11. Badai


Tidak ada yang merasa lebih baik setelah hujan air mata berderai selama sebulan berturut-turut. Mata yang sudah mirip bulatan bakso saking gembulnya, tak mampu tertutupi dengan concealer. Wajahku sudah tak berupa, tak ubahnya seperti benang kusut, hilang sudah pesona yang selalu kubangga-banggakan. Bahkan aku sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.

Berbagai slide tentang pernikahan kami selalu menghantui tiap malam. Enam tahun pernikahan yang penuh cerita. Telah banyak yang berubah, kehidupanku, rumah tanggaku, suamiku, bahkan ibu mertuaku. Aku memilih Ardi karena kegigihannya mendapatkan hatiku sebelum kami mengikat janji suci. Namun kini aku ragu akan kegigihannya untuk mempertahankan rumah tangga kami.

Setelah insiden di pesta malam itu, aku mengurangi waktu bertemu dengan Ardi. Meski setiap minggu dia selalu datang ke rumah, aku mengabaikannya. Belakangan, dia sudah sebulan lebih tak menampakkan batang hidungnya lagi. Mungkin dia lelah menunggu kemarahanku reda.

Bulan Juni yang terik, seterik hatiku yang gersang. Aku tengah mereparasi hati dengan sedikit bersenang-senang, pergi berbelanja dengan Laras. Setelah puas berkeliling pusat perbelanjaan, Laras memaksaku melakukan perawatan wajah dan tubuh. Katanya aku terlihat seperti tumpukan baju lusuh yang belum dicuci. Sangat kumal dan tidak sedap dipandang. Aku sudah mencoba mengelak, berdalih aku sudah melakukannya beberapa waktu lalu. Tapi Laras semakin keras menyeretku menuju gerai kecantikan.

"Mbak, tolong temanku ini direparasi, ya. Biar kelihatan seger dan enak dipandang."

Aku mendelik pada Laras, dia ingin membantuku tapi kelakuannya justru membuatku malu.

"Mari, Mbak, silakan memilih perawatan yang seperti apa?"

~o0o~

Hampir tiga jam melakukan perawatan, aku memaksa Laras untuk makan siang yang sempat tertunda. Warung bebek sambal ijo menjadi pilihan kami. Setelah memesan dua porsi makanan dan minuman, aku beranjak menuju toilet, meninggalkan Laras yang sibu memainkan ponsel.

"Eh, Rista? Rista, bukan?"

Aku menoleh ke sumber suara. Oh, tidak!

"Tante Rere? Sedang apa di sini?" balasku berbasa-basi pada adik bungsu Ibu.

"Lagi makan-makan sama teman-teman arisan. Kamu sendiri ke sini sama siapa? Sama Ardi?"

Aku menekuk wajah, Tante Rere ini hanya berbasa-basi ataukah memang tulus padaku.

"Lagi sama teman, Tante. Itu dia, yang pake baju salem."

"Kupikir dengan Ardi, soalnya tante sekalian mau nagih hasil surveinya dia juga." Tante Rere tersenyum, "dua minggu yang lalu pas di acara tasyakurannya Mbak Maryam, tante minta tolong dibikinin coret-coret tentang usaha tante."

Itu nama Ibu. Ibu mengadakan acara tasyakuran apa? Kenapa mereka tak mengundangku?

"Ooh iya, kamu kenapa tidak membatalkan meeting ke luar kota, Ris? Padahal Tante pengen ngobrol-ngobrol juga sama kamu. Mau daftarin Eza bikin ansurasi."

"Meeting? " tanyaku tak mengerti.

"Iya, kata Ardi kamu berhalangan hadir karena sedang meeting ke luar kota." Kening Tante Rere mengkerut, sedang kedua matanya memicing padaku.

"Ooh, Rista nggak tahu, Tan. Maaf, ya." Aku melihat pesanan kami sudah datang, bersamaan dengan Laras yang melambai.

"Rista balik ke teman Rista dulu, ya, Tan. Nanti kapan-kapan kita lanjut ngobrol lagi."

Melangkahkan kaki lebih cepat, aku tak lagi menoleh.  Sesaat sebelum aku berbalik, sempat kulihat wajah pias Tante Rere. Ah, sudahlah. Kukira seluruh keluarga besar Ibu tahu, bagaimana pernikahanku.

Tapi satu yang masih menjadi batu pengganjal di dalam kepalaku. Kenapa aku tidak diundang?

~o0o~

Aku kembali menutup pintu namun tertahan oleh bahu seseorang. Semakin aku berusaha mendorong agar pintu ini menutup, justru tubuhku semakin mundur. Membuat peluangnya untuk merangsek lebih jauh. Aku melepaskan tanganku dari gagang pintu, menerima kekalahanku.

"Ada apa?" sinisku tanpa menatap kedua bola matanya.

"Aku minta maaf soal malam itu, Ris. Sungguh aku tak tahu kalau kamu juga di sana."

Ardi mendekat, namun aku segera mundur.

"Itu sudah tak penting lagi. Pergilah. Aku sibuk."

Aku meninggalkan Ardi di ruang tamu, masih berdiri mematung.

"Kenapa kali ini kamu begitu angkuh, Ris?"

Kepalaku berputar seratus delapan puluh derajat, sedang kedua bola mataku menyipit, menelusuri wajah Ardi yang kini sedikit lebat.

"Angkuh? Aku angkuh katamu?" tanyaku mengulang.

"Ris.... "

"Aku sudah tidak dibutuhkan dan dianggap lagi. Jadi, masih pantaskah aku bermurah hati?"

Ardi menelengkan kepala, sebelah alisnya naik.
"Apa maksudmu? Siapa yang--"

"Aku sudah bukan bagian dari keluarga Ganinda lagi, bukan? Karena itu kalian tidak ingin aku datang ke acara Ibu."

Wajah Ardi memucat, kedua matanya membola.

"Kenapa? Aku tahu dari Tante Rere, tadi kami nggak sengaja ketemu."

"Ris, kami nggak bermaksud mengabaikanmu. Kami ha--"

"Hanya menjaga perasaan Ibu? Kalau begitu, kenapa kamu juga tidak menjaga perasaanku! Kenapa kamu terus-terusan menyakitiku! Apa maumu?" jeritku.

Ardi menggapai bahuku, lalu memeluk tubuhku yang lemah karena emosi dan air mata. Kami bertahan dalam posisi ini, hingga aku sedikit tenang.

"Lepaskan aku." Aku mengurai kehangatan yang diberikan oleh Ardi.

"Ris.... "

"Kamu sudah bahagia dengan Saila, Di. Sedang aku tidak bahagia bersamamu. Kini giliranku mencari kebahagiaanku sendiri."

Aku sudah memikirkannya berulang kali. Ini keputusan yang tepat. Lepas dari Ardi dan mencari kebahagiaan lain di luar sana. Tanpa perlu merasa sakit hati dan cemburu lagi.

"Kamu ingat, kita sudah berjanji akan bersama selamanya."

"Untuk apa tetap bersama jika pada akhirnya justru membuat luka yang tak berkesudahan."

Kami terdiam, saling menyelami pandangan masing-masing.
"Aku tak akan melepaskanmu, Ris." ucap Ardi sebelum membalikkan badan meninggalkanku.

Tubuhku luruh ke lantai, tangisku pecah. Sudah dua kali aku ingin berpisah darinya, tapi kenapa sulit sekali. Haruskah aku tetap bertahan?

~o0o~

Langit mulai kelam, rintik hujan perlahan turun membasahi tanah. Suara guntur sesekali menyahut, meramaikan badai tengah malam. Aku menenggelamkan diri di balik selimut, meringkuk lebih dalam. Bantal di sebelahku telah lama tak berpenghuni. Hanya satu atau tiga kali dalam sebulan pemiliknya datang. Sedangkan aku tetap pada keputusanku untuk lepas dari pemilik bantal itu. Namun juga bertahan untuk tetap terlihat tidak baik-baik saja bersamanya.

Mana ada wanita yang kecewa pada pasangannya lantas bisa tersenyum tulus pada pasangannya. Andaikan ada, itu bukan aku. Hatiku tak semulia para istri nabi. Aku hanya wanita biasa dengan hati yang biasa.

Saat dia datang, aku tetap melakukan tugasku sebagai seorang istri. Tetap memperlakukan dia dengan baik. Tapi tak ada rasa di dalamnya. Entah sudah hilang kemana hatiku, semua yang kulakuan belakangan ini terasa hambar. Kosong.

Aku masih setia dengan kesakitan, luka dan air mata. Perawatan bersama Laras lima bulan lalu sepertinya sia-sia. Sebab sumber dari aura kecantikan itu sendiri sudah tak ada lagi. Aku menunggu Ardi luruh dengan keegoisannya untuk tetap mempertahankanku. Aku tak pernah bertemu Saga maupun Bara, apalagi Saila. Menutup rapat-rapat celah hatiku.

Hujan semakin deras, semburat kilat memantul bak paparazi yang memergoki kekalahanku. Kuhapus air mata yang tak henti luruh setiap malam. Memeluk tubuhku sendiri yang semakin kurus, aku kembali memejamkan mata. Berusaha untuk terlelap.

"Kenapa kamu semakin kurus?" Ardi mengusap pipiku yang basah. Tapi aku enggan menjawab.

"Kenapa kamu ingin sekali berpisah dariku, Ris? Kamu tak mencintaiku lagi?" cercanya saat itu. Aku menggeleng.

"Lalu kenapa kamu tetap ingin lepas dariku?" lirihnya sambil memejamkan kedua mata. Sebelah tangannya menelusup di bawah punggung, memelukku.

"Aku tidak mau sakit lagi." desisku yang masih betah dengan aksi diam tak bergerak.

Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau. Tubuhku memang masih miliknya. Tapi tidak dengan hatiku.

~o0o~

Aku terbangun dengan wajah yang sangat berantakan. Mimpi itu tiba-tiba datang. Membuat semua usahaku untuk menenangkan diri gagal. Mengusap wajah sebentar sebelum memilih turun untuk mengambil segelas air.

Langkahku terhenti, ketika melihat bayangan seseorang duduk membelakangiku dalam kegelapan.

"Kamu terbangun?"

"Ada apa?"

Aku berusaha mengabaikannya, berjalan menuju kulkas dan mengambil segelas air putih. Membiarkan aliran air dingin membasahi tenggorokanku. Lalu kembali menuju kamar.

"Bisa kita bicara sebentar, Ris?" Ardi mencekal sebelah tanganku. Wajahnya memelas, ada semburat luka di matanya. Batinku terusik, ingin aku memeluknya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Tapi egoku semakin erat menggenggam hatiku agar tak pecah lagi.

Aku duduk di hadapan Ardi setelah mengangguk dan dia melepas genggamannya. Kami saling memecah malam dengan beradu mata. Menggapai kedalamannya, namun yang kutemukan hanyalah keputus asaan.

"Apa kabar?"

Kabar buruk. Aku mengembuskan napas, sedikit gusar dengan sikap Ardi yang masih ingin berbasa-basi denganku. Aku memilih diam, tak menjawab. Ardi masih setia dengan sikap tenangnya, membuatku sedikit bingung dengan apa yang akan dia rencanakan.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Aku sedang tidak baik-baik saja.

"Ris..., kumohon jangan diam saja. Harus bagaimana aku bisa membuatmu seperti Rista yang dulu lagi." Ardi menyugar rambutnya, lalu mengusap wajahnya.

"Ceraikan aku."

"Tidak."
Sebelah tangan Ardi menggapai wajahku, membelainya lembut. "Tidakkah kamu ingat, bagaimana semua ini bermula? Kamu yang selalu mendorongku untuk bersama Saila, menghabiskan malam pengantin bersamanya. Kamu tahu, kalau saja saat itu kamu berusaha mempertahankanku, kamu tak akan pernah sakit hati."

"Oh, lalu aku akan menjadi menantu durhaka karena telah membuat seorang ibu dan anaknya bertengkar? Saila juga berhak mendapatkan malam pengantinnya, Di. Aku bukan wanita yang tak tahu diri."

"Tapi Ris, kamu tahu kan, jika aku selamanya masih mencintaimu?"

Aku mengangguk, setuju dengannya. Ardi tersenyum simpul, ada sinar kelegaan di matanya.

"Tapi itu tak membuat kita sama-sama bahagia. Aku mencintaimu, kamu mencintaiku. Saila mencintaimu, kamu juga mencintainya."

"Aku tidak--" Kedua alis Ardi saling bertaut, sedang bola matanya menciut.

"Dan aku selalu menjadi pihak yang kalah. Kenapa tidak kita buat saja semua ini menjadi mudah? Kamu tahu, dari semua perasaan kita, perasaankulah yang paling banyak menerima luka. Kenapa tidak belajar mengikhlaskan satu kebahagiaan demi kebahagiaan lainnya? Bertahan di sisimu semakin membuatku terluka,Di? Tidakkah kamu iba padaku? Aku mohon, atas nama cintamu padaku, lepaskanlah aku. Aku tidak bahagia lagi bersamamu." Air mata yang sudah kubendung  akhirnya luruh juga.

Ardi hanya membisu, sepasang mata kelamnya menjelajahi setiap bagian wajahku. Aku masih bergeming, menunggu luluhnya hati seorang Ardi yang mulai mengeras hatinya.

"Baiklah, jika ini bisa membuatmu bahagia. Aku melepaskanmu."

~o0o~

Yeeeee...  Pada seneng, kan, mereka akhirnya mau pisah. Plok plok plok, tepuk tangannya duuuuuuunnkkk 👏👏👏😝

Untuk kalian semua, maaf ya, komentarnya tak sempat kubalas. Tapi percayalah, semua komentar kalian aku baca, kok. Dan karena kegigihan kalian untuk menagih SK cepetan update, aku jadi semangat nulis biarpun sibuk pake banget. 😁

Oh, iya, bisa minta tolong?

Aku lagi bingung, nih, kira-kira kalau Surga Kedua ganti judul jadi Unconditional Love, gimana?
Apa sudah ada cerita lain dengan judul itu?
Kalau  nanti ganti judul, covernya bakal berubah jadi seperti ini:

Sekali lagi, selamat makan tengah malam. 😂

#Vita


Eh iya, bab kemarin komennya tembus 200an, looh. Aku lope deh. 😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top