16. Mengumpulkan Kepingan


Terkadang, awal sebuah pertemuan bisa menjadi tolak ukur kepribadian seseorang. Namun pendapat itu juga bisa dibantah dengan peribahasa, tak kenal maka tak sayang. Dua pendapat itu juga yang kadang bisa menipu cara berpandang seseorang kepada kita, juga sebaliknya.

Untuk kali ini, aku memilih pendapat yang pertama.

Wajah yang tidak terlihat ramah masih betah membungkus Baya. Ya, bocah lelaki itu yang kata Gala telah menginjak kelas lima sekolah dasar memang memiliki sikap yang kurang baik. Sulit berkenalan atau bersikap baik dengan orang baru.

Wajar memang, namun jika selama dua jam berbincang-bincang dengan sedikit rayuan, dan bocah lelaki itu hanya menampilkan ekspresi datar, membuatku meyakini sesuatu.

Baya tidak menyukaiku.

Lain Baya, lain Asha. Gadis mungil itu selalu menempel padaku sejak pertama kali bertemu. Gadis yang lahir awal Desember itu berceloteh riang tentang kegiatan sehari-harinya di rumah maupun di sekolah. Membuatku gemas ingin menyuapinya, dan Asha sangat antusias menerima sendok pertama dariku.

Sisanya, kami bercerita tentang kebiasaan kedua bocah itu. Baya yang betah berlama-lama di depan komputer, atau mengotak-atik lego. Sedang Asha yang gemar bermain boneka dan menggambar. Jika boleh memilih, aku memang lebih nyaman dengan Asha.

"Kalau kamu, Ris?" Mama meletakkan sendoknya, mengambil segelas air putih lalu meneguknya.

"Rista tinggal sendiri, Ma. Kebetulan kedua orangtua Rista sudah meninggal."

Mama menatapku sendu, tersirat ucapan permintaan maaf dari matanya.

"Rista sudah biasa mandiri, kok, Ma." Aku mencoba menenangkan Mama ketika gurat kegelisahan muncul dari wajahnya.

"Tapi tetap saja, kamu harus hati-hati. Zaman sekarang banyak rampok dan begal yang suka main pistol. Lain dengan Gala, walau pun dia punya pistol, tapi dia tak akan membegal hati kamu."

Mataku membola seketika, bahkan Gala sampai menyemburkan air putih yang sedang dia minum. Aku dan Gala lalu saling bertemu pandang, antara heran dan kaget dengan kelakuan ajaib mamanya.

"Mama, please, deh. Jangan aneh-aneh." Gala kembali menuang segelas air putih, lalu meneguknya hingga tandas.

"Siapa yang aneh-aneh. Kamunya aja yang lelet. Masih mau menunda berapa lama lagi? Setahun? Dua tahun lagi?"

Baiklah, aku sepertinya sedang berada di tempat yang tidak seharusnya. Pertengkaran tak kasat mata antara kedua ibu dan anak itu membuatku bingung harus bersikap apa. Aku mengalihkan perhatian kepada Asha yang baru saja menyelesaikan makanannya.

"Asha mau nambah lagi?"

Gadis itu menggeleng, "aku sudah kenyang, Tante. Kata Papa, kalau malam nggak boleh makan banyak-banyak."

"Memangnya kenapa?"

"Nanti aku gendut, nggak cantik lagi kayak princess." Telunjuk Asha mengarah pada boneka Barbie yang terletak di kursi sebelahnya.

Aku menoleh pada Mama yang hanya membalas dengan senyuman.

"Eyang, Baya ke kamar dulu, ya. Ada tugas dari sekolah."

Semua mata tertuju pada bocah lelaki berkaus hijau yang tengah berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Sudah kukatakan bukan, dia tak menyukaiku. Jadi aku tak akan kaget kalau dia tidak menganggapku sama sekali. Bahkan untuk sekadar pamit undur diri.

Aku melirik AC yang melingkar manis di tangan kiri. Jarumnya sudah menunjuk angka delapan lebih lima puluh menit. Aku harus pulang. Tidak baik jika seorang wanita bertamu hingga larut malam.

"Maaf, Ma, Rista juga harus undur diri. Sudah malam."

Mama tersenyum lalu mengangguk.

"Ya sudah, lain kali kita lanjut ngobrolnya, ya?"

Aku membalas dengan anggukan, "iya, Ma. Nanti Rista akan sering-sering telepon Mama."  Aku menoleh pada Gala yang tengah berbincang dengan Asha.

"Saya balik dulu, ya, Gala."

"Sekarang?" Gala melirik tangannya, lalu kembalu menatapku.

"Kenapa tidak menginap saja di sini? Besok kita bisa berangkat bersama ke kantor."

Aku berdecak. Lihat kan? Dia bahkan tanpa malu merayuku di depan ibunya. Apa dia pikir aku wanita jalang yang suka menginap di rumah lelaki sembarangan. Maaf, ya, biar pun aku janda tapi kejandaanku sangat bermatabat.

"Bukan muhrim. Lagian, saya nggak bawa baju ganti. Masa iya, besok pakai baju ini lagi? Bisa dibilang aneh-aneh sama teman-teman nanti, Pak Gala."

"Rista benar, Gala. Lain kali saja dia menginap, sekarang yang harus kamu lakukan adalah mengantarnya pulang. Tadi Rista ke sini sama kamu, kan? Sekarang bawa Rista ke rumahnya."

"Iya, Mama. Gala sudah tahu, kok."

"Eng... Enggak usah, Ma. Rista mau ke kantor dulu soalnya. Mobil saya ada di sana."

"Besok aku jemput kamu. Kita tetap berangkat bersama-sama."

~o0o~

Apakah ada yang memiliki pintu Doraemon?

Jika ada, aku meminjamnya sebentar.

Berdua semobil dengan Gala membuat kinerja jantungku bertindak tidak sesuai prosedur. Antara takut dan gelisah, aku selalu merasa tidak aman berada di dekatnya. Terlebih tubuh yang seharusnya bisa lebih rileks akibat kelelahan justru menjadi tegang. Bahkan punggung pun enggan untuk bersandar.

Sayang
Opo kowe krungu jerit e ati ku
Mengharap engkau kembali
Sayang
Nganti memutih rambut ku
Rabakal luntur treno ku

Wes tak cobo ngelalekne jenengmu soko ati ku
Sak tenan e ra ngapusi isih terno sliramu
Duko pujane ati nanging koe ora ngerti
Kowe wes tak wanti wanti
....

Suara merdu penyanyi dangdut pendatang baru memecah kesunyian kami. Gala bahkan turut bersenandung, tak lupa kepalanya meliuk ke kiri dan ke kanan. Salah satu jemarinya menghentak kemudi, ketika lagu berganti irama.

"Suka dengan lagu ini, ya?" Aku mencoba mengalahkan merdunya suara si penyanyi. Agak risih sebenarnya, karena aku kurang begitu suka dengan lagu ini.

"Tidak juga."

"Tapi bisa sampai hafal begitu."

"Hanya kebetulan. Lagi ngetrend, sering diputar di mana-mana, dan liriknya mudah dihafal. Tidak salah, kan, menikmati sesuatu yang sedang populer? Biar kekinian, lah, Ris." Gala masih mengangguk-angguk seiring irama lagu.

"Suka dangdut?"

"Lumayan. Kalau kamu?"

"Sedikit."

Lagu berganti dan kami kembali membisu, menikmati alunan musik dengan pemandangan jalanan yang lumayan sepi. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan, namun perjalanan ini sangat lama sekali. Jika dihitung sesuai prediksiku, jarak antara rumahku dengan rumah Gala tak lebih dari empat puluh lima menit jika sedang lancar. Dan sekarang, hampir setengah jam berlalu, namun tanda-tanda wilayah yang berdekatan dengan rumahku belum nampak.

"Boleh saya saja yang menyetir, Pak? Saya lebih tahu jalan ke rumah."

"Kamu mau saya cium?"

"Eh? Enggak. Saya cuma mikir, jangan-jangan Pak Gala tidak hapal daerah sini. Jadi lebih baik saya saja yang menyetir."

"Tiga."

Aku menatapnya tak percaya, jawaban macam apa itu.

"Tiga? Apanya yang tiga, Pak?"

"Empat."

"Pak Gala tidak sedang kesambet setan, kan?" Aku menyentuh kening Pak Gala, tidak panas.

"Lima. Kamu berhutang lima ciuman padaku."

Aku hanya menatapnya tanpa berkedip. Lima ciuman? Astaga, sepertinya Pak Gala memang sedang kesambet setan.

"Sekali lagi kamu panggil aku, Bapak, aku cium kamu sekarang juga."

Ooh, aku menutup bibir tak percaya. Lupa dengan perjanjian tak tertulis kami. Yang bisa kulakukan sekarang hanya berdoa, semoga Pak Gala melupakannya.

"Mama kamu baik." Aku mengalihkan topik. Mengusir hawa panas yang tiba-tiba membakar wajahku.

"Sudah kubilang, kan? Mamaku baik, tidak jahat seperti Ibu mertuamu."

Mataku berpindah ke wajah Gala, mencoba menelisik bagaimana dia tahu tentang sikap ibu padaku.

"Mama lebih dulu mengenalmu daripada aku. Kebetulan Mama berteman dengan Ibumu. Saat aqiqahan anak mantan suamimu, dia ada di sana."

Aku menutup wajah dengan kedua tangan, saat peristiwa memalukan itu berputar kembali.

"Mama tahu siapa saya? Berarti beliau juga tahu kalau.... " Lidahku mendadak kelu. Tak sanggup jika harus mengatakannya lagi.

"Mama tahu."

"Lalu, respon beliau?" Aku menggigit bibir, saat kecemasan melanda. Aku tak sanggup membayangkan jika nanti suatu saat Mama bertemu dengan Ibu, lalu mereka saling mejelekkanku.

"Mama bilang, sedari awal dia kurang suka dengan Ibumu saat berencana menyuruh anaknya menikah lagi. Tapi mereka berteman sudah sejak lama. Apalagi, Ibumu sangat menginginkan keturunan."

Gala mengecilkan volume musik player, lalu menatapku sekilas sebelum kembali memusatkan pandangan pada jalanan.

"Mama beberapa kali pernah bertemu denganmu meski hanya sekilas. Dia tahu kamu baik bahkan mengerti bagaimana posisimu. Dan saat kusodorkan fotomu, dia langsung mengenalimu."

"Lalu?" Aku tak tahan ingin mengetahui bagaimana respon Mama. Wajar bukan, ini pertemuan resmi pertama kami. Dan tadi beliau sangat baik dan ramah padaku.

"Mama setuju."

"Setuju? Apa hubungannya setuju dengan respon Mama padaku?" Aku bersedekap, kesal dengan ke-mbulet-an lelaki super cerewet di sampingku.

"Mama setuju kamu menjadi istriku."

Aku melotot padanya, saat seperti ini mana ada yang mau menerima lamaran macam itu.

"Jangan bercanda, deh. Saya baru pertama bertemu dengan Mama, belum banyak ngobrol juga, mana mungkin beliau setuju saya menikah denganmu."

Gala menepikan mobilnya, lalumenatapku sekilas, tangan kirinya menggenggam tanganku yang kembali terbebas.

"Karena Mama yakin, kamu adalah wanita yang baik. Yang bisa menjadi surga kedua untuk anak-anak yang bahkan tidak terlahir dari rahimmu. Kamu wanita yang kuat, yang dengan tangguh bertahan di sisi suami yang bahkan telah membagi hatinya dengan wanita lain. Kamu wanita yang sabar, yang rela sendirian saat seharusnya waktu kalian terbagi dengan rata. Kamu wanita yang sempurna, dengan segala kelebihan yang kamu miliki, mengalahkan kekurangan ada padamu."

Hening. Mataku terbius oleh ketulusan yang menguar dari kedalaman matanya. Tangan kanan Gala membelai wajahku.

"Kenapa Mama bisa seyakin itu? Kami bahkan baru pertama bertemu secara langsung." Aku tak tahan dengan segudang rasa penasaran yang mendominasi hati. Beribu tanya sudah memenuhi kepala, saling berlompatan ingin keluar dari bibir.

"Mama tipe orang yang mudah mengenali karakter seseorang. Dia mantan psikolog, dan jangan lupakan bagaimana embernya Ibu mertuamu memamerkan mantu barunya." Gala tersenyum getir, seakan meminta maaf karena telah mengusik masa laluku kembali.

"Baya dan Asha...."

"Seperti yang kamu tahu, mereka anak-anakku."
Gala semakin mengeratkan genggamannya, tak ingin melepaskan barang sejenak.

"Kamu tahu masa lalu saya, tapi saya tidak tahu masa lalumu sama sekali." Aku bersuara setelah beberapa saat hanya menunduk, tak sanggup terbius oleh mata kelam Gala.

"Suatu saat akan kuceritakan."

"Baya tidak menyukai saya."

"Percayalah, lambat laun anak-anak akan menyukaimu. Baya tidak seperti Asha, yang gampang menyukai orang pada pertemuan pertama. Seperti aku yang langsung jatuh cinta dan patah hati bersamaan saat bertemu pertama kali denganmu."

Aku memalingkan wajah, memilih menatap keluar jendela dari pada menatap wajahnya yang entah mengapa aku rasa semakin dekat. Tangan kanan Gala menyugar rambutku, menyelipkan anak rambut ke balik telinga kanan. Dia memegang pipiku, mengalihkan wajahku agar kembali menatapnya.

Lama kami hanya saling beradu mata, menyelami kedalaman hati masing-masing. Wajah Gala kian mendekat, fokusku bahkan teralihkan pada bibirnya yang sedikit terbuka. Aku memejamkan mata, menunggu sesuatu terjadi padaku. Dan benar saja, bibir kenyal itu mendarat sempurna di bibirku. Awalnya hanya menempel, lalu lama kelamaan Gala menggigit kecil, membuatku membuka bibir tanpa sengaja. Lidahnya merangsek masuk tanpa izin, membabat habis kedalaman mulutku. Tubuhku gerah, aku pun membalas ciumannya. Lidah kami saling beradu, seakan tak ingin berhenti untuk selamanya.

Gala menjauhkan wajah ketika aku mulai kehabisan udara. Ibu jarinya mengusap bibirku yang basah dan lumayan bengkak.

"Ini baru yang pertama, masih kurang enpat ciuman lagi."

Aku melotot padanya, hawa panas yang sempat datang menguap sudah.

"Jadi... Anila Rista Swadina, maukah kamu menikah denganku?"

~o0o~

Syelamat malam, eh, selamat dini hari. 😁

Cuma mau bilang, terima kasih sudah setia menunggu kisah absurd ini. Loph yu pull buat kalian semua.😘😘😘😘😘😘

Boleh cerita sedikit? Tadi pagi, tetiba ada yang DM di Instagram, aku sampai mau nangis, loh, saking terharunya dipanggil ibu.

Buat kamu, iya kamu yang pagi tadi DM aku, terima kasih ya, semoga Ibu bisa lancar update dan do'akan suatu saat aku main ke Bandung. 😘😘

Mau DM juga? Ngingetin saya barangkali, biar nggak lupa sama Pak Gala. 😂Bisa, kok.
Follow aja  (@) vita_savidapius. 😆

Jangan lupa, awali senin dengan yang seger-seger. #dilaranggerah 😂

#Vita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top