1. Pengantin Baru
Pengantin baru.
Mungkin itu adalah sebutan yang cocok untuk kami. Meskipun akad nikah sudah terjadi tiga bulan yang lalu, namun kemesraan yang terjadi di antara kami masih selayaknya sepasang pengantin baru. Kemana-mana kami selalu berdua, dalam setiap kesempatan selalu berdua. Bak Romeo dan Juliet, atau mungkin seperti diserial yang sedang hits saat ini--Jodha Akbar.
Setiap hari kami selalu sarapan berdua. Seperti saat ini, saat kesibukan di pagi hari berawal dari dapur kecil rumah kami.
"Kamu mau pakai telur dadar atau ceplok, sayang?" tanyaku pada Ardi, suamiku. Sementara tanganku masih sibuk mengaduk nasi goreng di dalam wajan.
"Telur ceplok saja."
Kulirik Ardi sebentar, dia masih asyik dengan laptopnya. Mungkin ada pekerjaan yang belum diselesaikan.
"Nasi gorengnya sudah siap ...!" teriakku dari dapur beberapa saat kemudian.
Sembari menata piring di meja makan, senyum selalu terukir di bibir. Ini bukanlah kali pertama aku memasak untuk suami. Tapi entahlah, rasanya seperti ada kepuasan tersendiri. Apalagi suami selalu memuji masakanku. Serasa menjadi koki paling hebat di dunia.
"Hhmm ... harumnya nasi goreng buatan istriku. Pasti rasanya lezat."
Aku hanya tersenyum, tuh kan, belum juga dicicipi tapi pujian sudah datang padaku. Kamipun lantas sarapan berdua. Dengan menu nasi goreng rasa cinta. Nikmatnya sungguh tiada terkira.
***
Tak terasa sepuluh bulan lebih usia pernikahan kami. Rasanya masih sama seperti baru kemarin akad nikah itu berlangsung. Masih romantis, masih bermanja-manja, terkadang juga masih saling ngambek. Tak ada yang kurang, kebahagiaan yang kami miliki ini lebih dari kata cukup.
Di kantor, pagi ini aku sibuk dengan komputeeku. Banyak sekali pekerjaan yang belum kuselesaikan, semuanya menyita pikiran. Ketika sedang serius-seriusnya mengerjakan laporan pengeluaran barang, terdengar suara gemuruh keramaian di meja sebelah, mengganggu konsentrasiku.
"Waahh ..., selamat ya, Laras."
Sekilas kulirik teman-temanku. Tak ada kue, ini bukan ulang tahun Laras. Lalu kenapa mereka memberi selamat kepada Laras? Daripada pusing sendiri, akhirnya mau tak mau aku ikut nimbrung dengan ketiga temanku. Meninggalkan pekerjaanku sebentar, kemudian memutar kursi menghadap mereka.
"Wah, aku ketinggalan berita nih. Memangnya Laras kenapa ya?" Sapaku berbasa-basi.
"Eh Rista, ini loh Laras sekarang sedang hamil anak kedua," jawab Dewi.
"Wah, selamat ya, Ras. Mudah-mudahan lancar," ujarku memberi ucapan selamat kepada Laras.
"Rista, kamu udah isi apa belum? Udah hampir satu tahun loh, Ris. Nanti jangan lupa memberi tahu kami ya ...."
Deg.
Pertanyaan Dewi bak anak panah yang menghujam tepat di jantungku. Hamil? Aku? Aku tak tahu harus menjawab apa. Lama hanya terdiam, memikirkan jawaban atas pertanyaan itu.
"Maaf Ris, mungkin kami menyinggung perasaanmu," kulihat Laras mencoba menenangkanku.
"Ah tidak, mungkin belum saatnya. Nanti kalau aku hamil, kalian orang kedua yang kuberi tahu setelah keluargaku," jawabku mengelak sambil tetap tersenyum.
"Aku ke mejaku dulu ya, ada banyak kerjaan," pamitku pada teman-teman.
Di meja kerja, aku masih diliputi dengan rasa gundah. Ya, mereka memang benar. Hampir setahun aku menikah, tapi belum juga ada tanda-tanda kehamilan padaku. Jangan-jangan ....
Berbagai prasangka mulai hilir mudik di pikiranku. Mungkinkah ada yang salah dengan kami berdua--yang kurasa selama ini kami baik-baik saja? Ya Allah, tenangkanlah hatiku.
***
"Kau tahu Ris, salah satu teman kantorku istrinya baru saja melahirkan. Dia sangat bahagia sekali," cerita Ardi penuh gairah.
Kenapa harus soal anak lagi. Huft ... rasanya aku tak ingin membicarakan topik ini.
"Kamu kenapa, Ris?" Ardi memandang wajahku dengan raut penasaran.
"Ah tidak, tadi di kantor semua teman-teman memberi ucapan selamat kepada Laras, dia sedang mengandung anaknya yang kedua."
"Lalu kenapa kamu tampak kesal, Ris?"
Aku hanya menggeleng.
"Temanku itu bahagia sekali menceritakan jagoan kecilnya. Setiap malam harus terganggu tidurnya oleh tangis anaknya. Mengganti popok lah, membuat susu lah, menggendong atau meninabobokan bayinya. Aku sampai iri dengannya. Entah sampai kapan harus menunggu saat itu." Ardi menerawang menceritakan sahabatnya.
Telingaku rasanya panas sekali, semakin resah. Kurasa Ardi ingin sekali segera memiliki seorang anak. Tapi sampai detik ini Tuhan belum mempercayai kami. Tanpa terasa air mata meleleh membasahi pipiku.
"Kau baik-baik saja, Ris?" tanya Ardi seraya menghapus air mataku.
Kutatap wajahnya, ada rasa khawatir di sana. Aku tak sanggup lagi untuk bicara. Kurebahkan tubuh dipelukan Ardi. Hanya ingin kehangatannya saat ini.
****
Hari-hari berikutnya kulalui dengan galau. Boleh dibilang sudah galau tingkat tinggi. Tak ada gairah seperti dulu. Bayangan seorang anak selalu menghantuiku. Bahkan dalam tidur lelapku.
Setahun pernikahan kami, aku mulai dilanda rasa bosan. Mungkin predikat pengantin baru itu sudah lepas dari kami. Kini yang ada hanyalah berbagai pertanyaan tentang kehamilanku. Kok belum hamil? Kapan bisa memberi cucu? Di tunda, ya?
Semua pertanyaan itu membuatku tak berselera untuk makan. Bahkan es krim coklat kesukaanku sudah lama tak kusentuh. Semua serba hambar. Ya, hambar. Mungkin itu pula yang kurasakan dalam hidupku.
Pagi ini kami sarapan seperti biasanya. Menunya pun nasi goreng plus telur ceplok, menu favorit kami berdua. Tapi tetap saja aku tak berselera. Kuaduk-aduk saja nasi di piring. Hanya sesekali kumasukkan ke mulut. Ardi masih tetap lahapnya menyantap masakanku. Tiba-tiba perutku terasa seperti di aduk-aduk, rasanya ingin muntah. Bergegas aku ke kamar mandi. Menumpahkan semua nasi goreng yang hanya kumakan dua sendok itu.
"Kamu kenapa, Ris?"
"Entahlah, belakangan ini aku tak berselera makan."
Ardi lalu tersenyum.
"Kita periksa ke dokter saja. Jangan-jangan kamu hamil, Ris."
Hah, hamil? Mungkinkah ini yang terjadi pada diriku?
****
Surga Kedua
Vita Savidapius
(@)2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top