dengan cepat di wajah cantiknya. "Maafkan aku."
Adrian hanya mengangguk.
"Kau temui tamu lainnya dulu," kata Derian pada Anita. Lalu beralih ke putrinya. "Kita sudah membicarakan apa yang harus kau lakukan, kan?"
Dea tersenyum dan mengangguk pelan.
"Aku harus menemui ayah dan ibu. Sebentar," kata Derian.
Derian menarik Adrian lagi untuk masuk lebih dalam ke ruang tengah yang penuh sesak dengan tamu undangan. Sesekali ia menjabat kolega-kolega yang menyapanya. Beberapa kali orang melirik Adrian seolah menilai dan membandingkannya dengan Derian, tapi Adrian tak mengatakan apapun bahkan sekedar untuk membalas sebuah sapaan. Adrian hanya sebisa mungkin tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Mereka harusnya di sekitar sini," kata Derian.
Adrian tak menanggapi Derian karena ia diam-diam merasa gugup akan bertemu dengan orang tuanya setelah bertahun-tahun. Ia berusaha membuka topik untuk mengalihkan rasa gugupnya. "Putrimu cantik."
"Memang," kata Derian tak acuh. "Dia cukup bagus. Maksudku sangat manis dan... kau tahu, dia penurut."
Seolah-olah setiap kata yang Derian lontarkan hanya untuk merendahkan Adrian. Ia cukup tahu bagaimana orang-orang seperti Derian akan membesarkan putra-putrinya. Derian punya watak yang sama dengan sang ayah.
"Itu dia," kata Derian.
Adrian mengangkat kepala dan bertemu dengan wajah tegas, tatapan tajam, serta postur berwibawa seorang Satya Salendra. Di sampingnya adalah wanita yang setia menggamit lengan ayahnya dengan anggun, Marissa Salendra. Adrian masih mengingat wajah keduanya meski terlihat jelas perubahan yang terjadi karena faktor usia. Meski begitu, diam-diam Adrian bersyukur bahwa keduanya terlihat sehat dan bugar.
"A-ayah." Adrian tergagap begitu sang ayah tiba di hadapannya. Ia bingung harus berkata apa. "Apa kabar?"
"Seperti yang kau lihat, kami tidak mati meski kau tinggalkan," kata Satya dengan ketus. "Aku tak menyangka kau memenuhi panggilanku. Terakhir kali kuingat, kau tidak menuruti satu pun permintaanku."
Adrian beralih pada ibunya yang memasang wajah datar. Marissa tetaplah seorang wanita yang menurut pada kata suaminya, mendukung segala keputusan yang diambil sang kepala keluarga.
Begitulah kodrat seorang wanita, kata Satya Salendra.
"Ibu," sapa Adrian. Ia ingin sekali memeluk ibunya seperti saat usianya lima tahun. Tapi Adrian tahu bahwa itu tak mungkin.
Marissa menghela napas. "Aku senang kau datang. Tapi aku akan lebih senang jika kau kembali. Kapan kau mau pulang?" tanyanya pada Adrian.
Adrian menggeleng pelan. "Meskipun aku kembali, aku seharusnya menjadi mandiri karena aku bukan lagi tanggung jawab kalian. Aku tetap tak bisa kembali tinggal di rumah ini."
"Lebih spesifik," kata Satya. "Setelah dua puluh tahun penolakanmu menjadi pemegang perusahaan, apakah kau berubah pikiran?"
"Apakah kita akan membahas ini setiap kali pertemuan kita dimulai lagi setelah bertahun-tahun?" kata Adrian. Ia telah berusaha sesopan mungkin, tapi emosi dalam dirinya menimbulkan nada suara yang mungkin terdengar tak sopan hingga ia disebut pembangkang. "Bisakah kita mengakhiri masalah ini? Ini sudah terlalu lama untuk kita."
Satya mengelus dagunya seolah berpikir. Kemudian ia melarikan tatapan tegasnya pada Derian, tatapan yang mengatakan bahwa ia tak mau dibantah. "Derian, tinggalkan kami. Sapalah tamu yang lain."
Derian jelas tak akan meniru kesalahan Adrian yang selalu membantah, jadi ia hanya mengangguk dan undur diri dari posisinya.
"Ikut kami," kata Satya seraya menggandeng istrinya ke arah yang Adrian ingat menuju ke taman belakang.
Taman itu kini terlihat lebih berwarna dari terakhir kali Adrian meninggali tempat ini. Mungkin sekarang ayahnya membayar orang khusus untuk mengurus kebun. Kala itu mereka sering menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk berkebun.
"Tidakkah kau merindukan rumah ini?" tanya Satya, membuyarkan Adrian yang terlalu larut membandingkan perbedaan. "Tidakkah kau merindukan kami?"
"Kalau boleh jujur, aku sangat merindukan kalian." Adrian berkata tanpa dusta. Ia bahkan berani mengutarakannya seraya menatap kedua orang tuanya. "Aku merindukan setiap hal yang kita miliki bersama. Tapi seharusnya kau mengerti, Ayah, tidak selamanya keinginanmu bisa terpenuhi."
"Kau hanya terlalu mengangkat tinggi egomu," kata Marissa. "Karirmu sebagai pesepak bola sudah berakhir. Kau telah meraih yang kau inginkan. Sekarang saatnya kau memenuhi takdirmu."
"Itu bukan takdirku," kata Adrian mendesis. "Menjadi pemegang perusahaan adalah kewajiban yang Ayah berikan padaku tanpa sebuah persetujuan apakah aku menyukainya atau tidak—"
"Karena suka atau tidak suka, kau akan berada di posisi itu," kata Satya.
Adrian menggeleng. Ia melangkah mundur dari orang tuanya. "Karena aku tak suka, maka aku tak mengambilnya."
"Apa bedanya dengan hidupmu sekarang?" tanya Satya. "Kau sekarang juga berbisnis setelah pensiun. Kau akan berada di bidang yang sama jika kau memegang Salendra Group."
"Tetap saja berbeda," kata Adrian. Ia mengacak rambutnya karena tak mengerti bagaimana ayahnya bisa begitu kerasa kepala. "Ad's tidak memegang peran sebesar Salendra Group untuk perekonomian negara. Kau memintaku mempertahankan peringkatnya, sementara aku membangun Ad's dari nol dan aku seperti bermain judi dengan mengambil resiko apa saja yang mungkin bisa menghancurkan bisnisku. Aku mati-matian untuk bisnis itu. Tapi aku hanya akan disetir oleh direksi dan tuntutanmu jika aku memegang Salendra Group nantinya."
Satya tertawa meremehkan. "Kau benar-benar sudah terlepas jauh dari genggamanku. Kau tak tahu cara berbisnis yang benar. Bisnis memang tentang judi, tapi kau harus tahu kapan kau melempar dadu tanpa kemungkinan kalah sepeser pun."
"Itulah bedanya kita," kata Adrian kemudian. "Kau ingin meraih segalanya tanpa sebuah pengorbanan, tapi aku mempertaruhkan segalanya untuk mendapat semua yang kuinginkan. Aku berani berkorban, Ayah. Aku senang menghargai pengorbananku karena aku ahu hasilnya akan setimpal. Dan yang paling penting, Ad's adalah pilihanku tanpa dipengaruhi siapa pun."
"Kenapa tidak kau turunkan sedikit egomu?" tanya Marissa dengan nada lembut seorang ibu. "Dengan seperti ini, kau hanya memperkeruh yang terjadi pada keluarga kita."
"Kenapa bukan Ayah yang menurunkan egonya?" tanya Adrian telak. "Kenapa dia tidak berhenti dengan semua ini dan membiarkan Derian yang memegang posisiku? Kami ini kembar, kau beruntung masih mempunyai Derian yang lebih layak."
"Derian adalah si bungsu—"
"Kami kembar!" potong Adrian dengan tajam ketika ayahnya mulai membahas topik tak masuk akal. "Tidak ada si sulung atau si bungsu. Kami sama. Derian berhak mendapatkan kesempatan yang sama."
"Derian pasti akan mengerti bagaimana posisinya," kata Marissa.
Adrian tertawa pelan. Ia menggeleng. "Benar. Tapi aku yang tak mengerti dengan posisiku sendiri. Mengapa kalian menempatkanku pada situasi semacam ini?"
"Karena kau adalah si sulung dan kau harus kami kendalikan. Kau jelas-jelas berada di luar batasmu sejak wanita itu mempengaruhimu—"
"Emilia tidak bersalah!" bentak Adrian hingga Marissa berjengit dan megurut dada. "Dia tidak pernah bersalah. Ini adalah salah kalian yang membuatku tak pernah bisa membuat pilihan. Ini adalah salah kalian yang tak pernah mendukungku—"
"Dan apakah salah kami juga ketika kau berakhir di rumah sakit jiwa dan masih lajang hingga saat ini?" potong Satya telak.
Adrian hanya terdiam. Ini bukan salah siapapun ketika dirinya menghadapi kegilaan yang dialaminya. Ini adalah mentalnya yang tak sanggup menanggung rasa sakitnya.
Atau mungkin memang ini salah Adrian karena semua masalah memang bersumber pada dirinya.
Adrian menggeleng untuk menghapus perasaan bersalah itu sebelum dirinya melakukan hal yang tidak rasional.
Positif, Adrian. Kau harus berpikir positif, begitulah kata Delia.
Mengambil langkah aman, Adrian berbalik karena tak ingin keributan terjadi antara dirinya dan sang ayah. Ia tak mengucapkan apapun bahkan ketika tiba di ambang pintu.
"Adrian," panggil Marissa dengan nada keibuan yang tak mampu Adrian tolak sehingga Adrian menghentikan langkahnya.
"Jika kau ingin masalah ini berakhir, menikahlah," kata Satya. "Aku akan melupakan apapun yang terjadi di antara kita jika kau segera menikah. Kau tak mungkin jadi bujangan selamanya. Lanjutkan hidupmu meski wanita itu sudah meninggalkanmu. Aku tak mau putraku menghabiskan hidup secara menyedihkan."
Putraku.
Meski hanya sedetik, perasaan hangat menelusup ke hati Adrian. Inilah ikatan anak dan ayah yang sudah lama sirna. Inilah yang Adrian rindukan; diakui. Tetapi Adrian tak membalas perkataan ayahnya, ia hanya melanjutkan langkahnya menjauh dari kedua orang yang sangat dicintainya itu.
Meski begitu, kata-kata sang ayah terngiang dalam benaknya. Aku akan melupakan apapun yang terjadi di antara kita jika kau segera menikah.
Menikah.
Adrian pernah mempunyai mimpi menjadi seorang suami dan seorang ayah, tapi hanya Emilia yang mewujudkan semua mimpi yang pernah ia bangun. Karena Emilia bagian dari mimpi itu. Karena Emilia adalah alasannya sanggup bermimpi.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top