10. Pertemuan Luka


Adakah yang lebih indah dari ujung sebuah penantian selain pertemuan? Tak ada, bukan? Karena di setiap pertemuan, seluruh badai kerinduan akan musnah. Memecah menjadi serpihan buih-buih suka cita. Dan segala risau memudar seketika.

Dua minggu setelah malam itu, Ardi datang memenuhi janjinya. Dia menginap di rumah kami hampir sepekan. Saat kutanya bagaimana dia bisa melakukan itu, jawabannya karena dia sudah bicara dengan Saila dan Ibu. Mereka setuju atas usulan Ardi untuk membiarkannya menemuiku. Semaunya. Entah bagaimana Ardi membuat mereka setuju, aku tak peduli.

Aku bahagia tentu saja. Ini yang aku mau. Ini yang aku tunggu. Kebersamaan tanpa ada orang lain yang mengganggu. Aku bebas memiliki Ardi.

Satu dua bulan berjalan normal, aku dan Saila berusaha saling menyadari keinginan masing-masing. Terkadang, kami bertiga berjalan-jalan di pusat perbelanjaan bersama si kembar. Demi kerinduanku pada Saga dan Bara, yang tak dapat kutemui sesuka hati di rumah Ibu.

Sementara hubunganku dengan Ibu masih diam di tempat. Tak ada kemajuan yang berarti. Baik aku maupun Ibu, sama-sama memilih untuk bungkam. Tak ada yang ingin memulai untuk mencairkan suasana. Tak ada pertemuan di antara kami.

Aku sibuk menekuni hobi baru, memenuhi halaman rumah dengan mawar dan krisan. Berbagai mawar aneka warna kini menghiasi rumahku. Ya, berkebun dapat membunuh waktu di kala hari libur yang harus kuhabiskan seorang diri.  Di tengah-tengah menyiram dan memberi pupuk, ponselku berdering.

"Ya, Di?"

"Siang ini aku pulang."

"Oh, ya?"

"Tunggu aku."

Ardi mengakhiri pembicaraan dengan ciuman jarak jauh ala remaja. Astaga, kami seperti remaja tanggung yang sedang kasmaran. Aku tertawa dalam hati, kemudian teringat isi kulkas yang butuh asupan bahan makanan. Bergegas aku membereskan selang air dan menyimpannya. Lantas melajukan motor menuju pasar.

Hampir dua jam aku berputar-putar di sana. Percayalah, jika seorang wanita yang sudah bersuami dan berbelanja, pasti akan lupa waktu. Ada banyak bahan makanan yang kubawa. Diantaranya nangka muda, cecek, daging ayam, jagung manis, serta kelapa parut. Begitu sampai di rumah, segera kumasak bahan makanan itu.

Dua jam berperang di dapur hanya dengan bermodalkan baju daster, aku bergegas mandi setelah masakanku siap. Mengganti dengan sebuah blus selutut aquamarine berbahan sifon tanpa lengan. Sambil menunggu Ardi datang, aku menonton berita gosip lambe-lambean di ponsel. Banyak gosip para artis yang berseliweran, mulai dari pernikahan presiden jomblo, pernikahan artis idola yang senyumnya mematahkan hati, serentetan artis wanita yang tengah hamil maupun melahirkan, hingga para pesohor yang diserbu isu poligami, tak lupa salah satu artis yang mendadak viral karena status jenis kelaminnya yang dipertanyakan. Membaca komentar para netizen justru lebih menghibur daripada keterangan si pemilik akun itu sendiri. Aku hanya membaca sekilas berita-berita itu. Fokusku lebih kepada para bayi artis yang baru lahir, maupun yang balita. Kelucuan Nastusha ketika mengucapkan kalimat pertamanya membuatku tertawa. Ah, princess yang imut. Tanpa sengaja aku mengusap perut, menyadari tak akan pernah merasakan semua yang berhubungan dengan bayi. Apalagi maternity photoshoot. Tak akan pernah.

"Serius sekali, sedang apa?" Ardi tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku terkejut tentu saja, tak menyadari kedatangannya.

"Sudah lama?"

"Baru saja sampai." Ardi berganti duduk di sampingku. "Lagi lihatin apa?"

Aku mematikan ponsel. "Oh ini, lagi nonton gosip."

"Nggak ada tontonan lain? Yang faedah sedikit?" Ardi mencibir, tapi tangannya justru mengelus lenganku.

"Buat penghilang stres, Di, biar aku nggak ketinggalan info kalau lagi ngerumpi sama teman-teman di kantor." Aku menyeret Ardi menuju ruang makan. Menyuruhnya duduk sementara aku menyiapkan makanan.

"Langsung makan siang?"

"Memangnya mau apa lagi?"

Ardi hanya memiringkan bibir dan mengedipkan mata. Aku hanya ber oh ria, tak menggubris rayuannya.

"Puasa dulu, aku lagi ada tamu."

~o0o~

Aku tengah bersiap untuk memastikan penampilanku sempurna di depan cermin, ketika sebuah panggilan telepon mengusik. Aku melirik pada nama yang tertera di layar dan memilih mengabaikannya. Karena sudah dipastikan si penelepon hanya akan menanyakan keberadaanku. Aku mengoles lip cream nuansa nude perlahan-lahan, lantas menyapukan bedak sekali lagi. Sempurna.

Memilih setelan kebaya brokat nuansa ivory dengan lengan kupu-kupu, aku melajukan Juke merah menuju tengah kota. Pimpinan perusahaan tempatku bekerja sedang mengadakan acara resepsi pernikahan putrinya yang ketiga, di sebuah ballroom hotel berkelas. Saat konsentrasiku tengah berpusat pada padatnya jalanan, ponselku kembali bernyanyi.

"Ya, Ras?...  Oh, aku sudah di jalan. Tenang saja, aku sudah berjanji akan datang, kan, pada kalian?... Oke, kita bertemu di sana."

Menarik napas dalam, aku melepas headset lalu membuangnya di kursi penumpang. Aku sebenarnya sudah berencana untuk tidak hadir di pesta itu, sebab Ardi tak dapat menemani tapi teman-teman memaksaku. Mereka mengancam akan menjemputku dengan paksa jika aku tak datang dan aku tidak mau menjadi bahan percobaan 'salon dadakan' mereka.

Mereka menyambut kedatanganku dengan senyuman secerah mentari terbit. Setelah memberi ucapan selamat kepada kedua mempelai, aku memilih duduk di pojok sambil menggendong Olive, putri kedua Laras.

Ekor mataku sibuk mengamati para tamu yang hadir, yang kebanyakan adalah para pimpinan relasi perusahaan kami. Sebagian aku mengenalnya, karena sering bertemu saat meeting bersama. Sebagian besar lainnya tidak ada yang kukenal.

Lagu qasidah ya habibal  qalbi yang dilantunkan oleh penyanyi wanita mengalun lembut. Sekilas kulirik asal suara. Oh, rupanya gadis imut dengan gaya berbusana ala pemuda zaman now, tapi masih memenuhi standart menutup aurat. Suaranya empuk, penyanyinya cantik.

Rengekan Olive yang meminta untuk bertemu ibunya mengalihkan perhatianku. Aku menuntun bocah mungil ini setelah sebelumnya meletakkan sepiring cake yang ludes creamnya saja, membelah kerumunan manusia. Sebelumnya aku telah mengirim pesan pada Laras, menanyakan keberadaannya.

"Wow, Ardi sudah menjadi  ayah!"

Aku sempat menghentikan langkah, sedikit salah fokus dengan suara sapaan dari tamu yang menyebut nama Ardi. Ah, mungkin bukan Ardi-ku.

"Kamu bisa saja, bro! "

Suara itu...

Aku menoleh sebentar, tapi yang nampak hanya punggung orang lain.

"Ini istrimu?"

"Ya, kenalkan, namanya Saila Putri Kinanti, ibu dari anak-anakku."

Tidak mungkin!
Aku mendengarnya menyebut nama Saila. Aku melihatnya mengenalkan Saila pada teman-temannya. Tanpa sengaja manik kami bertemu, dan kami seakan terkunci dalam dunia yang kami ciptakan.

"Di...."

Ada aku di sini, tidakkah kau ingin mengenalkanku kepada mereka? Aku Anila Rista Swadina, istri pertamamu yang tak akan pernah bisa menjadi ibu untuk anak-anakmu.

Teman-teman Ardi menyeretnya untuk berswafoto dengan kedua mempelai. Ardi bergaya dengan canggung, namun sebelah tangannya tak urung memeluk pinggang Saila. Mereka bersenda gurau di atas pelaminan, Ardi, Saila, dan teman-temannya. Bahkan sesekali salah seorang lelaki merangkul Ardi, mereka berbicara, lalu disusul Saila yang tersenyum merona.

Aku menggeleng perlahan, kedua manikku berkaca. Sebelum semuanya tumpah, aku menggandeng Olive yang sedikit kewalahan mengimbangi langkahku bergegas menuju tengah ballroom, menemui Laras yang tengah berbincang dengan salah satu tamu.

"Ras, ini Olive, aku harus pulang. Maaf aku tak bisa lama-lama." Laras nampak sedikit bingung dengan sikapku, terbukti dia hanya mengangguk kaku.

Tak lagi kuhiraukan omelan beberapa tamu yang tanpa sengaja tertabrak atau tersenggol olehku. Aku ingin segera pergi dari tempat ini. Aku ingin pulang.

"Tunggu, Ris!"

Kenapa dia selalu bisa mengejarku, Tuhan? Aku merutuki hills sepuluh senti yang membungkus kaki. Seharusnya aku mengenakan sandal jepit yang akan dengan leluasa membawa kakiku berlari.

"Ris, kumohon, tunggu sebentar."

Napas kami terengah, aku memilih mengatur aliran jantungku yang berdegup dua kali lipat dari biasanya daripada menatap wajah Ardi.

"Aku bisa menjelaskan semuanya." Ardi berjalan mendekat, sementara aku mundur beberapa langkah.

"Aku bukan siapa-siapa bagimu, kan, Di? Aku hanya seorang istri yang hanya bisa memalukan derajat suaminya." Kedua manik Ardi membola, ketika aku telah mengeluarkan kerisauanku.

"Ayo kita pulang. Kita harus bicara." Ardi sedikit berlari mendekat, menggandeng tangan kananku.

"Tidak perlu!" Aku melepas genggaman Ardi, dan memberanikan diri menatap kedua manik kelamnya. "Sudah jelas semuanya, Di. Kamu ada di sana. Saila dan aku juga di sana. Tapi kamu tak melihatku sedikitpun."

Ardi menyugar rambutnya. "Aku tak tahu kamu juga ada di sini. Kamu bilang kamu juga ada acara."

"Dan kamu memilih pergi bersama Saila?"

Ardi membeku. Seakan kalimatku adalah sebuah gembok yang mengunci bibirnya. Mengusap setitik air mata yang jatuh, aku kembali menatap mata kelam itu.

"Seharusnya dari awal aku sudah tahu di mana posisiku di hatimu. Tapi cinta rupanya telah membutakan mata dan hatiku."

"Mempelai pria itu teman kantorku, Ris. Astaga, seharusnya aku sadar ketika membaca nama mertua Antonio." Ardi memijit keningnya, namun kedua matanya sayup memandangku.

"Aku minta maaf, sungguh aku tak tahu, Ris."

Aku menggeleng. "Lepaskan aku."

Kedua alis Ardi saling bertaut.

"Lepaskan aku dari rasa sakit ini. Aku sudah tak sanggup lagi, Di." Lolos sudah isakan yang sejak tadi kutahan. Aku berbalik dan kembali berjalan menuju mobil. Ini keputusan yang kuambil tanpa pikir panjang, sebab hatiku terlampau sakit.

"Tidak, Ris. Selamanya kamu tetap menjadi istriku." Tak kuhiraukan teriakan Ardi. Telingaku sudah mulai tuli dengan suaranya.

"Aku mencintaimu, Ris. Dulu, sekarang dan selamanya."

Tangisku pecah. Segala isak yang tertahan meluber. Aku sedikit berlari, tak mempedulikan Ardi yang mungkin masih berdiri di sana. Namun rasa penasaran rupanya jauh lebih besar daripada keangkuhanku. Ketika sudah berada di samping pintu kemudi, aku menoleh sesaat sebelum masuk mobil. Nampak Saila berdiri tak jauh di belakang Ardi.  Memandang kami dalam diamnya.

~o0o~

Hai, selamat malam. Masihkah pada melek? Atau sudah pada ileran? 😆

Seru-seruan, yuk! Menurut kalian, sosok Rista itu cocoknya diperankan oleh siapa?

Kalau  Ardi, yuk kenalan sama Abang tampan yang udah berani patahin hati Rista. Pegang jantungmu, kali aja yang jomblo nggak jadi nimpuk cintanya Rista. 😂

.
.
.
.
.
.
.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Yakin masih benci sama Ardi? 😜

#Vita 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top