15. (Bukan) Pertemuan Pertama
Jangan pernah menabur, jika tak ingin menuai.
_Rista_
___________
Hujan masih mencumbu tanah, seiring pekikan kilat yang sesekali memecah malam. Cahaya memadamkan diri, takut pada guntur yang menyapa.
Aku mengeratkan kedua tangan, menggulung tubuh di balik selimut. Mati listrik di tengah malam saat hujan badai merupakan perpaduan yang eksotis. Langit seakan ingin bermain dengan manusia. Berawal dari pagi yang cerah, berlanjut siang yang terik, lalu disusul sore yang indah, hingga malam yang berbintang. Lantas kenapa harus ditutup dengan hujan badai di separuh malam.
Aku melirik ponsel yang menunjukkan angka dua puluh tiga dan empat puluh tujuh, tiga belas menit lagi hari berganti. Namun mataku enggan terlelap. Masih sibuk menelanjangi malam dalam gelap. Satu-satunya pencahayaan di kamar hanyalah kilatan blitz dari langit. Dan adegan seperti ini akan lebih lengkap jika ditambah dengan sosok berjubah putih yang muncul tiba-tiba.
Astaga! Aku membungkam bibir. Sepertinya sumber kewarasanku mulai tidak normal. Seumur hidup, aku tak pernah dan tidak ingin bertemu dengan mbak-mbak kunti dan teman-temannya. Hidupku sudah cukup mencekam, lebih seram dari pada bertemu dengan mereka.
Daya baterai ponsel sudah mulai menipis, lima puluh persen. Ini gara-gara aku lupa mengisinya setelah pulang dari kantor. Bagaimana aku bisa ingat dengan ponsel, jika sejak pulang dari kantor jantungku selalu bermain drum?
Salahkan saja Pak Gala yang seenaknya sendiri menjungkirbalikkan hatiku.
"Kamu tidak sedang berusaha untuk kabur, kan, Rista? "
Pak Gala muncul begitu saja di belakangku saat aku tengah berdiri di depan kantor, membuka aplikasi ojek online. Aku membalasnya dengan menggeleng, karena dia sudah salah besar menuduhku.
"Hanya iklan yang lewat, Pak."
Kami lantas menghabiskan makan malam di sebuah restoran Jepang, atas pilihan beliau. Aku yang hanya undangan hanya bisa pasrah, mau protes juga tak enak.
"Kenapa hanya diubek-ubek, Ris? Ini enak, loh. Kamu coba punya saya, ya? A... a... aa...."
Tanpa basa-basi sepotong daging tuna yang sudah dicelupkan ke dalam bumbu meluncur bebas ke mulutku. Rasanya amis, agak asin dan sedikit pedas, namun tetap saja aneh. Aku menggeleng, setelah bersusah payah menelan.
"Kenapa? "
"Saya tidak suka Sashimi, Pak."
"Lalu kenapa ramenmu tidak dimakan juga? "
"Emm, saya... saya... saya sebenarnya kurang begitu suka dengan menu seperti ini. Oke, Pak Gala boleh ilfeel sama saya. Lidah saya memang ndeso, Pak. Saya lebih suka makan soto atau bakso di pinggir jalan dari pada makan daging mentah."
Aku berusaha untuk tidak terlalu menjaga image di hadapan lelaki mana pun. Bagiku, siapa saja yang mau dekat atau berteman denganku, hanya merekalah yang mau menerima diriku apa adanya.
Namun aku semakin dibuat terkejut oleh jawabannya.
"Kalau begitu, sekarang kita pergi dari sini. Di ujung Jalan Pahlawan ada menu bakso cinta, sepertinya juga enak."
Aku yang sedang meniup kuah ramen pun hanya memandang wajahnya tanpa berkedip. Lelaki di hadapanku ini sangatlah spontan, suka seenaknya sendiri. Dan makan malam kami pun berakhir di warung makan sederhana.
~o0o~
Sejak makan malam yang gagal itu Pak Gala semakin sering berkomunikasi denganku. Bisa dibilang kami mulai dekat, namun untuk saat ini aku hanya menganggapnya sebagai seorang teman. Kami semakin sering keluar bersama meaki hanya sekadar makan atau jalan-jalan. Sejauh tiga bulan kedekatan kami, aku masih belum tahu siapa sebenarnya lelaki yang mengaku selalu kesepian itu. Aku hanya tahu nama dan jabatannya, sekaligus nomor ponselnya.
Aku sedang menunggu mi ayam pangsit pesananku, saat seorang lelaki tiba-tiba duduk di sampingku.
"Butuh teman mengobrol?"
"Eh?" Lidahku mendadak kelu, efek spontanitas yang masih dalam batas wajar.
"Bapak tahu saya di sini, dari mana?" Jam makan siang baru saja dimulai, terang saja aku penasaran bagaimana dia bisa secepat ini menemukanku.
"Aku ada kunjungan ke kantormu."
Pak Gala memesan satu porsi mi, kemudian membuka ponselnya, kebiasaan manusia zaman now.
"Jadi?"
"Jadi?" ulangku. Mana aku tahu maksud pertanyaannya. Aku merapikan rok navy selutut yang membalut tubuh, alih-alih menatapnya. Sementara kedua indera penglihatan Pak Gala tak pernah sekali pun terlepas padaku. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya, sebelah bibirnya pun turut naik.
"Aku rasa kita sudah sama-sama tahu. Dengan usia yang tidak muda lagi, haruskah kita pedekate dulu? Sementara aku sudah begitu yakin, kita saling merasakan perasaan yang sama."
Terang saja mataku membola sempurna. Lelaki yang kumis dan janggutnya dipenuhi bulu-bulu halus itu sepertinya terlalu percaya diri. Antara sombong dan sok tahu. Suaraku tertahan oleh kedatangan pramusaji yang membawakan semangkuk mi pesananku. Aku mengucapkan terima kasih lalu memberikan sedikit senyuman sebelum kembali berhadapan dengan Pak Gala.
"Bapak terlalu percaya diri sekali. Apa Pak Gala seyakin itu? Saya bukan wanita baik-baik, bukan wanita sempurna, apalagi wanita dengan segudang hati yang lembut. Tidak, Pak. Bapak salah kalau menganggap saya seperti itu." Aku menuang kuah ke dalam mangkuk, lalu mengambil lima sendok sambal dan mengaduknya.
"Mari, Pak, makan."
"Kalau aku tidak mengenalmu dengan baik, tidak mungkin aku berniat menikahimu."
Kuah pangsit yang panas bercampur pedasnya sambal tiba-tiba membuat tenggorokanku gatal. Batuk hebat melanda. Segera kuambil segelas es teh tawar lalu memindahkannya ke dalam mulut.
"Bercandanya tidak lucu, Pak."
"Kenapa? Salah kalau aku memang ingin menikahimu? Kita sama-sama single. Kita sama-sama saling suka. Lalu apa lagi?"
Mi pesanan Pak Gala datang, menginterupsi percakapan kami lagi. Lelaki itu sibuk dengan makanannya, begitu pula denganku. Kami akhirnya makan dalam diam, hanya sesekali kedua mata saling melempar pandang.
"Apa ada yang membebanimu, Rista? Katakan, agar aku bisa membantumu." Pak Gala menelungkupkan sendok dan garbunya ke dalam mangkuk lalu meneguk segelas jeruk hangat sebelum kembali menelusuri wajahku.
Aku berpura-pura tidak menanggapi, sibuk menyeruput kuah mi pangsit favoritku.
"Pak Gala mungkin sudah tahu siapa saya. Tapi saya tidak tahu siapa Bapak."
"Sudah kubilang jangan panggil aku Bapak, Rista. Ok, kalau kamu ingin mengenalku lebih jauh, kita bisa memulainya dari sekarang."
Aku menggeleng kuat, meminum sisa es teh tawar lalu memberanikan diri menatap mata kelamnya.
"Keluarga Pak Gala. Saya tidak mengenalnya, dan mereka tidak mengenal saya. Saya hanya tidak mau sejarah terulang kembali."
~o0o~
Pukul tujuh lewat dua puluh menit, kantor mulai sepi. Aku masih melanjutkan sisa pekerjaan untuk rapat besok. Sementara teman-temanku sudah lebih dulu pulang, tiga puluh menit yang lalu.
Sedikit lagi selesai, aku menyimpan file sambil berbenah. Ruangan di sekitarku sudah mulai gelap, hanya lampu-lampu utama yang nyala. Merapikan meja sebelum benar-benar pergi menjadi kebiasaanku, tak lupa memunguti sampah bungkus permen di dalam laci ketika sebuah suara membuat gerakanku terhenti.
Aku menajamkan telinga, derap langkah kaki seseorang semakin dekat. Mungkin satpam kantor sedang patroli.
"Belum pulang juga, Ris?"
Tumpukan map yang ada di tangan terlepas begitu saja, mencium lantai. Aku menarik napas setelah kesadaranku kembali.
"Bapak mengageti saya."
Terpaksa aku harus memunguti map yang terjatuh, pekerjaan yang harusnya sudah selesai kini harus bertambah lagi.
"Apa perlu ada tindakan khusus agar kamu tidak lagi memanggilku Bapak, terutama saat hanya kita berdua."
Pak Gala ikut berjongkok, jemari berototnya turut mengambil kertas-kertas yang berserakan. Karena sedikit terburu-buru, ujung jemariku tanpa sengaja menyentuh jemarinya. Namun Pak Gala justru mengambil tanganku, menggenggamnya. Mata kami saling beradu. Aku berusaha melepaskannya, namun genggaman itu semakin erat.
Tangannya yang hangat menular hingga ke tubuhku. Aku mengalihkan mata ke lantai, namun tiba-tiba embusan hangat menerpa wajahku.
"Apa kamu masih belum percaya?"
"Apa?"
Dengan kedua alis yang saling bertaut, aku berusaha menyelami mata Pak Gala. Namun hanya ketulusan dan kasih sayang yang dapat kutemui.
Sebuah benda kenyal dan hangat juga sedikit basah, membawaku kembali. Aku mengusap bibir, saat aliran listrik menguasai tubuh.
"Kenapa Bapak mencium saya? Saya bukan--"
"Sekali lagi kamu panggil saya Bapak, saya akan terus mencium kamu."
"Oh, ok. Baik, Pak--eh, maaf, Gala."
Lelaki itu tersenyum, sangat manis.
"Ayo, aku ingin mengajakmu pulang."
~o0o~
"Pak--eh, kamu yakin mau melakukannya? Bukankah ini terlalu terburu-buru?"
Aku berusaha mundur, melepas genggaman erat lelaki yang sudah seenaknya membawaku pulang ke rumahnya.
"Kenapa? Kamu takut? Tenang saja, ibuku tidak sejahat mantan ibu mertuamu. Aku bisa menjamim itu."
Genggaman tangan kami membawaku memasuki ruang tamu yang lumayan luas. Rasa hangat tiba-tiba menguar dari dalam rumah. Seakan mencerminkan si pemiliknya.
Gala menyeretku semakin masuk, sepertinya menuju ruang keluarga. Nampak di tengah-tengah sofa, terdapat seorang wanita berusia lanjut yang tengah sibuk membaca majalah.
"Ma, Gala pulang."
Wanita itu mengalihkan matanya dari majalah yang ada di pangkuannya. Gala menunduk untuk bersalaman, sementara tangan kirinya tetap menggenggam tanganku. Aku yang hanya memiliki tangan kiri yang terbebas, cuma bisa menunduk dan tersenyum. Semoga ini bukan awal yang buruk.
"Selamat malam, Tante."
"Ini Ga, orangnya?" Menaikkan sebelah alisnya, wanita itu justru menatap Gala. Yang dibalas dengan sebuah anggukan dari lelaki di sampingku. "Cantik."
Entah ini pujian atau hanya basa-basi belaka, aku kembali mengumbar senyum padanya.
"Panggil saja Mama. Sini, kamu duduk di sini. Dan kamu Gala, naik ke atas sana, ganti bajumu. Jangan sampai ada orang lain lagi yang melihat bekas lipstik di bajumu." Mama tersenyum lalu melirik padaku.
Entah bagaimana kini rupaku, menahan malu di depan ibu dari seorang lelaki yang mengaku mencintaimu sangatlah tidak baik. Aku mengeja nama Gala berulang kali, alternatif lain jika aku begitu kesal padanya.
"Itu tidak seperti yang Mama pikirkan, kok. Hanya pelukan biasa. Iya, kan, Ris?"
Aku mengangguk cepat, karena tak tahu lagi harus berkata apa. Sedang Mama justru tertawa, bahkan kepalanya sesekali menggeleng.
"Ya, ya, ya. Mama tahu. Sudah sana naik. Kami mau mengobrol sebentar." Tangan kiri Mama bahkan turut mengusir Gala.
Sepeninggal Gala, kami berdua hanya membisu. Aku hanya menunduk saat Mama menatapku, mulai ujung rambut hingga ujung kaki.
"Bagaimana Manggala?"
"Eh? Maksudnya?"
"Bagaimana Manggala menurutmu, Rista?" Mama membelai tanganku, matanya yang teduh menularkan kehangatan.
"Dia baik."
Mama menaikkan kedua alisnya.
"Dia cerewet."
Mama mulai tersenyum.
"Dan dia pemaksa."
Tawa Mama kembali keluar.
"Dia sudah benar-benar kembali, kalau begitu."
Mama menatapku sesaat, lalu mengambil lenganku.
"Ayo kita makan malam, Mama sudah membuat rawon empal yang enak." Kami pun beranjak menuju ruang makan, sesekali kupandangi interior rumah ini.
Langkah kaki kami terhenti saat di sudut meja telah duduk dua orang anak kecil. Seorang laki-laki yang agak besar dan seorang perempuan yang masih kecil. Jantungku seketika bertalu, seakan memberi pertanda sesuatu. Bibirku yang sebelumnya mengurai senyuman, kini telah membeku. Aku tengah menilai segala kemungkinan ketika suara Mama kembali menggema.
"Baya, Asha, sini. Kenalan sama tante cantik, dulu."
Anak perempuan kecil itu turun dari kursi, berjalan mendekatiku, lalu tangan mungilnya terulur.
"Halo tante, namaku Akasha Kenar Widyatmaka."
Mata anak itu sangat bening, menggoda hatiku.
"Hai cantik, nama tante Anila Rista Swadina. Kamu boleh panggil, tante Rista." Aku berjongkok, tak tahan dengan wajah polos gadis mungil dengan rambut sepunggung yang dikuncir kuda.
"Asha sudah sekolah?"
Gadis mungil itu mengangguk, bibirnya tersenyum. "Aku udah TK, Tante."
"Baya, sini." Suara Mama kembali mengusik perbincangaku dengan Asha, yang mau tak mau membuat pandanganku beralih pada bocah lelaki yang masih setia duduk di kursinya.
"Namaku Bayanaka Kavindra Widyatmaka. Eyang, ayo kita makan. Aku lapar."
Bahkan bocah lelaki itu enggan untuk menatapku. Dia hanya mengenalkan diri dengan tetap duduk di kursi. Tanpa mau repot-repot datang atau sekadar tersenyum.
Aku menarik napas, berusaha menghilangkan beban yang entah sejak kapan datang. Hingga tanpa sengaja, bola mataku tertuju pada sosok lelaki dengan kaus polo abu-abu yang berdiri di ujung tangga. Menatap serius padaku.
~o0o~
Ciee yang kangen berat sama Gala. 😆
Maaf yaa, harus lama lagi up date-nya. Lagi sibuk persiapan buat besok sekolah. Harap maklum, pengalaman pertama jadi wali murid SD. 😁
Yaudah, biar semangatnya nggak ilang, yuk promoin Pak Gala ke teman, saudara, pacar, tetangga, atau musuh sekali pun. Biar makin semangat Pak Gala Ganteng mengejar Bu Janda. 😄
#vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top