6. Kehidupan Baru
Mengurus dua bayi kembar bukanlah perkara mudah. Ditambah ini pengalaman pertama kami, dan praktik pertama kami. Ya, meski aku juga sedikit tidak berhak untuk turut ikut campur, tapi aku memaksakan diri membantu sebisaku. Walau pengalaman mengurus bayi sama sekali tak kumiliki. Karena yang kutahu hanyalah, jika bayi menangis itu pertanda dia lapar atau sedang pipis. Jika kalian bertanya di mana naluriku sebagai seorang ibu? Maka akan kujawab, lantas bagaimana Tuhan bisa memberikan takdir ini padaku? Maka, ketika Saila telah membaik dan diperbolehkan pulang, aku ikut serta menemani. Membuat lelah tubuh dan pikiranku dengan ikut meladeni dua jagoan Ardi, Barata Daya Ginanda dan Sagara Janu Ginanda.
Aroma bedak bayi bercampur oleum foeniculi, oleum cajuputi, dan oleum cocos menguar ke segala penjuru rumah. Pernak-pernik peralatan bayi tersebar mulai dari kamar si kembar hingga ruang tamu. Aku sedang menggendong Saga, si bungsu yang terpaut tujuh menit dengan Bara. Bayi mungil yang berbobot dua koma delapan kilo ini seketika mencuri perhatianku sejak kelahirannya. Bukan karena tubuhnya yang kalah tambun dengan Bara, tapi pandangan matanya saat pertama kali aku menyentuhnya, membuatku langsung jatuh cinta. Karena itu pula, aku sedikit memaksa Ardi dan Saila agar aku yang memberikan nama padanya. Sagara Janu Ginanda, kekuatan hidup seluas lautan, seakan menjadi doa untukku.
Saga bergerak-gerak, kelopak matanya sesekali membuka. Tak lama mata sekelam malam itu memandangku, lalu dia tersenyum. Aku membalas senyum Saga, meski ada yang bilang, jika bayi belum berumur empat puluh hari maka pandangannya belum jelas, aku tetap mengganggap Saga tersenyum padaku.
"Apa Saga sudah bangun?" Saila berjalan mendekatiku lalu ikut duduk di sampingku.
"Baru saja dia bangun. Lihat, dia masih sedikit mengantuk." Aku berbisik pada Saila, lebih tepatnya hanya sedikit menurunkan kualitas suaraku.
"Boleh aku menyusuinya, Mbak? Sepertinya dia haus."
Aku menghela napas, sebelum menyerahkan Saga pada ibunya, membiarkan jagoan Ardi itu menyusu. Bagaimana rupa alarm Saga pada Saila aku tak mengerti, hingga dia bisa tahu kapan anaknya merasa haus. Bukankah Saga tidak menangis?
Dengan lembut Saila membelai puncak kepala Saga, lalu menciumnya saat mereka saling menempel. Pemandangan itu, meski di mana-mana sering kulihat, tapi ketika bayi yang menerima perlakuan itu adalah anak dari suamiku, entah kenapa rasanya menjadi lain. Ada sesuatu yang menyumpal dadaku. Sesak.
Kualihkan mataku dari mereka berdua, memilih menatap deretan mawar kuning yang bermekaran di taman. Sesekali aku mencuri pandang pada mereka, memaksa bibir untuk ikut melengkung. Ya, ini memang bukan kali pertama aku menelan pemandangan yang seharusnya indah. Juga bukan kali pertama aku harus berbagi dengan Saila. Tapi perasaan cemburu yang susah payah kukubur dalam-dalam, nyatanya masih enggan untuk mati.
"Mbak Rista nggak kerja lagi?" Saila memecah kebisuan antara kami. Membuatku mau tak mau menelengkan kepala padanya.
"Masih kerja kok, tapi aku ambil cuti panjang. Rugi mau ninggalin Saga dan Bara," kelakarku mencoba mencairkan suasana.
Saila tersenyum, sangat tulus, aku tahu itu.
"Kalau Mbak capek, Mbak bisa istirahat dulu, biar aku yang jagain anak-anak."
"Aku nggak capek, sungguh. Seharusnya kamu yang banyak-banyak istirahat, biar bisa segera pulih. Kasihan Ardi, tuh, kangen sama kamu." Aku mengerling manja pada Saila, menggodanya. Meskipun pada akhirnya, aku sedikit menyesali ucapanku.
"Mbak Rista bisa aja, aku kan lagi masa pemulihan, Mbak. Jadi sekarang Mas Ardi sepenuhnya milik Mbak Rista."
Alisku mengkerut sempurna, apa maksud Saila?
"Maksudmu?"
Saila menarik napas sebelum berbicara, "kata Ibuku, wanita setelah melahirkan harus puasa dulu. Biar organ-organ dalamnya sembuh betul, Mbak. Jadi aku otomatis nggak bisa melayani Mas Ardi seperti biasanya." Ada semburat merah di wajahnya saat Saila mengakhiri ucapannya.
Aku hanya bisa membisu, berusaha mencerna baik-baik ucapan Saila. Tapi yang memenuhi kepalaku justru berbagai pertanyaan. Seberapa seringkah mereka bermesraan? Jadi, Ardi juga bisa melakukannya dengan mudah? Ya Tuhan, dadaku mendadak sesak.
~o0o~
Sudah satu bulan lebih aku di sini, tinggal di rumah Ibu. Seminggu lagi, si kembar aqiqahan. Seluruh anggota keluarga mulai sibuk mempersiapkan perlengkapan acara. Karena masa cutiku telah habis aku hanya bisa membantu saat malam hari. Terkadang sebelum pulang dari kantor, aku sempatkan untuk berbelanja keperluan acara.
"Langsung pulang atau mampir makan dulu?"
Ardi masih berkonsentrasi dengan ramainya jalanan, sementara aku sibuk mencatat apa saja yang belum dikerjakan di rumah.
"Langsung pulanglah, Di. Mau kemana lagi memangnya?"
"Kita mampir makan dulu, ya?"
"Aku belum laper, Di. Aku pengen cepat pulang, udah kangen sama Saga. Pasti dia nyariin aku." Senyumku terbit ketika mengingat wajah Saga. Kalau Bara? Sepertinya aku pilih kasih, tapi hatiku lebih memilih Saga, apa aku salah?
Ardi hanya diam, tak membalas ocehanku. Mungkin dia lelah karena sibuk mengurus dua istri dan dua bayi sekaligus. Ditambah pekerjaan di kantornya yang lumayan banyak. Efek tanggal tua, waktunya laporan.
Tapi tunggu!
"Kita mau ke mana, Di? Kok nggak lewat jalan ke rumah Ibu? Ini ... ini jalan ...."
"Jalan ke rumah kita."
Aku menatap penuh curiga padanya. Kenapa dia mengajakku pulang ke rumah kita?
"Apa--"
"Aku merindukanmu, Ris."
Aku membekap mulut dengan tiba-tiba. Ardi merindukanku? Berarti?
"Aku nggak bisa bebas di rumah Ibu. Kamu tahu sendiri, aku juga harus menjaga perasaan Saila. Dia masih sensitif sejak hamil, Ris. Aku tidak mau merusak mood-nya karena bisa mempengaruhi si kembar." Sebelah tangan Ardi menggenggam tanganku yang terbebas.
Jadi, ini juga demi Saila. Lalu kapan kamu hanya memikirkanku, Di? Tanpa membalas ucapan Ardi, aku masih setia dengan kebisuanku. Membiarkan tangan kami saling bersentuhan, aku justru memilih menikmati pemandangan di luar kaca.
Pulang ke rumah. Ke rumah kita. Bisakah aku menikmatinya, sementara ada Saila yang dikhawatirkan lelakiku. Tuhan, kuatkan aku.
~o0o~
"Kok telat pulangnya, Di?" tanya Ibu ketika kami baru saja memasuki rumah. Kuletakkan dua bungkus martabak manis di meja, sebelum memasuki kamar.
"Kami ada lembur, Bu." Oh, alasan yang bagus, Di. Desahku dalam hati.
"Kenapa bisa barengan kalian lembur? Kalian nggak mampir ke mana-mana, kan?"
Astaga Ibu, bisakah kali ini jangan bertanya, kami lelah, Bu. Tapi aku hanya diam menguping dari dalam kamar, mana berani aku membantah Ibu.
"Ibu, kami tadi memang lembur. Aku yang lembur banyak tadi, lalu Rista kusuruh menunggu."
"Kenapa baju kalian lungset, gitu?"
Aku tidak bisa melihat wajah Ardi sekarang, apakah akan memerah karena malu. Atau justru merah padam karena kesal. Meski tak dapat kupungkiri, di dalam kamar aku tertawa terpingkal-pingkal. Ya Tuhan, Ibu seperti memergoki anaknya sedang nakal saja. Untung aku tadi bersikeras tidak mau mengganti baju kami di rumah. Bisa panjang urusannya nanti.
Setelah cukup lama di kamar untuk berganti baju, aku memberanikan diri keluar. Ruang keluarga sudah sepi, hanya tinggal Ibu yang sibuk melipat kardus. Dengan ragu aku mendekati Ibu, duduk di sampingnya melakukan apa yang beliau kerjakan.
"Si kembar sudah tidur, Bu?" tanyaku berbasa-basi.
Ibu masih sibuk melipat kardus, lama tak menjawab.
"Baru saja tidur, dari tadi rewel terus. Kangen Papanya yang hilang mungkin."
Kututup erat kedua mataku. Aku tahu aku bukan menantu pilihan Ibu, tapi bukan seperti ini perlakuan yang ingin kuterima. Andai Ibu mengerti bagaimana aku selalu berusaha merebut kembali perhatian beliau, merelakan diperlakukan dengan tidak adil oleh suamiku sendiri, bahkan merendahkan diri ikut tinggal seatap bersama mereka agar aku diterima. Aku kembali. Aku hanya ingin diterima kembali, seperti dulu. Sebelum prahara ini datang.
"Ardi lagi di kamar sama istri dan anak-anaknya. Mereka masih butuh perhatian penuh Ardi, Saila. Jadi Ibu minta, kamu jangan sering-sering berduaan dengan Ardi. Saila juga butuh Ardi, lebih butuh daripada kamu." Tutup Ibu sebelum beranjak meninggalkanku.
~o0o~
Segini aja, ya.
Besok lanjut lagi kalau komennya nyampe 100 😂
Penulisnya masih genit, jadi sekali-sekali begini gapapa ya. 😜
#Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top