Prolog
Malam terhangatkan oleh api pertempuran seperti malam sebelumnya. Namun sekarang api itu mulai padam dan memudar. Tembok terakhir Rabbah telah jebol, Rabbah telah jatuh.
Pada akhirnya ayah Ishan salah, tembok Rabbah dapat dirobohkan, meski dibangun tak hanya dengan bata namun juga mantra. Mungkin benar temboknya istimewa tapi penjaganya tidak, sebelum dikepung mereka malah membunuh satu sama lain. Menyerang saat musim pemilihan pangeran, kenapa penakluk di masa lalu tak melakukan itu? Menunggu, mereka tak suka itu. Jika Kandaris tidak terburu-buru kita bisa menunggu dan kota bakal jatuh tanpa perlu bertarung. Pemilihan tahun ini sangat panas kota mungkin hampir jatuh ke perang saudara, atau mungkin sudah?
Alasan mereka saling membunuh tak penting sekarang, kota telah jatuh dan ketiga pangeran Rabbah sedang bersujud di hadapan Sang Penakluk. Pangeran Rabbah yang bahkan tak sudi menapak tanah sekarang mencium kaki Kandaris mencari pengampunan.
Ishan cukup yakin akan bertemu Rashid sebagai salah satu Pangeran. Faktanya Rashid tak ditemukan dimana-mana. Di manor Yakash tak ada, diantara ribuan orang yang mencari perlindungan disana. Bahkan menutup Selat Kering untuk mencegatnya. Rashid selalu menang dalam petak umpet.
Negosiasi -jika bisa disebut begitu- berjalan lancar hingga terasa membosankan. Salah satu Pangeran ternyata cukup buruk dalam hal memohon pengampunan dan diseret keluar untuk mati. Itu akan jadi contoh yang bagus.
Ishan menatap kota yang ia khianati. Jalanan dimana Ishan berlari bersama Rashid sekarang kacau dan berbahaya. Ishan ingat ada penjual manisan di perempatan dengan air mancur. Yang mana Rashid bakal beli banyak sekali untuk dibagi bocah-bocah lain yang mereka temui. Tak lama bocah-bocah itu mulai memanggil mereka dengan sebutan Pangeran muda. Berapa banyak dari mereka yang terbunuh malam ini tak mau Ishan pikirkan.
"Antarkan aku menuju pedang raja" ujar Kandaris. Suaranya menggelegar bagai petir, suara penakluk. Bukan suara selembut sutra saat menyanyi atau di kasur. "Secepatnya Ishan"
"Ya yang mulia, lewat sini" mereka berjalan beriringan, mereka diikuti pengawal dengan araq dan berbau pasir. Ishan rindu laut. Padahal belum setengah langkah Shentason Shenta ia selesaikan. Bahkan Pelangkah Samudera terpaksa ia jual ke bangsawan dengan rambut bagai dikecup bara dan mata yang selalu nampak marah. Tak ada waktu menyesal, Ishan sudah pilih jalan ini tak mungkin kembali.
Lorong menuju makam Arabbah penuh dengan belokan dan turunan dan turunan dan belokan. Ishan kaget ia masih ingat rute ke makam. Saat kecil Ishan sering diajak ibu ke kuil terus jadi bosan seperti anak kecil lain lalu pergi berpetualang ke dalam kuil.
"Apa masih lama?" tanya Sang penakluk mulai jengkel. Ishan tak menjawab dan meneruskan langkahnya yang semakin lama beriringan dengan detak jantungnya. Tak lama kemudian sebuah pintu perunggu berdiri menghadang.
"Dibalik pintu ini yang mulia" Ishan mendorong pintu perunggu hingga terbuka, mengekspos ruangan besar dengan peti emas di tengah dikelilingi patung bersenjata. Saat Ishan masuk rasanya para patung bakal menyerang. Faktanya mereka hanya menatap Ishan dengan kecewa.
"Buka" para pengawal bergerak dengan perintah Sang penakluk. Butuh empat orang untuk membuka peti emas. Kandaris yang tak sabar untuk melihat isinya berdiri di dekat peti, Ishan mengikuti. Saat peti terbuka bau engap dan beberapa serangga keluar. Meski ini makam Arabbah, ini tetap saja makam.
Di dalam peti sebuah tengkorak memakai mahkota mengenakan kain emas menyambut mereka, tangannya mengepal di dada memegang... Tak memegang apa-apa.
"Dimana pedangnya?" tanya sang Penakluk, suaranya bagai guntur yang ditahan. "Cari pedangnya!" para pengawal menyebar mencari di belakang patung, di setiap sudut ruangan.
Sang Penakluk memegang pundak Ishan, mencengkeram pundak Ishan. Detak jantung Ishan berhenti sejenak.
"Kau akan membayarnya" seolah-olah Rabbah tidak cukup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top