8. Tak Sengaja
"Cinta dibangun atas pondasi komitmen serta kepercayaan. Jendela-jendelanya adalah komunikasi yang baik, saling memahami. Pintunya adalah memaafkan. Dan atapnya adalah mau menerima kekurangan dan kelebihan.
Itulah yang disebut bangunan cinta. Kokoh dan tahan lama."
*Tere Liye
Hujan masih menyisakan rintiknya, melembut bagai butiran panah yang menusuk bumi. Meluluhlantakkan debu-debu yang usang. Langit masih berselimut kelam, ditambah gulungan awan hitam yang membungkus sinar rembulan. Dari jauh, dengungan para tamu mulai berkurang. Hujan membuat mereka segera pergi, meninggalkan rumah Ibu tepat dipukul sembilan malam.
Aku tengah sibuk membereskan sisa acara; sampah yang berserakan, bekas makanan dan minuman yang tercecer, juga karpet-karpet yang bergulung, berdua kembali dengan Mbok Dayu. Sementara tak kulihat Ardi maupun Saila, juga Ibu di rumah ini. Sesekali kulenggokkan kepala, barang kali mereka sedang mengantar tamu. Tapi rupanya usahaku hanya sia-sia. Ibu masuk rumah sendirian, tanpa Ardi dan Saila. Gatal sekali bibirku untuk menanyakan mereka. Karena sejujurnya aku masih menunggu janji Ardi.
"Bu, si kembar ke mana? Kok sepi? "
"Mereka menginap di rumah Saila. Saila kangen dengan rumahnya. Mungkin di sini mereka kegerahan, jadi kusuruh saja dia menginap di sana satu atau dua hari."
Mulutku membulat sempurna, mencerna segala keterangan yang Ibu sampaikan. Kegerahan? Mereka? Si kembar, kah? Atau Saila? Aku beristighfar dalam hati sebanyak yang kubisa, apa mungkin Saila cemburu karena melihatku dan Ardi di taman belakang? Jika iya, seharusnya dia sudah mengerti risikonya, bukan? Aku menggelang, membuang beragam prasangka yang mulai hilir mudik di kepala. Lebih baik aku segera membereskan semua ini lalu kembali beistirahat, merebahkan raga dan hatiku.
Setelah semuanya bersih, Ibu kembali keluar kamar menuju dapur. Aku hanya meliriknya sekilas, tak berani lagi bertanya. Sepuluh menit kemudian, Ibu kembali ke ruang tengah. Raut wajahnya nampak biasa saja, tapi aku yakin kedua alis hasil sulam itu ketika berubah posisinya, menandakan ada sesuatu yang menghuni isi kepala Ibu.
"Besok panggil Pak Karman, suruh mengganti bangku di belakang taman dengan pohon kenanga. Ibu sudah lama ingin menanam bunga itu."
Aku yang tak mengira mendapat tugas dadakan hanya diam saja. Pohon kenanga? Sejak kapan Ibu menyukai bunga yang identik dengan kematian itu? Bulu kudukku meremang, jangan-jangan Ibu kesambet penghuni pohon mangga.
"Kamu mendengarkanku, kan, Ris?"
"Oh, eh, iya, Bu. Rista besok akan memanggil Pak Karman."
Ibu mengangguk, lalu pamit akan segera tidur. Aku menarik napas dalam ketika Ibu telah memasuki kamar. Pikiranku mengembara pada insiden senja tadi. Apa mungkin Ibu sesensi itu padaku? Masih ada tempat lain, Rista. Rapalku berulang kali menyemangati diri sendiri. Padahal hanya tempat itulah, yang menjadi tempat favoritku ketika aku dirundung duka. Menyendiri ditemani semilir angin, membuang sisa kenangan.
~o0o~
Pagi tanpa Ardi di sisiku sudah menjadi hal yang lumrah. Hampir dua tahun kami menjalaninya, dan sejauh ini aku masih bisa bertahan dengan baik. Rekor yang bagus, bukan? Mengingat bagaimana frustrasinya aku saat di awal-awal pernikahan ini. Nyatanya, dengan kekuatan cinta, Dewi Fortuna masih setia di sampingku.
Tanpa Ardi, aku telah terbiasa. Tanpa menggendong Saga di pagi hari untuk berjemur, itu yang tak biasa. Aku hanya mampu menatap baju-baju si kembar yang tengah dijemur oleh Mbok Dayu. Saga selalu menggunakan warna hijau untuk semua perlengkapan bayinya, sementara Bara menggunakan warna kuning. Jemuran itu kini mirip kue lapis, dengan warna-warna yang mencolok.
Biasanya aku menggendong Saga di ayunan depan rumah, bergantian dengan Saila yang menggendong Bara. Terkadang aku mengajak Saga berjalan di depan rumah, sesekali mengobrol dengan tetangga Ibu. Dan pagi ini, aku hanya duduk di bangku taman belakang seorang diri. Membayangkan rupa bocah kecil itu ketika menggeliat kepanasan di pangkuanku.
"Kamu mau duduk di situ sampai kapan, Ris? Bantu Ibu masak, lah, daripada bengong di situ."
Aku menoleh, mengamati asal suara yang pagi ini terdengar nyaring. Kemana wajah kelam Ibu semalam? Mengabaikan keanehan Ibu, aku bergegas menuju dapur. Ternyata di sana sudah tersedia beberapa bahan masakan.
"Bu, gule sisa semalam masih ada, masih cukup untuk sarapan, kok." Kuberitahu Ibu, sebelum bahan-bahan ini terlanjur dimasak.
"Gulenya sudah kuberikan sama Mbok Dayu. Ibu sudah tidak tahan dengan baunya. Lagian kamu ini, lupa apa, kalau Ibu punya darah tinggi? Sengaja bikin tensi Ibu naik lagi?"
"Ha?" Aku kaget tentu saja. Sebenci-bencinya aku pada Ibu, tak pernah terlintas dalam kepala untuk membuat Ibu sakit. Sebab beliau adalah perempuan yang telah melahirkan lelaki yang paling kucintai. Surgaku juga ada padanya.
Ibu berjalan menuju kulkas, mengambil sebungkus plastik cabe rawit. "Kita bikin ikan asap penyet saja."
Segera saja, kulakukan perintah Ibu. Menggoreng tahu tempe dan ikan mujair yang sudah diasapkan, mengupas bawang dan membuang tangkai cabe, membuat sambal serta membakar pete. Tak lupa, menyiangi kemangi dan merebus selada air. Aku menelisik semua masakan yang telah siap, ini seperti untuk acara makan keluarga besar saja. Aku tak pernah mengerti rencana Ibu. Jadi, begitu aku telah rampung memasak, kubiarkan Ibu yang makan terlebih dahulu. Aku lebih memilih sibuk dengan Pak Karman di kebun belakang.
~o0o~
Dua hari Saila dan Ardi menginap di rumah orangtua Saila. Kerinduanku pada si kembar sudah tak dapat dibendung lagi. Begitu mereka tiba, aku mencuri Saga dari gendongan Ardi. Menciuminya membabi buta, bahkan mengajaknya berkeliling taman belakang. Saga hanya diam, sesekali menggeliat manja. Ketika aku duduk di sofa ruang keluarga, Saga tiba-tiba mengeluarkan cairan berwarna putih pekat dari mulutnya. Aku panik. Kami semua panik. Bahkan kudengar suara Ibu menjerit bercampur mengomel. Namun Saila segera mengambil Saga dari tanganku, menggendongnya di pundak kanan, sambil menepuk-nepuk punggung Saga. Tak lama, Saga mulai membaik. Aku yang masih dilanda rasa terkejut dan ketakutan hanya bisa membisu.
"Kamu itu, Ris, lain kali kalau gendong anak kecil itu hati-hati. Jangan sembrono, apalagi ngawur. Kalau tadi cucuku sampai kenapa-napa, kamu yang harus bertanggung jawab." Ibu menatapku tajam, bahkan kulihat wajahnya merona menahan amarah.
"Maafkan, Rista, Bu."
"Nggak apa-apa, Mbak. Wajar kok, ini terjadi sama bayi. Saga mungkin kekenyangan, jadi dia gumoh. " Saila berusaha menenangkanku dengan mengusap tanganku.
"Tapi kalau Rista tidak menggendongnya keterlaluan, Saga tidak akan muntah."
"Mbak Rista nggak salah, Bu."
"Sudahlah Saila, jangan bela dia terus. Seharusnya kamu yang marah, ini anakmu, anak Ardi, cucuku. Bisa saja dia sengaja ingin mencelakai cucuku, karena dia sudah kalah denganmu, kan?"
"Astaghfirullah, Ibu! Rista nggak pernah punya niat yang seperti itu. Rista sangat menyayangi anak-anak Ardi."
"Ibu tidak percaya. Sejauh Ibu melihat, kamu selalu iri dengan Saila. Kamu selalu berusaha merebut Ardi dari Saila. Kamu pikir kamu masih pantas di sini?"
"Ibu! Jangan berkata seperti itu. Mereka berdua adalah istriku, Bu. Menantumu." Ardi datang dari belakang menggenggam tanganku. Aku hanya membatu, membiarkan sisa pertahananku membuat tubuhku tetap berdiri.
"Ibu benar, kan, Saila?" Ibu berganti mendekati Saila yang juga hanya membisu menatap kami. "Bukankah seharusnya kamu yang lebih membutuhkan Ardi daripada perempuan mandul itu? Kamu ibu dari anak-anak Ardi, penerus keluarga Ginanda Putra. Kamu adalah ratu yang berhak atas tubuh dan hati suamimu. Jangan pernah mau dikalahkan oleh cinta buta mereka, karena Ibu tahu kalian juga saling mencintai. Buktinya, kalian semalam sudah membuatkan si kembar adik, bukan?"
Mataku membola sempurna. Jadi ini maksudnya? Lalu kenapa dulu Saila bilang dia tidak bisa? Kulihat wajah Ardi memerah, entah karena marah atau malu. Tapi di sini aku kembali menjadi yang tersakiti. Menjadi bulan-bulanan cinta mereka. Kuhempaskan genggaman Ardi, dan berlari ke kamar, membereskan pakaianku. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semuanya sudah selesai. Aku pulang. Aku kalah. Aku menyerah.
~o0o~
Selamat menjalankan ibadah puasa.
Ini buat sahur besok, ya. Semoga kenyang sampe berbuka. 😂
Yang marah kesel geram, buruan luapkan. Sebelum besok dilarang, yess. 😂😜
#Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top