14. Kamu (?)
Tidak ada yang lebih baik untuk menemani kesendirian dengan membunuh waktu. Ya, tidur sepanjang hari di minggu pertama sangatlah menggoda. Terlebih dengan dompet yang kian menggembung akibat baru saja terisi hasil jerih payahku. Sangat nyaman.
Lelah karena seminggu penuh bergelut dengan deretan angka dan huruf yang membuat sebagian besar otak terperas, yang sesekali diiringi dentuman yang bertalu-talu di kanan dan kiri alis atau lebih tepatnya di pojok bagian wajah, yang serta merta membuat tekanan darah turut meningkat, terbayar sudah. Tidur sejak pagi menjelang siang dan terbangun ketika matahari sudah menyampirkan jubah keemasannya, benar-benar membuat mata dan kepalaku menjadi lebih sehat.
Aku melirik ponsel yang tergeletak tak berdaya di samping bantal, entah sejak kapan terakhir kali aku memberinya 'makan'. Kini, setelah kesadaran sepenuhnya merajai otak dan tubuhku, segera aku men-charger ponsel dan membiarkannya kembali tergeletak, kali ini dengan sedikit berdaya.
Setelah membersihkan diri dan menyantap makan siang yang sangat-sangat terlambat, aku menengok ponsel yang kini sudah 'kenyang'. Alisku saling bertaut begitu menyadari ada pesan dari teman-teman dan beberapa panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Nomor yang dua minggu belakangan terus menggangguku.
Sekelebat nama mantan suami masuk seenaknya dalam kepalaku. Kubuang jauh-jauh mantra yang selalu membuatku gagal move on itu. Tak mungkin lelaki yang sudah bahagia itu mengingatku, apalagi berniat menghubungiku. Karena rasa penasaran yang terlampau tinggi, aku lalu menyimpan nomor baru itu dalam daftar kontak.
Asing-
Jantungku sedikit bermain drama saat dengan hati-hati kubuka aplikasi berwarna hijau dengan gambar telepon di tengah-tengahnya. Lihat saja, bahkan dadaku mulai naik turun saking antusiasnya.
Hanya foto seorang lelaki yang setengah wajahnya sengaja ditutup dengan tangan. Aku kembali membuka folder pertemanan dalam kepalaku. Tak kutemukan wajah-wajah yang serupa dengan foto itu. Mungkin hanya orang iseng. hampir saja aku menjatuhkan ponsel ketika dering telepon menggema seenaknya. Nama Asing terpampang nyata di sana. Astaga, apa sih, maunya orang ini.
Sengaja kuusapa tanda merah, aku tak mau menjadi korban keisengan lelaki tak jelas. Namun sepertinya lelaki itu tak henti-hentinya mengusikku.
"Ya?" putusku kemudian.
"Rista?" Eh?
"Benar," aku masih berusaha mencerna dengan baik suara bariton di seberang.
"Masih ingat aku?"
"...."
"Baiklah, selamat sore."
Lalu telepon tiba-tiba mati.
Aku mengelus keningku yang kembali bertalu-talu, belum sempat aku mengenali si pemilik suara tapi orang itu sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya. Padahal untuk mengetahui seseorang lewat suara butuh beberapa kali perbincangan agar kita tahu dan hapal dengan si pemilik suara itu. Aku kembali meletakkan ponsel dan pergi ke halaman. Mawar-mawarku sedang bermekaran dan lebih butuh tanganku daripada si penelepon itu.
Malam sudah mulai larut saat aku mematikan televisi, menghabiskan malam dengan menonton film lewat DVD. Sendirian. Tak apa, aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Sebelum atau selama menikah. Yang membuatku sedikit baper adalah film itu sendiri, kenapa film dengan tema yang sama denganku yang harus kulihat. Ini gara-gara Laras yang menyuruhku menyempatkan menonton film tentang berbagi suami agar aku tahu sejauh mana hatiku bersuara. Yang justru kurasakan saat ini adalah, aku tetap kesal dan marah dengan si wanita kedua. Apa pun dan bagaimana pun alasan mereka menikah, tetap salah di mataku.
Aku kembali ke kamar dan hendak memejamkan mata ketika tanpa sengaja pandanganku tertuju pada ponsel di nakas. Aku sengaja tak ingin menyentuhnya setelah telepon dari orang asing itu. Namun aku kembali penasaran, apakah orang itu juga akan terus mengusik atau justru sudah mundur.
-Rista, bisa kita bertemu sebentar malam ini?
-Rista, boleh saya meneleponmu?
-Rista, apakah kamu sedang sibuk?
-Jangan lupa beristirahat, selamat malam.
Kedua alisku semakin saling bertaut, pun kedua mataku yang kian membola. Siapakah orang itu? Kenapa dia ingin sekali bertemu denganku?
~o0o~
Senin yang indah berubah menjadi sedikit kacau gara-gara saat aku membuka mata, pesan dari orang itu kembali muncul. Kali ini tak hanya mengucapkan selamat pagi, namun juga ucapan untuk bertemu di kantor. Aku semakin bingung tentu saja. Sejauh yang kuingat, aku tak pernah memberikan nomor baruku kepada orang lain selain teman-teman kantor. Bahkan beberapa keluarga mantan suamiku yang masih padaku juga tak kuberi. Aku memang ingin bangkit, melupakan lelaki yang sudah rela melepasku. Toh, tak ada yang perlu dikenang. Karena aku tak ingin terlalu lama berkubang dengan masa lalu.
"Aduh!!" Aku mengusap hidungku yang agak sakit karena tak sengaja menubruk punggung seseorang. Melamun di dalam lift, membuatku lupa untuk lebih berhati-hati saat keluar.
Punggung yang berbalut jas biru tua itu berbalik lalu dengan sedikit malu aku memberanikan diri menatap matanya.
"Ma--"
"Selamat pagi, Rista."
Ya Tuhan. Kenapa harus seperti ini pertemuan kedua kami. Aku mengedarkan pandangan ke lain arah, pot bunga di sudut pintu lebih menggoda daripada wajah lelaki yang belakangan membuat moodku naik turun.
Masih teringat dengan jelas bagaimana aku tak bisa berkutik dengan kata-katanya dulu.
"Satu setengah tahun yang lalu?"
Bahkan aku yang sedang mati-matian untuk membuka folder memori dalam kepalaku tak secuil pun menemukan wajahnya di masa lalu. Sebab di pesta itu, yang kuingat hanya sakit hati saja. Tak ada yang lain.
"Kamu sangat cantik malam itu, dengan kebaya putih gading yang melekat indah."
Aku bahkan terheran-heran, bagaimana dia bisa mengingat warna pakaianku yang bahkan aku saja melupakannya.
"Sayang sekali, saat aku sedang berjalan mendekatimu untuk berkenalan, kamu justru berlari keluar. Lalu, ya, maaf, aku melihat semuanya."
Ingatanku terlempar kembali saat aku--dan Ardi tentu saja--yang tanpa malu bertengkar di halaman parkir. Bisa dibayangkan bagaimana wajahku saat itu? Saat itu juga aku menyesali pertengkaran itu. Jika memungkinkan, aku ingin mengulang adegan itu namun berganti tempat. Di dalam mobil, mungkin? Paling tidak, masalah rumah tanggaku tidak terekspos jelas di hadapan para penikmat gosip.
Beruntung, dia tidak membahas terlalu jauh tentang hal itu. Dan kami mengakhiri makan siang dengan tenang.
"Belum sarapan? Ayo kita sarapan dulu." Suara Pak Gala membuyarkan imajinasiku.
"Eh, nggak usah, Pak. Saya sudah sarapan. Permisi."
Aku segera kabur dari intaiannya. Tak sanggup harus menahan malu yang berusaha kupendam sebulan ini.
~o0o~
Sibuk.
Atau lebih tepatnya aku berpura-pura sok sibuk. Memilih berdiam diri di tempat, mengerjakan laporan dan dokumen-dokumen berbagai relasi yang bekerja sama dengan kantorku, yang sebetulnya tugas ini bisa dibagi rata dengan anggota tim yang lainnya, namun aku mengerjakannya sendiri. Dua jomblo sejoli yang belakangan lebih sering menggodaku akhirnya hari ini harus bertekuk lutut padaku. Bagaimana tidak, jika pekerjaannya khusus untuk hari ini, aku yang handle.
"Bu Janda, yakin mau ngerjain ini semua?" Erik bahkan turut melongok ke mejaku, mengintip hamparan kertas yang berserakan.
Aku sengaja tak menjawab, hanya mengangguk untuk membuatnya mengerti. Namun Elang justru memicingkan matanya. Dapat kubaca dengan jelas di dahinya, antara rasa penasaran dan kepo tentang kerajinanku pagi ini.
"Ris, Pak Reza memanggilmu." Laras menghampiriku setelah dia keluar dari ruangan Pak Reza. Dua map hijau masih bertengger di lengan kirinya.
"Ngapain?"
"Nggak tahu juga, tapi di dalam ada Pak Gala juga."
Seketika kedua mataku kian membulat sempurna. Aku menggeleng otomatis. "Nggak. Aku nggak mau."
Tiga pasang mata menatapku penuh curiga. Seakan dua bola mata itu mampu berkata, ada apa?
"Aku lagi sibuk, Ras. Entar aja kalau udah selesai. Bentar lagi juga jam makan siang, nanggung." Aku kembali menekuni dokumen di tangan, membacanya dengan teliti dan menghitung ulang.
"Kamu kenapa, sih, Ris? Ini atasan, loh, yang manggil kamu." Laras tidak beranjak dari tempatnya berdiri, justru sebelah tangannya memegang tangan kananku yang menggenggam pena.
"Iya, Mbak, dari pagi Bu Janda aneh banget. Masa kita ke kantor disuruh nganggur. Tahu gitu, kan, sekalian tadi nggak masuk, ya, kan, Lang?" Yang dibalas Elang dengan jitakan di kepala.
"Bu Janda, kenapa? Lagi ada masalah? Ibu digrepe-grepe sama Pak Reza pas ikut ke kantor cabang bulan lalu? Bu--aduh!!" Dua map tebal di tangan Laras sempat berpindah ke pundak Elang.
"Kalau ngomong itu mbok ya disaring dulu, Lang. Emang kalian pikir Rista itu wanita apaan?" Laras mencibir dua semprul itu lalu memberikan tatapan tegasnya padaku.
"Pokoknya kamu sekarang harus ke dalam. Urusan ada apa kamu sama seseorang di dalam, urus belakangan."
Laras meninggalkan kami bertiga yang masih membisu. Menghela napas dalam, aku membereskan tumpukan kertas yang tersebar di atas meja. Lalu mengambil dua map biru sebelum berdiri.
"Ini kerjaan kalian, aku kembalikan."
"Ya... ya... Bu, batal deh, streaming piala dunia." Erik kembali ke mejanya seraya menggerutu tak jelas. Sedangkan Elang masih berdiri di tempatnya dengan mata yang tak lepas menelanjangiku.
"Kenapa, Lang?" Aku tidak tahan terus ditatap seperti itu, seakan ada sesuatu yang salah dengan tubuhku.
"Bu Janda beneran baik-baik, saja?" Mata kelamnya semakin lekat menembus pandanganku. Aku menggeleng untuk meyakinkannya jika aku baik-baik saja.
"Aku nggak apa-apa, kok. Sudah sana, kamu kerja. Pak Reza orang yang baik, Lang. Aku bisa jamin itu."
Dengan sedikit keraguan yang tersisa, aku melangkah menuju ruangan Pak Reza. Di depan pintu, aku berhenti sebentar untuk memastikan penampikanku baik-baik saja. Sejujurnya aku risih jika harus bertemu dengan Pak Gala. Salahkan saja wajahnya yang tampan dan sepertinya awet muda. Ditambah dengan kaca mata yang membingkai wajahnya menambah kesan maskulin dan ketegasan. Elang benar, hatiku sudah digrepe-grepe, tapi bukan oleh Pak Reza, melainkan Pak Gala.
"Permisi, Pak Reza memanggil saya?" Aku membuka sebagian pintu dan mengintip sebentar, memastikan posisi lelaki itu.
"Masuk, Ris." Pak Reza masih mengetik sesuatu bahkan tak menoleh padaku. Namun wajahnya sedikit condong ke sofa, menyuruhku duduk di sana.
"Maaf, Pak Gala, permisi." Aku mengangguk sopan pada lelaki yang sibuk dengan notebook di tangannya. Pak Gala tersenyum padaku sebelum fokus matanya kembali ke benda di pangkuannya itu.
Lima belas menit menunggu tanpa ada suara atau tindakan apa pun, aku mulai gelisah. Apalagi teman-teman di kantorku tahu aku ada di sini bersama dengan dua orang lelaki. Yang salah satunya sudah kuketahui masih memiliki keluarga lengkap.
"Maaf, Pak, kalau boleh tahu ada apa Bapaka memanggil saya ke sini? Ada yang perlu saya kerjakan?" Aku menatap penuh harap pada Pak Reza yang kini telah selesai dengan sesuatu di hadapannya.
"Kamu di sini saja dulu. Temani Manggala sebentar."
"Ha?"
Aku membuka bibir seketika. Apa-apaan ini. Kenapa juatru tercium bau-bau konspirasi antara Pak Reza dengan Pak Gala.
"Kamu tidak keberatan, kan, Ris?" Pak Gala meletakkan notebooknya, kini fokus matanya telah berpindah padaku.
"Eh, tapi, tapi saya masih ada kerjaan, Pak."
Aku tidak bisa.
Kenapa semua lelaki sama saja.
Apakah seorang janda bisa seenaknya dipermainkan? Disuruh-suruh hal yang tidak jelas.
"Kenapa kamu selalu menghindar dariku? Apa ada yang salah?"
"Iya--tidak." Aku menggigit bibir, dengan napas yang naik turun aku berusaha menjaga ketenangan.
"Kenapa pesanku tidak pernah kamu balas? Kamu tahu, aku tidak bercanda soal itu."
Sekelebat foto wajah yang separuhnya tertutup dengan tangan muncul di kepalaku. Rupanya itu dia. Aku melirik Pak Reza yang kembali sibuk mengetik lagi. Dia sepertinya memilih berpura-pura tidak melihat kami.
"Rista."
Aku menunduk, benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Bisa kalian bayangkan, saat kita baru belajar melupakan seseorang lalu ada orang lain yang datang dengan membawa harapan yang sama? Aku tidak bodoh, aku tahu Pak Gala tertarik padaku.
"Saya ingin mengenal lebih dekat denganmu. Apakah boleh?"
Satu kalimat dari lelaki yang kini bahkan tak melepaskan pandangannya dariku sesaat sebelum aku turun dari villefire miliknya di halaman kantor, setelah makan siang sebulan yang lalu, mengusik hatiku.
"Saya tidak tahu, Pak. Maaf, tapi tolong jangan dengan cara seperti ini. Saya merasa tidak enak." Pak Gala mengikuti arah mataku yang melirik Pak Reza, kemudian mengangguk padaku.
"Bisa kita berbicara saat makan siang?"
Aku menggeleng, "saya ada banyak kerjaan, Pak."
Pak Gala melihat ponselnya sebentar, lalu kembali menatapku. "Kalau begitu malam ini. Bagaimana?"
Mau tak mau aku harus segera menyelesaikan ini semua. Aku mengangguk lalu berdiri hendak pamit.
"Nanti setelah pulang kantor saya jemput. Tunggu saya."
~o0o~
Kira-kira, gaya pacaran ala-ala wanita dan pria dewasa yang mengalami puber kedua itu bagaimana? Kalau setahuku, sih, biasanya mereka sering makan sambil ngobrol lama, berbisik-bisik. Sampe yang jualan mau tutup, tetep aja nggak pergi-pergi. #pengalaman sering mergoki macam beginian 😆😆
Sejauh ini aku belum menemukan sosok yang pas untuk memerankan Rista. Wanita yang kuat dan rapuh bersamaan. Ada satu dua yang ada dalam bayanganku.
1. Acha Septriasa
2. Prisia Nasution
Kalau kamu?
#Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top