4. Berbagi Hati

.
.
.
.
.

Ini menjadi sebuah awal yang baru. Menjadi istri pertama bukanlah pilihanku. Aku terus meyakinkan diri, jikalau Ardi bukan hanya milikku lagi. Aku belajar untuk lebih memahami Ardi, yang kini juga suami Saila, bahwa hati dan waktunya akan terbagi. Tak bisa dipungkiri, selalu ada rasa cemburu yang meracuni hatiku. Tapi aku juga tahu, mungkin Saila juga merasakan hal yang sama. Cemburu.

Seminggu telah berlalu sejak akad nikah itu. Aku mulai berbagi tugas dengan Saila, yang membuat kami semakin akrab. Seperti pagi ini, saat kami sibuk di dapur rumah ibu.

"Mbak Rista, ini nasi gorengnya tolong di cicipi."

Aku tersenyum, meletakkan sendok pengaduk kopi di atas meja. Segera aku mencicipi nasi goreng buatan Saila.

"Rasanya sudah pas. Enak." Kuberikan penilaianku pada Saila. Dia tersenyum puas dengan masakannya.

"Mbak yakin ini rasanya sudah pas?" Saila mencoba meyakinkan jawabanku.

"Iya, rasanya beneran enak, Saila. Pasti Ardi juga suka."

"Aku harap juga begitu mbak. Ini nasi goreng pertamaku untuk mas Ardi."

Nyeri tepat menusuk dadaku, tak pernah ada yang memasak khusus untuk Ardi selain aku. Tak lama Ardi datang ke dapur, di ikuti ibu di belakangnya. Mereka tersenyum kepada kami berdua. Mudah-mudahan ini awal yang baik untuk aku dan Saila.

"Apa sarapannya sudah siap?" tanya ibu.

"Iya bu, Saila sudah membuat nasi goreng untuk sarapan. Mudah-mudahan kalian suka dengan masakan Saila," jawab Saila kepada ibu.

"Kalau begitu mari kita sarapan," ajak Ardi.

Kami berempat lantas menuju meja makan. Aku meletakkan secangkir kopi di hadapan Ardi, dan secangkir teh untuk ibu, sedang Saila yang melayani makan Ardi.

Aku sedikit kikuk, biasanya aku yang selalu melayani ketika Ardi makan. Tapi kini tidak lagi, kembali kutancapkan dalam-dalam di pikiranku, bahwa Ardi bukan lagi milikku seutuhnya.

Kami lantas sarapan bersama. Aku melirik Ardi yang begitu menikmati masakan Saila. Rasa cemburu kembali melintas di hatiku. Aku menarik napas dalam, tak ingin merusak pagi yang cerah ini.

Setelah sarapan kami berbincang-bincang sebentar. Ibu memuji masakan Saila yang nikmat sekali, Ibu sangat menyukai Saila. Aku mengerti itu. Tapi perih juga hatiku mendengarnya.

Aku juga istri Ardi, menantunya. Masakanku juga tak kalah lezatnya dengan Saila. Ibu kembali menyanjung Saila yang sangat perhatian kepada Ardi, sangat mencintai Ardi, dan Ardi juga sebaliknya begitu sayang kepada Saila.

"Ibu ingin sekali, segera menimang cucu dari kalian. Rasanya sudah tidak sabar. Ibu harap kalian jangan menundanya."

Kulihat Saila tersenyum seraya mengangguk pelan. Aku semakin gelisah, hatiku membara. Kenapa ibu selalu membicarakan Saila, tidak pentingkah kehadiranku bagi ibu. Sudah hilangkah kasih sayang ibu padaku, hanya karena aku tak bisa memberikan seorang cucu untuknya. Air mataku di ujung pelupuk, tak tahan lagi dengan ucapan ibu.

Tapi aku harus bertahan demi Ardi. Ya, hanya Ardi yang menjadi semangatku untuk terus memandang masa depan. Lalu terbesit di pikiranku untuk kembali ke rumah.

"Maaf sebelumnya, sudah dua minggu Rista cuti. Besok senin Rista harus kembali kerja. Jadi Rista mau pulang saja, karena dari sini ke kantor sangat jauh jaraknya." Aku mencoba menjelaskan perlahan kepada semua orang agar tidak menjadi salah paham.

Hening. Semua terdiam, aku mencoba menenangkan diriku sendiri.

"Atau Saila mau ikut tinggal sama kami?" tanyaku pada Saila berbasa-basi. Aku harap dia menolaknya. Sungguh, aku tak sanggup jika harus satu atap dengannya.

"Terserah mas Ardi saja," jawab Saila pelan.

"Bagaimana menurutmu, Di?" tanyaku pada Ardi.

"Kau benar, Ris."

Deg. Jantungku terasa berhenti sejenak. Kau berubah Di, kau tak lagi mengerti aku.

"Kita sudah dua minggu lebih cuti. Aku rasa kau harus pulang ke rumah  Ris. Dan untuk Saila mungkin aku akan membeli rumah lagi untuknya," lanjut Ardi.

Aku menarik napas, membuang semua pikiran burukku.

"Tidak, Di, kau tak perlu membeli rumah lagi. Biarkan Saila tinggal dengan ibu, agar pengeluaran kalian tidak semakin bertambah." Ibu memberikan pendapatnya. Dan kali ini aku setuju dengan ibu. Aku rasa ini lebih baik.

"Bagaimana, Di?" tanya ibu pada Ardi.

Ardi berpikir sejenak.

"Baiklah. Aku rasa sebaiknya Saila tinggal bersama ibu, agar ada yang menjaga ibu. Kau setuju Saila?"

Saila hanya mengangguk.

Aku memaksakan bibir untuk tersenyum. Berharap penderitaanku segera berakhir.

****

Lega rasanya bisa kembali ke rumah ini. Rumah yang begitu banyak menyimpan kenanganku bersama Ardi. Saat suka dan duka menghampiri kehidupan kami.

Aku memandangi foto-foto pernikahanku dengan Ardi yang menghiasi dinding kamarku. Begitu indahnya saat itu kurasakan. Menjadi pengantin baru, bak raja dan ratu sehari.

Lalu aku teringat pernikahan Ardi dan Saila. Air mataku kembali jatuh. Mereka juga pengantin baru. Dan karena alasan pengantin baru jugalah ibu memaksa Ardi untuk tinggal bersama Saila selama dua bulan ini. Ardi tak bisa berkelit, ini demi kebaikan ibu dan Saila. Karena Saila juga berhak merasakan indahnya menjadi pengantin baru.

Aku tak bisa berbuat banyak. Aku tahu ibu ingin segera memiliki seorang cucu. Kami hanya menuruti perintah ibu. Walau hatiku bak disayat sembilu, tapi ini adalah jalan yang kami pilih.

Aku harus berbagi suami dengan orang lain. Bisa saja aku memilih untuk mundur. Namun aku masih mencintai Ardi. Hanya dia satu-satunya orang yang mengerti keadaanku. Ini belumlah berakhir Rista, perjuanganmu masih panjang.

Lamunanku terhenti karena dering telepon, ternyata itu Ardi.

"Bagaimana kabarmu, Ris?"

"Aku baik-baik saja."

"Maafkan aku."

"Tak perlu," jawabku pendek.

"Aku tak bisa adil."

"Kau sudah melakukan yang terbaik, Di."

"Tapi ...."

Kudengar suara Ardi mulai bergetar, aku menggigit bibir.

"Bagaimana perjuanganmu?" tanyaku mencairkan suasana.

"Perjuangan?"

"Perjuangan untuk segera mempunyai jagoan kecil."

Ardi tertawa kecil. Aku mulai lega mendengar tawanya lagi.

"Kau bisa saja, Ris."

"Jadi apa jawaban pertanyaanku?"

"Belum. Doakan saja."

Hening.

"Ris ...."

"Ya."

"Minggu depan aku akan pulang ke rumah. Aku merindukanmu."

Aku terdiam. Ardi ternyata masih merindukan rumah kami.

"Ya, aku akan menunggumu. Aku juga merindukanmu."

Kembali hening.

"Kau baik-baik di sana, Ris. Jaga dirimu. Selamat malam."

"Selamat malam."

Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Sedih dan bahagia bercampur menjadi satu. Aku selalu menunggumu  Di. Selalu merindukanmu.

*****

Hari ini Ardi menepati janjinya, dia datang padaku. Malam ini dia seolah menjadi milikku seutuhnya. Pertemuan ini membuat kami terasa canggung, seolah ada jarak di antara kita. Kami hanya terdiam, hanya mata yang berbicara.

Aku semakin gelisah, lantas Ardi memeluk tubuhku, aku pun membalas pelukannya. Seolah melepas rindu yang menggebu di hati. Dia mengecup keningku dengan mesra. Aku menutup mata, merasakan belaian lembut Ardi di pipiku. Dan malam ini bulan menyelimuti mimpi kita. Mendesah dalam aroma cinta yang indah. Aku berharap pagi tak kan pernah datang.

****

"Pagi yang indah, Ris?"

"Kau selalu saja menggombal, Di."

"Aku serius. Pagi ini adalah pagi terindah dalam hidupku, Ris."

"Kau pasti sering merayu Saila dengan gombalanmu itu."

Kami terdiam. Entah kenapa aku menyebut nama Saila. Mungkin Saila juga merasakan kebahagiaan sepertiku di setiap paginya. Aku menghela napas.

"Aku rasa kau harus mulai memberi kami jadwal kunjunganmu, Di?"

"Maksudmu?"

"Harus ada jadwal kapan kau bersamaku dan kapan kau bersama Saila."

Ardi mengangguk pelan. Aku rasa dia mulai mengerti tugas barunya.

"Aku akan membagi waktuku empat hari di sini dan tiga hari di sana."

Aku mencoba mencerna ucapan Ardi. Ini rasanya tak adil.

"Kau akan capek, Di. Kau juga harus istirahat. Bagaimana kalau dua minggu di sini dan dua minggu di sana?"

"Itu terlalu lama, Ris."

"Tapi jika kau harus seminggu kesana kemari aku takut kau akan jatuh sakit, Di. Ayolah ... cobalah mengerti, Di. Aku rasa ibu dan Saila juga setuju dengan ideku." Aku tersenyum padanya.

Ardi membalas senyumanku.

"Baiklah sayangku. Aku tak bisa terlalu lama berdebat denganmu. Tapi kau harus tau Ris, aku selalu merindukanmu."

Ardi membelai rambutku yang masih basah terurai. Dalam hati aku bersyukur Ardi masih mencintaiku seperti dulu. Seolah tak terjadi apa-apa dengan kami.

*****

Semua menyetujui ideku. Bahkan ibu tidak memberikan komentarnya. Sedangkan Saila hanya mengangguk saat kami bertemu untuk membicarakan hal ini.

Dan akhirnya selama dua minggu Ardi bersamaku dan dua minggu berikutnya bersama Saila. Semua terjadi begitu saja. Tak ada lagi rasa cemburu yang datang. Setiap aku merindukan Ardi, aku hanya berpikir dia keluar kota. Ini sedikit membantu menenangkan hatiku.

Lima bulan berlalu. Dan aku bisa melewatinya. Tapi belum ada kabar tentang kehamilan Saila. Aku sedikit lega. Entah harus bahagia atau bersedih. Tapi aku masih was-was, masih takut menghadapi kabar itu. Namun segera aku membuang jauh-jauh pikiran burukku. Aku hanya ingin Ardi bahagia. Hanya itu.

Aku mulai bisa menghabiskan hari-hariku dengan tenang. Dan teman-teman di kantorku mulai mengerti keadaanku. Awalnya mereka shock mendengar ceritaku, tapi akhirnya mereka bisa memahami keadaanku. Bahkan mereka selalu mendukungku untuk terus bersabar dan bertahan.

Aku melewati hari demi hari dengan harapan baru. Aku pasti bisa bertahan, Di. Demi cinta kita.

Di bulan ke enam masih belum ada kabar tentang kehamilan Saila. Aku mulai khawatir. Aku harus bicara dengan Ardi. Aku mengambil handpone di tasku. Mencari nomor Ardi. Namun rupanya Ardi lebih dulu menelponku, segera akuu mengangkat telponnya.

"Halo, Ris."

"Ya."

"Ris, Saila hamil, Ris. Sudah empat minggu. Aku senang sekali, Ris, aku akan menjadi seorang Ayah."

Klik.

Aku hanya terdiam. Ini adalah kabar baik untuk kami. Kabar yang selalu aku nantikan. Aku memang bahagia, tapi aku juga khawatir. Ardi begitu bahagia. Aku tahu pasti dia selalu tersenyum sepanjang hari. Dan aku hanyalah seorang istri yang tak sempurna. Aku merasa aku akan terlupakan. Mungkin sebentar lagi.

***

Surga Kedua
Vita Savidapius
#2015

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top