2. Riak Kecil
Aku masih merenungkan kata-kata Ardi barusan. Hamil? Inikah jawaban atas penantianku selama ini? Inikah rasanya tanda-tanda itu? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku. Meluapkan beragam rasa dalam hati, mengalirkan sebuah kehangatan dalam jiwa.
"Ayo, Ris, kita ke dokter sekarang."
Aku tersadar dari tamasyaku, terkejut atas ajakan Ardi. Kulihat Ardi begitu bahagia, aku pun tersenyum menyadari kunci mobil sudah di genggamannya. Dia bersemangat sekali untuk mengantarku ke dokter. Tapi tiba-tiba ada sebersit keraguan yang merasuki pikiranku. Aku takut ini bukan tanda-tanda itu. Aku takut ini hanya sakit biasa. Aku takut mengecewakan Ardi. Dan ketakutan-ketakutan yang lainnya datang begitu saja, menggantikan luapan kebahagiaan yang sempat singgah lima menit yang lalu.
"Kok malah nglamun Ris, ayo lah ... apa kamu tak ingin mengetahui hasilnya?"
Aku terdiam, sesaat kupandang lelaki di hadapanku ini. Ada harapan yang membias di wajah tampannya. Senyumnya bahkan tak pernah lepas dari bibirnya. Tapi aku takut, takut jika ini tak sesuai dengan harapannya. Aku meremas jemariku, tanpa sadar menggigit bibirku sendiri.
"Apa sebaiknya nanti sepulang dari kantor saja kita periksa ke dokter. Ini sudah jam tujuh lebih, nanti kita terlambat." Selepas mengatakannya aku menatap ragu pada Ardi.
Ardi sedikit kecewa dengan usulanku. Sekilas ia melirik jam di tangannya.
"Hhmm ... baiklah, tapi jaga dirimu baik-baik."
Aku mengangguk, sedikit lega. Tersenyum pada Ardi lalu memeluknya. Aku mendesah, bukannya aku tak ingin pergi ke dokter dan mengetahui hasilnya. Aku hanya sedikit gugup untuk pergi ke dokter sekarang.
****
Di kantor, aku masih diliputi rasa cemas, pikiranku tidak dapat berkonsentrasi penuh pada setumpuk file yang harus kukerjakan. Pekerjaanku rasanya terlalu banyak. Rasanya ingin bergelung di tempat tidur seharian. Aku memutar kedua mata, mengambil satu file kemudian mulai mengerjakannya. Baru sepuluh halaman tiba-tiba rasa mual kembali datang. Tak ingin muntah di sini, segera aku berlari ke toilet dan menahan suaraku agar tak terdengar oleh yang lain.
"Huweek ...." Aku membasuh mulutku yang kering, tak ada sesuatu yang keluar. Perutku kembali seperti diaduk-aduk, dan aku tak mengeluarkan apapun dari mulutku, lagi.
"Kamu kenapa, Ris?"
Aku sedikit terkejut oleh kehadiran Laras di sampingku.
"Tidak apa-apa, Ras. Aku hanya lagi nggak enak badan." Aku tersenyum, mencoba menutupi rasa mual yang kembali menyerang.
"Wajahmu pucat sekali Ris, kamu baik-baik saja, kan?"
Aku mengangguk pelan, rasanya tak sanggup lagi untuk bicara.
"Ayo kita keluar," ajak Laras padaku.
Kami pun melangkah keluar bersama. Aku kembali ke mejaku, menatap tumpukan file yang belum kuselesaikan. Kepalaku mendadak pusing, tubuhku terasa lemas. Kombinasi pusing dan mual membuat pertahanan tubuhku melemah. Dan semuanya menjadi gelap.
****
Aku membuka mata perlahan, memperhatikan sekeliling aku mengernyit, ini bukan di kamarku. Lalu di mana aku?
Bau obat-obatan mulai menusuk hidung. Merasakan nyeri di tangan, kulihat tangan kiriku, ada cairan infus yang mengalir ke tubuhku. Barulah aku mengerti, ini di rumah sakit.
Tak lama, aku melihat seseorang membuka pintu. Tubuhku menengang, ternyata itu Ardi. Ada guratan kelelahan di wajahnya.
"Aku kenapa, Di?" tanyaku tak sabar.
Ardi mengambil kursi di samping pintu, dan meletakkannya di sisiku.
"Kamu pingsan di kantor, teman-temanmu yang membawamu kesini."
Aku terkejut tentu saja, pingsan di kantor? Oh, tidak!!
"Lalu apa kata dokter?" Aku mulai penasaran. Bagaimanapun aku pasti telah melalui berbagai macam pemeriksaan.
"Maag kamu kambuh ..., kamu pasti sering telat makan."
Hah?! "Hanya itu?" sergahku bingung. Kenapa itu yang Ardi katakan padaku?
Ardi mengangguk.
"Jadi aku tak hamil?"
Ardi menggeleng. Aku menarik napas. Ada sedikit rasa kecewa yang menerpaku. Tidak. Ada banyak rasa kekecewaan yang menguburku hidup-hidup. Aku menatap Ardi yang masih memandangku. Aku yakin pasti dia juga sangat kecewa.
"Maafkan aku."
Aku memegang tangannya, setidaknya itu membuat dia tersenyum kembali.
****
Aku tak lagi terobsesi tentang seorang anak. Membiarkan hidupku mengalir begitu saja. Toh kalau sudah waktunya aku akan memilikinya. Aku juga berusaha meredam hatiku, lebih tepatnya meredam cemburu ketika Laras telah melahirkan anak keduanya. Juga celoteh orang-orang di sekitarku yang makin girang membicarakan anak Laras yang lucu. Aku hanya berusaha lebih sabar dan ikhlas. Aku hanya harus menunggu saat itu datang padaku. Aku yakin aku bisa!
Di tahun ketiga usia perkawinan kami, tanda-tanda itu belum juga ada. Aku pun mulai resah. Ada rasa khawatir yang terus membayangiku. Prasangka buruk itu kembali datang. Aku takut! Aku rasa aku harus membicarakannya dengan Ardi.
Malam ini begitu terang, tak ada mendung ataupun kilatan petir. Gemerlap bintang menambah elok lukisan di langit malam. Aku dan Ardi duduk di bangku taman, menikmati terangnya sinar rembulan. Di temani dua cangkir teh hangat dan sepiring brownis coklat kesukaanku.
"Di, aku rasa kita harus ke dokter." Aku memulai percakapan.
"Kenapa?" tanya Ardi sedikit kaget. Matanya menatap dalam padaku.
Aku menarik napas dalam sebelum mengatakannya.
"Aku rasa ada yang salah dengan kita berdua, Di. Entah itu aku atau kamu."
"Maksudmu?"
"Di ... ini sudah tahun ketiga pernikahan kita. Tiga bulan lagi kita akan merayakannya yang ke empat." Aku berhenti sejenak, berharap Ardi mengerti maksudku.
"Lalu apa yang kamu risaukan, Ris?" tanya Ardi yang kurasa masih tak mengerti ucapanku.
"Itu artinya selama itu pula kita belum di karuniai seorang anak."
Ardi memandangku, mulai mengerti arah pembicaraan ini.
"Aku hanya ingin memastikan, kita bisa mempunyai anak. Aku takut--"
"Kau tak perlu takut, Ris, kekhawatiranmu itu berlebihan. Kita hanya perlu menunggu."
"Menunggu?? Kita sudah hampir empat tahun menunggu, Di!! Itu bukan waktu yang singkat .... Aku pikir sebaiknya kita cek ke dokter ...."
Ardi terdiam, mungkin dia mulai memikirkan kata-kataku.
"Baiklah, jika itu maumu, besok kita pergi ke dokter. Tapi aku minta sama kamu, apapun yang terjadi kita akan tetap bersama."
Aku mengangguk, membenarkan ucapan Ardi. Apapun yang terjadi nantinya, aku dan Ardi akan selalu bersama. Aku melemparkan tubuh di pelukan Ardi. Merasakan detak jatungnya yang membelaiku, ada kedamaian di sana. Dan aku mulai terlelap, dalam buaian cinta Ardi.
*****
Pagi ini perasaanku tak menentu, segala kerisauan memenuhi kepala. Setelah dua hari yang lalu kami melakukan serangkaian pemeriksaan, hari ini dokter akan memberitahukan hasilnya kepada kami. Selama menunggu itu pula membuat perasaanku tak karuan. Kulirik Ardi yang duduk di sampingku, ada semburat rasa khawatir di wajahnya. Tanganku menggenggam tangannya. Dia memandangku, tersenyum kepadaku.
"Tuan Ardi dan nyonya Rista, silahkan masuk."
Seorang perawat memanggil nama kami. Aku dan Ardi lantas bergegas memasuki ruangan dokter .
"Silahkan duduk."
"Terima kasih, Dok," jawab Ardi.
"Bagaimana hasilnya dok?" tanyaku yang sudah tak sabar.
"Hhhmmm ... baiklah, saya mulai dari tuan Ardi. Dari hasil pemeriksaan, di sini mengatakan anda baik-baik saja. Dengan kata lain anda normal. Saya rasa hanya butuh waktu ...." Dokter menghentikan ucapannya.
"Terus kalau saya, Dok?"
"Nyonya Rista, sebelumnya saya minta maaf. Saya minta anda tetap sabar. Di sini tertulis jika anda terkena sindrom ovari polisistik, adanya gangguan hormon yang menyebabkan ovarium mengalami kesulitan menghasilkan ovum atau sel telur. Ini mengakibatkan ovulasi atau pembuahan sulit terjadi karena kurangnya sel telur yang dapat berovulasi.*" Dokter kembali terdiam, menghentikan penjelasannya.
Aku mulai takut, kekhawatiranku akan menjadi nyata. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Jadi, apa saya mandu, Dok?"
Dokter itu tak menjawab, hanya mengangguk perlahan. Memandang iba padaku, dan meminta maaf lewat tatapan matanya. Lemas sudah tubuh ini, tak mampu lagi untuk bicara. Tenggorokanku rasanya tercekat. Digenggamnya tanganku oleh Ardi, dia berusaha menenangkan. Aku tahu, dia pasti kecewa padaku. Aku tak mampu memberikannya keturunan. Aku hanya wanita yang tak berguna. Aku hanya wanita yang tak sempurna. Bagaimana dengan masa depan pernikahan kami? Tubuhku gemetar, napasku tak beraturan, dan air mata mulai berjatuhan. Aku berharap ini hanyalah sebuah mimpi, dan aku terbangun dengan kisah yang lain.
***
Vita Savidapius
Surga Kedua
#2015
*) Sumber by google
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top