5. Cemburu

Kemilau langit mulai memudar, menyisakan semburat cahaya yang berpendar. Sang mentari masih enggan untuk beranjak, bersembunyi di balik awan yang mulai letih. Dalam keremangan senja, kuputuskan untuk menemui Saila di rumah ibu. Rumah yang kini menjadi istana kedua Ardi untuk Saila. Ya, aku telah  memutuskan untuk mengunjungi Saila kali pertama setelah pernikahan itu. Sudah delapan bulan lebih aku tak pernah ke sana. Meski hatiku masih sedikit kacau, namun aku ingin memberikan ucapan selamat kepada Saila dan Ardi secara langsung. Sejak telepon Ardi waktu itu dia tak bisa dihubungi. Mungkin dia sibuk mengurus kehamilan Saila. Tapi aku masih percaya, Ardi masih memikirkanku, buktinya, dia tak pernah telat mengirimiku jatah uang bulanan.

Aku sudah berada di depan pagar ketika menyadari rumah ini sedikit berubah. Ada banyak bunga mawar yang menghiasi halaman. Sepertinya Saila sudah merubah rumah ibu dengan baik.

Menarik napas dalam, aku menata kembali niat dan hati. Membuka pagar yang tak terkunci, tak ada mobil Ardi di sini. Perlahan kulangkahkan kaki menuju pintu.

Aku masih terdiam di depan pintu kayu  berukir sulur-sulur bunga, kembali bimbang. Segera kubuang pikiran-pikiran itu. Aku hanya ingin memberi selamat. Hanya itu.

"Assalamu'alaikum ...."

Lama tak ada jawaban.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikum salam ...,"

"Rista!"

"Ibu ...,"

Sudah lama sekali kami tidak bertemu membuatku sedikit kikuk bertemu ibu. Seolah ada jarak tak kasat mata di antara kami. Lama kami hanya membisu, hingga akhirnya ibu mempersilahkanku masuk dan duduk.

"Kamu sendirian, Ris?"

"Iya bu, Rista ke sini hanya ingin memberi selamat kepada Saila. Rista senang sekali akhirnya Ardi akan segera memiliki anak."

Ibu mengangguk pelan. Wajahnya datar.

"Kau benar, tidak hanya kalian yang bahagia tetapi ibu juga sangat bahagia. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar."

"Amin, lalu Saila sekarang di mana, Bu?"

"Dia pergi ke dokter bersama Ardi, mungkin sebentar lagi mereka akan pulang."

Aku mengangguk, sedikit kecewa. Lalu kuputuskan untuk menunggu mereka datang. Aku ke belakang menunaikan shalat maghrib. Tak lama terdengar suara mobil Ardi di halaman. Bergegas aku berlari ke depan.

Tampak Ardi memasuki rumah seraya menggenggam erat tangan Saila, mereka tersenyum bahagia. Hatiku menangis, aku kembali cemburu. Inikah yang biasa kau lakukan Di. Kau bisa semesra itu, tak mungkin tanpa ada rasa cinta di antara kalian. Kau sudah jatuh cinta pada Saila. Kau sudah melupakanku.

Aku berjuang menahan air mata agar tak jatuh. Aku tak ingin terlihat masih rapuh. Kau pasti bisa Rista!

Kusuguhkan senyum terbaikku menyambut kedatangan mereka. Ketika tatapan kami bertemu, wajah Ardi mendadak berubah. Bibir yang awalnya tersenyum itu menghilang. Mungkin dia kaget atas kedatanganku yang tak terduga ini.

"Bagaimana kabarmu, Saila?" Sapaku membuka percakapan, mengabaikan tatapan Ardi yang tak dapat kumengerti.

"Baik, Mbak."

"Aku senang sekali mendengar kabar kehamilanmu. Maaf baru sekarang bisa datang. Pekerjaan di kantor menyita tenagaku," lanjutku mengutarakan kedatanganku.

"Iya, Mbak gak apa-apa."

Hening. Entah apa yang ada di pikiran mereka sekarang.

"Selamat ya Saila, mudah-mudahan semuanya lancar. Bagaimana kata dokter? Apa bayinya sehat?" Aku kembali mencoba mencairkan suasana.

"Alhamdulillah, kata dokter bayinya sehat, Mbak," jawab Saila seraya tersenyum.

"Syukurlah,"

Hening kembali, sementara Ardi masih kaku kepadaku. Tak ada sapaan atau kecupan hangat lagi untukku. Semua sudah berubah. Lima tahun kebersamaan kami telah memudar. Bahkan dia tak menanyakan kabarku. Sehatkah aku, baik-baik sajakah aku.

Semakin lama udara di sekitar kami semakin memanas. Aku hanya bisa menahan napas setiap kali air mataku ingin jatuh.

"Aku pamit dulu, sudah larut malam. Assalamu'alaikum."

Aku bergegas meninggalkan mereka. Air mata yang tertahan tumpah seketika. Inilah yang aku takutkan. Dan kini menjadi kenyataan. Ardi sudah tak mencintaiku lagi. Dia hanya iba padaku. Lantas untuk apa dia mempertahankanku?

*****

Hari-hari kulalui dengan hati yang terluka. Luka yang semakin dalam. Sejak sore itu, Ardi tak pernah menelponku lagi. Bahkan dia tidak menghentikan langkahku waktu itu. Hubungan kami semakin memburuk. Pikiranku kacau, tubuhku lelah. Mataku semakin sembab, terlalu banyak air mata yang keluar.

Siang ini aku sudah tidak tahan lagi berada di kantor. Ada banyak pekerjaan yang belum selesai. Sementara pikiranku selalu tertuju pada Ardi. Ah, kepalaku tiba-tiba sakit. Maka kuputuskan untuk pulang dan cuti selama beberapa hari. Beruntunglah atasanku bisa mengerti keadaanku.

Merebahkan tubuh yang letih ini, anganku mulai melayang. Bayangan satu persatu kehidupan kami melintas di benakku. Saat pengantin baru, saat menanti kehamilanku, saat aku positif mandul, dan saat pernikahan Ardi dan Saila.

Perlahan tetes air mata mulai mengalir di pipi. Keindahan itu hanyalah sebuah kenangan untukku. Saila telah merebut Ardi dariku. Dengan hamilnya Saila, seluruh perhatian Ardi hanya untuknya. Tak ada sedikit waktu untukku lagi.

Aku seperti hidup seorang diri. Belaian lembut itu tak pernah datang. Rayuan itu tak terdengar lagi. Pelukan itu tak ada lagi. Semua telah berubah menjadi hampa. Hanya baju-baju Ardi yang selalu menemani tidurku, mengobati rasa rindu padanya.

*****

Enam bulan berlalu.

Tak pernah ada lagi kunjungan untukku. Ardi tak pernah datang, bahkan menelpon pun tidak. Aku semakin membenci Saila. Kecemburuanku menguasai hati. Hidupku menjadi hambar, hanya berteman emosi.

Dengan segala perjuangan aku bertahan. Setidaknya nanti setelah Saila melahirkan, aku akan mundur. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Aku ingin bebas dari cemburu itu, dari sakit hati itu, dan dari luka itu.

Malam ini aku menyibukkan diri dengan laptopku. Menghabiskan malam dengan kesepianku. Tiba-tiba ponsel yang tergeletak di balik bantal berbunyi. Ada telepon untukku. Kulihat layar itu, tertera nama Ardi di sana. Ardi menelponku? Di jam segini? Aku mulai ragu untuk mengangkat telepon darinya.

Sudah tiga panggilan tak terjawab dari Ardi. Aku masih ragu untuk menjawab telepon itu.

Panggilan itu datang lagi. Akhirnya aku mengangkat telepon dari Ardi.

"Halo, Ris, kamu di mana?" Suara Ardi bergetar.

"Aku di rumah ,Di, ada apa?"

"Datanglah ke rumah sakit, Saila akan melahirkan. Dia membutuhkanmu."

Aku terdiam.

"Di sana ada ibu, kan, Di? Ibu pasti jauh lebih berpengalaman di banding aku."

"Saila menginginkanmu, Ris. Aku mohon datanglah."

*****

Aku melangkah secepat mungkin menuju tempat Saila berada. Meski aku sangat membencinya, namun naluriku sebagai sesama perempuan mendorongku untuk menemuinya. Saila akan menghadapi masa tersulitnya. Dia harus berjuang demi anaknya.

"Di mana Saila, Di?" tanyaku begitu melihat Ardi.

Lalu kami masuk ke sebuah kamar. Langkahku terhenti, melihat Saila yang terkulai lemas menahan sakit di perutnya yang membesar. Dia sesekali meringis menahan sakit. Saila tersenyum melihat kedatanganku. Tatapan kami bertemu. Ada rasa iba menghampiriku.

Ardi menggenggam tanganku, menuntunku mendekati Saila. Aku masih membisu, berbagai gejolak menghuni hatiku.

"Mbak ...,"

"Ya ...," lirihku tergagap.

"Bantu Saila, Mbak."

"Aku--aku--aku tidak berpengalaman, Saila. Aku tidak mengerti apa yang bisa kubantu."

Kulirik wajah Ardi yang menahan tangis.

Kau begitu menghawatirkannya, Di?!

"Maafkan Saila, Mbak."

"Aku masih tak mengerti."

Kami terdiam, sesekali Saila meringis kesakitan.

"Ris, aku mohon maafkan aku dan Saila,"

"Apa maksudmu, Di?" Aku semakin bingung.

"Maaf, selama ini Saila sudah meminjam mas Ardi dari Mbak Rista."

Aku terdiam, mulai mengerti arah pembicaraan ini.

"Aku dan Saila tak bermaksud menjauhimu, Ris. Kehamilan Saila mengalami gangguan. Saila terus mengalami pendarahan sejak minggu ke sebelas, dia harus istirahat total. Kami semua takut, Ris." Ardi menghentikan kalimatnya.

Aku terkejut mendengar penjelasan dari Ardi. Jadi selama ini dugaanku salah. Aku sudah berburuk sangka kepada mereka semua. Aku mulai tersedu, menyadari kekeliruanku.

"Saila sangat membutuhkan dukungan serta perhatianku, Ris."

Aku mengangguk.

"Aku bisa mengerti, Di. Tapi kenapa kau sembunyikan ini dariku? Aku berhak tahu, Di. Kau tau betapa terlukanya aku saat itu. Dan aku sudah berburuk sangka kepada kalian. Maafkan aku."

"Saila tak ingin membuatmu semakin khawatir. Jadi kami merahasiakannya darimu, Ris. Percayalah, aku juga terluka. Aku sangat merindukanmu Ris, sungguh."

"Mas Ardi benar Mbak. Saila sudah melukai hati Mbak Rista. Saila tak ingin melukai lebih dalam lagi, dengan perhatian Mas Ardi yang terfokus kepada Saila."

Tangisku pecah, entah terbuat dari apa hatiku ini. Seharusnya aku bisa menerima keadaan ini. Semua wanita yang sedang hamil pasti menginginkan suaminya berada di sisinya selalu. Apalagi Saila mengalami pendarahan. Dia pasti sangat mengkhawatirkan bayinya.

"Ini semua salahku, Di. Aku masih belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran Saila. Aku egois, Di." Tubuhku terguncang, menahan tangis yang menyesakkan dada.

Dipeluknya tubuhku oleh Ardi. Lama kami menangis dalam pelukan. Diciumnya keningku lama, seolah melepas kerinduan yang membuncah. Aku sedikit malu, menyadari Saila yang memandangku dengan tersenyum.

Kulepaskan pelukan Ardi. Ini bukan saatnya untuk saling melepas rindu. Saila sedang berjuang untuk kami.

"Kata dokter Saila harus dioperasi."

"Kenapa?"

"Aku sedang mengandung dua bayi kembar Mbak."

Aku semakin terkejut.

"Benarkah? Kau akan mempunyai anak, Di! Dua anak sekaligus, Di!" pekikku tak dapat kutahan.

*****

Hampir dua jam kami menunggu proses operasi caesar Saila. Segenap do'a aku panjatkan untuk keselamatan mereka. Aku melihat Ardi yang mondar-mandir diliputi rasa khawatir. Dan kulihat ibu juga khawatir. Kupeluk ibu dengan lembut, tubuhnya terlonjak, ia sedikit terkejut.

"Maafkan Rista, Bu."

Ibu hanya membisu. Dengan canggung, aku merangkul pundak ibu. Bahu ibu bergetar, mungkin dia menahan marah atau...  air mata? Kami saling berdo'a dalam peluk, jika tautan tanganku di bahu ibu bisa disebut sebagai sebuah pelukan.

Akhirnya operasi selesai. Dokter mengatakan jika ibu dan kedua bayinya sehat.

Kami semua merasa lega. Senyum terkembang di wajah kami. Tak henti-hentinya kuucapkan syukur Alhamdulillah...

*****
#2015
(proses revisi)
---0---

Ada yang mau ekstra part?
Kalau semisal kurombak jadi novel, gimana?
*Nanti endingnya bakalan sama nggak?
-Enggak! Beda! Dan kisah mereka nggak akan berhenti sampai di sini. Jadi jangan buru-buru dihapus dari perpus kalian, ya.
*Kapan mulai update part baru?
-Menunggu waktu yang pas, #alesan 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top