9. Kecewa
*Disarankan membaca saat malam hari atau setelah berbuka. Demi keamanan hati kalian, terutama yang lagi jomblo. 😆
"Hampa kesal dan amarah seluruhnya ada di benakku. Andai seketika hati yang tak berbalas oleh cintamu. Kuingin marah...
melampiaskan...
tapi kuhanyalah sendiri di sini.
Ingin kutunjukkan pada siapa saja yang ada.
Bahwa hatiku, kecewa."
*Kecewa-BCL
Sepandai-pandainya membungkus bangkai, lama-lama pasti akan tercium juga. Peribahasa itu memang pantas tersemat pada Ardi. Sepandai apapun dia menutupi cintanya pada Saila, Tuhan rupanya masih memberikan celah untukku, membuatku tahu pada akhirnya. Membuatku tahu dan sadar, jika selama ini keyakinanku salah.
Rasa sakit yang tidak dapat kutahan, meledak begitu saja. Perih, ngilu, cenat-cenut, melepuh menjadi satu. Jika dulu aku selalu berpegang pada janji ini Ardi, sekarang tidak ada lagi yang menjadi sandaranku.
Egois memang, jika aku selalu berharap Ardi tak pernah dan tak boleh mencintai Saila. Sebab aku tahu pasti, jika itu sampai terjadi, yang ada aku hanya akan menjadi yang kedua bukan yang pertama. Aku sudah kalah dalam segala hal, tapi aku masih menang dalam hati Ardi. Tapi sekarang? Sepertinya aku sudah tak memiliki ruang di sana.
Kembali ke rumah adalah pilihan yang tepat. Aroma kenangan percintaan kami beberapa hari yang lalu masih menguar. Bahkan aku masih mengingat dengan jelas, di mana saja letak teriakan kepuasan berasal. Di sofa ruang tamu, di meja makan, di dalam kamar mandi, di taman belakang, dan di dalam kamar. Semuanya berputar bagai tayangan slide yang memenuhi kepalaku.
Andai aku pulang bukan dengan kekalahan yang abadi, tentu dengan senang hati akan kupintal kenangan itu. Lalu membungkusnya dalam album memori, dan akan membukanya saat aku merindukan pelukan Ardi.
Tapi sekarang berbeda, yang tersisa justru rasa muak dan benci. Aku mengemasi pakaianku dengan tergesa, tak menghiraukan pelukan Ardi yang berusaha menahanku. Aku tahu dia akan meminta maaf atau menyuruhku menghentikan sikap. Tapi aku tak mau mendengar penjelasan apapun. Egois? Bukankah sudah saatnya aku egois? Terlalu lama mengalah nyatanya tak baik untuk kesehatan hati. Dan aku tak ingin hatiku mati.
Saat aku menyeret koper keluar dari kamar, tak kujumpai Ibu lagi. Hanya ada Saila yang menatapku penuh iba, atau bahagia? Entahlah, aku sekarang sudah tak dapat lagi membaca ekspresinya. Saat kutahu dia bersedih nyatanya dia bahagia. Dia sempat memintaku untuk bertahan lagi, tapi tak kuhiraukan permintaannya. Bagiku, kebohongan mereka sudah di ambang batas kesabaranku. Segera kuseret langkah sesaat setelah kucium Saga. Bayi itu, hanya bayi itu yang sedikit memberatkan kakiku.
Ardi tidak lagi berusaha mengejarku saat kulajukan Juke merah menuju jalanan. Mungkin dia sudah bosan dengan tingkahku yang kekanak-kanakan. Mungkin juga dia sudah ikhlas untuk melepasku. Aku tak tahu?
Menatap foto pernikahan di dalam kamar, justru bagai menabur garam di atas hati yang terluka. Foto itu hanya akan menjadi sakai bisu, bagaimana kami dulu melewati hari-hari penuh cinta. Bagaimana dulu Ardi berjanji bahwa tak akan surut cintanya. Bagaimana dulu Ardi memujaku, menginginkanku melebihi apapun. Dan semua itu hanyalah sebuah masa lalu.
Kurebahkan tubuh yang letih, ketika semburat keemasan kemilau langit menembus jendela. Aku sudah tak peduli pada waktu. Aku hanya ingin memejamkan mata sejenak. Meredam lara dan membuang kesialan sepagian ini. Kuhirup aroma senja sesaat sebelum mimpi membuaiku. Aku lelah.
~o0o~
"Ada yang bisa saya bantu?" Aku menjawab sebuah panggilan telepon di kantor. Memdengarkan sejenak seseorang di seberang sana, "nanti akan kami hubungi lagi jika sudah diproses, Ibu.... Iya, terima kasih."
Menyandarkan tubuh dan sedikit membuang kasar udara, aku lantas memejamkan mata sejenak. Hampir dua pekan aku menyibukkan diri di kantor. Banyaknya pekerjaan cukup menyita perhatianku. Membuat kepalaku dipenuhi dengan project dan tender yang harus kami raih. Sedikit melelahkan, tapi sebanding dengan kepuasan yang kudapat.
Puluhan bahkan ratusan pesan dan panggilan dari Ardi tak pernah kuhiraukan. Buat apa? Mau meminta maaf pun percuma, nyatanya di tak cukup gentle untuk menemuiku.
"Ris, laporan bulan ini sudah kamu kerjakan? Aku pinjam datanya sebentar, bisa?" suara Laras membuyarkan imajinasiku, membawaku kembali ke bumi.
"Sudah. Apa perlu kubantu? Aku cukup longgar, Ras." Aku menawarkan diri pada Laras, mencoba mencari kesibukan baru.
"Kamu kenapa? Wajahmu pucat, matamu sendu, dan auramu sedikit kelam. Tapi semangatmu luar biasa, Ris. Apa terjadi sesuatu dengan kalian?" bisik Laras. Dia satu dari sekian teman kantor yang mengetahui liku rumah tanggaku. Dan kami menjadi lebih dekat karenanya.
Aku membalasnya dengan mengangkat bahu. "Hidup selalu penuh masalah, Ras."
"Rista, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Ceritakan padaku nanti waktu makan siang. Aku tunggu. Dan jangan bohong." Laras meninggalkanku setelah berhasil meminjam data laporan bulan ini. Aku melorotkan bahu, bisa apa aku tanpa sahabat-sahabatku. Mungkin memang seharusnya, aku membagi sedikit bebanku pada Laras. Mungkin nanti Laras bisa membantu.
Jam makan siang di kantor sepi, seluruh karyawan rata-rata keluar untuk mengganjal perut. Di balik kubikel, tersisa aku dan Laras yang tengah menyimak ceritaku. Semua kuluapkan begitu saja padanya, bahkan sesekali kami mengeluarkan air mata. Sedikit terbawa emosi. Laras bahkan berulang kali mengelus lengan,menggenggam tangan bahkan memelukku. Menyalurkan kekuatan sesama wanita.
"Aku mengerti, Ris, aku mengerti. Kamu yang kuat. Kamu yang sabar. Ini semua ujian untukmu, agar kelak kamu menjadi wanita kuat."
"Tapi apa seberat ini ujian yang harus kutempuh? Aku sudah dibohongi oleh mereka dan aku tidak bisa hidup dengan kebohongan, Ras. Tidak akan bisa."
Laras mengambil wajahku, kedua mata kami saling bertemu. "Kebohongan seperti apa? Kebohongan jika Ardi juga mencintai Saila? Kebohongan jika mereka saling mencintai? Atau kebohongan Saila padamu tentang tugasnya pasca melahirkan?"
"Semuanya," putusku.
"Tidak ada kebohongan di sini. Semuanya nyata, Ris, mereka tidak membohongimu. Maaf, tapi itu benar."
Kedua mataku membola, bagaimana bisa Laras berkata demikian? Tidakkah dia tahu bagaimana sakitnya aku? Aku menarik wajahku menjauhi Laras, memilih menatap bunga tulip yang berdiri manis di sebelah komputer.
"Kamu yang belum siap, Ris."
Aku memicing, "maksudmu?"
Laras menarik tubuhnya untuk bersandar, tapi tangan kirinya masih menggenggam tanganku. Sementara tangan kanannya mengambil jus jeruk lalu meminumnya.
"Kamu belum siap menerima pernikahan ini, Ris. Itu menurutku. Kamu hanya siap menerima Saila untuk menjadi ibu bagi anak-anak Ardi, tapi melupakan fakta jika mereka juga memiliki hak untuk saling mencintai. Mereka juga manusia, meski mungkin di awal Ardi tak menaruh hati pasa Saila, tapi lambat laun kebersamaan mereka bisa jadi membuat Ardi luluh. Ingat pepatah Jawa? Witing trisno jalaran songko kulino. Cinta tumbuh karena terbiasa.
"Kamu selalu saja memikirkan perasaanmu. Tidakkah kamu juga memikirkan bagaimana perasaan Ardi yang berusaha menjaga hatinya untukmu? Juga perasaan Saila yang berjuang untuk mendapatkan hati Ardi? Kalian sama-sama berjuang, Ris. Aku tahu aku bisa ngomong begini hanya berdasarkan teori, karena jika aku jadi kamu, aku belum tentu sanggup."
"Kamu benar, Ras, aku selalu memikirkan diriku sendiri. Tapi aku sakit hati, aku kecewa, aku marah. Ardi selalu kalah memperjuangkanku di depan Ibu." Mataku berkaca-kaca, siap retak kembali. Laras mengusap tetes bening itu sebelum luruh, kembali menggenggam kedua tanganku.
"Buang rasa bencimu, buang rasa bersalahmu, buang kekalahanmu. Kamu tetap pemenang di hati Ardi. Seberapa besar Ardi mencintai Saila, dia akan selalu mengingatmu. Kamu tahu, membagi rasa cinta itu susah, Ris. Seperti cinta seorang ibu untuk kedua anaknya. Aku bahkan harus tetap menjaga si sulung agar tidak iri dengan perhatian-perhatian yang kuberikan pada si kecil."
Aku mengangguk, aku mengerti. Laras benar, secinta-cintanya Ardi pasa Saila, Ardi akan selalu mengingatku. Aku tahu itu. Karena aku adalah yang pertama untuknya. Jika membayangkan bagaimana mereka berdua saling memadu kasih, hatiku kembali tersayat. Sakit sekali. Tapi bukankah tidak mungkin, dua orang yang hidup bersama tak akan pernah saling mencintai? Inilah klimaks yang sesungguhnya, mampukah aku menerima cinta mereka di tengah-tengah retaknya hubungan kami?
"Jika kamu sudah benar-benar tak sanggup lagi untuk bertahan, maka lepaskan semuanya. Lepaskan Ardi, lepaskan cintamu."
~o9o~
Malam ini hujan turun sangat deras, air sempat menggenang di sepanjang jalan. Banyak pohon yang tumbang. Beruntung aku tidak segera pulang dari kantor begitu hujan tiba. Menunggu hujan reda dari dalam ruangan bersama teman-temanku jauh lebih nyaman. Laras tersenyum padaku, mengetahui aku semakin membaik pasca obrolan kami beberap hari yang lalu. Ya, setidaknya sekarang aku sedang belajar membuka hati dengan sebenar-benarnya.
Aku memarkir mobil di garasi, lalu tersadar jika pintu gerbang tidak terkunci, mungkin tadi pagi lupa. Memasuki rumah, lagi-lagi aku dibuat bingung, pintu depan juga tidak terkunci. Jangan-jangan ada maling. Segera kubuang pikiran itu, tak ingin menjadi kenyataan. Setelah menyalakan lampu, aku menuju kamar untuk mandi. Tubuh yang penuh keringat bercampur aroma jalanan membuat lengket. Setelah mandi dan berganti baju, aku berjalan menuju dapur untuk membuat segelas cokelat panas.
Langkahku terhenti seketika. Di sana, sudah tersedia satu meja penuh makan malam dengan lilin dan mawar merah.
Sepi.
Tak ada siapa-siapa di sini.
Aku mendekati meja itu, masih berdiri di salah satu ujungnya, mengamati beragam hidangan yang tersaji. Tiba-tiba sepasang tangan memelukku dari belakang, aku terperanjat ketika sebuah kecupan mendarat di pundak kiri.
"Kamu?"
Aku tak lagi mampu berkata. Suaraku hilang ditelan sepasang bibir tebal yang sedikit kasar di tepinya.
"Ugh...."
"Aku minta maaf," Ardi membalik tubuhku, kami saling beradu mata. Aku berusaha menyelami kedalaman matanya, menyelami hatinya. Di sana, ya, jauh di sana masih nampak kilat itu. Masih nampak rona itu. Untukku.
"Aku juga minta maaf," jawabku pada akhirnya.
"Maafkan aku yang selalu kalah mempertahankanmu, Ris. Memperjuangkanmu sangatlah tidak mudah. Aku harap kamu mau sedikit bersabar."
"Aku tahu. Aku juga seharusnya sadar diri, jika ini semua akan terjadi. Aku mengerti, Di. Kamu berhak mencintai Saila, ibu dari anak-anakmu. Kamu berhak memanjakan dia, karena dia juga istrimu." Aku memeluknya erat, berusaha menguatkan hatiku sendiri.
"Aku minta maaf soal ibu."
Aku membisu, tak tahu harus berkata apa.
"Bisakah kita melupakan semua ini sejenak?"
"Jika dengan berada di rumah ini membuatmu lebih baik, maukah kamu tinggal di sini saja? Aku tak sanggup lagi melihatmu menangis karena ibu. Cukup aku saja yang merasakan sakitnya, jangan dirimu lagi."
Aku mengangguk. Ardi benar, tinggal serumah dengan maduku ditambah ibu dari suami bukanlah hal yang baik. Akan selalu ada orang ketiga yang membumbui rumah tangga kami.
"Apa aku sudah dimaafkan?" Ardi mengurai pelukan, tersenyum seraya mengecup keningku.
"Menurutmu?" Kerlingku manja sebelum tubuhku melayang dalam gendongan Ardi.
~o0o~
"Mau ke mana?" tanyaku begitu Ardi bangkit dari pelukanku. Biasanya kami akan terlelap, membuai mimpi bersama.
Ardi tak menjawab, dia justru mencium seluruh wajahku sebelum menuju kamar mandi. Aku memilih menggulung tubuhku dengan selimut, udara malam bercampur bekas hujan membuat tulang-tulangku membeku. Aku tersenyum mengingat bagaimana Ardi memperlakukanku dengan manis. Caranya meminta maaf yang sederhana, justru membuatku luluh. Makan malam yang sempat tertunda, kami nikmati dengan penuh cinta.
Aku hampir terlelap begitu menyadari Ardi tak segera berbaring di sampingku. Kubuka mata dan mendapati dia tengah mengenakan pakaiannya kembali. Keningku mengkerut, ini sangat berbeda dari biasanya.
"Kamu mau pergi?"
Ardi menatapku sejenak, lalu kembali melanjutkan mengancing baju sambil berjalan mendekat.
"Maaf, Ris. Aku harus pulang. Malam ini aku tidak bisa menginap di sini. Besok aku harus ke luar kota."
"Tidak bisakah kamu berangkat dari sini? Masih ada baju-bajumu di rumah ini." Aku memegang erat selimut yang membungkus tubuh, mencari pegangan.
Ardi hanya menggeleng.
"Lain kali aku akan menginap di sini. Setelah semuanya cukup aman." Ardi kembali mengecup bibirku, keningku, pipiku, dan kedua mataku.
"Kita seperti pasangan selingkuh yang diam-diam bercinta dari istri sahmu, saja."
Kami berdua tertawa.
"Tapi kita adalah pasangan yang dihalalkan Tuhan."
Aku mengangguk. Sebelah tanganku membelai wajah Ardi, merangkumnya dalam genggaman.
"Apa belum cukup?" Sebelah alisnya terangkat.
Aku memutar bola mata, selalu saja seperti ini.
"Kelebihan malah, Di."
"Aku pergi dulu."
"Hati-hati."
"Jaga dirimu baik-baik."
"Semoga selamat sampai kamu kembali."
"Tunggu aku kembali."
Aku mengangguk. Tak dapat lagi bersuara. Ini bukan ucapan perpisahan, rapalku berulang kali. Ardi kembali membingkai wajahku, menyentuhnya dengan kecupan, sebelum bayangan tubuhnya benar-benar menghilang. Meninggalkanku sendiri. Lagi.
Aku akan selalu merindukan malam ini, Di.
~o0o~
Holaaa, adakah yang merindukanku? #plak 😆
Selamat bersenang-senang dengan mereka berdua. 😁
#Jangan lempar tisu bekas itu padaku, yes!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top