6. Si tudung merah

Awalnya Theo hanya ingin mengajari Lenna cara memetik senar dengan benar, pada akhirnya hal ini mengikuti hal itu hingga menjadi hal lain yang tak bisa Theo bayangkan. Pagi ini Theo bangun di kasur bersama Lenna, mereka berdua telanjang, dan jika ingatan Theo tidak bohong dirinya sudah tidak perawan lagi. Jika Theo masih Theo Donovan -Putri Oldstone- ini adalah skandal. Tapi dirinya sekarang adalah Renna dari Rabbah.

Rasanya hampir selamanya sejak Theo nekat melompat dari menara putri. Beruntungnya tak ada yang mencari, atau mungkin mereka sudah mencari tapi Theo tak ketemu. Karena Renna -tak seperti Theo- punya rambut pendek dan bertudung merah. Cerita yang Ia bagikan ke orang-orang adalah pedagang lari dari perang seperti banyak orang Rabbah yang ada di sini.

Lenna disampingnya tampak tak berniat untuk bangun. Tidak mengejutkan karena semalam mereka cukup energetik. Siapa yang menyangka penyair cantik ini punya banyak pengalaman. Renna beranjak dari kasur, berpakaian, buka jendela dan disambut huru-hara. Diluar lebih ramai ketimbang kemarin. Seperti festival panen yang pernah Theo hadiri dulu, dimasa saat Ayah dan Ibu masih bersama, sebelum Theo diberi pedang. Bendera seribu warna digantung bersama dengan bendera serigala berekor dua, panji Klan Roqhan.

Renna menoleh menemukan Lenna mengusap mata sambil menguap. "Renna sudah bangun?" Lenna menoleh mencari Renna.

"Kelihatannya, iya" Ia tak menunggu jawaban. "Berapa banyak tarifmu?" ucap Renna centil. Pertanyaan itu mengusir kantuk Lenna.

"Aku bukan pelacur!" Lenna bersikeras. "Kan sudah kubilang semalam" itu setengah benar. Dulunya Lenna itu pelacur, sekarang tidak. Tapi dia selalu diingatkan. Semalam saja ada orang yang mengingatkan Lenna dengan koin perak. Lenna menolak dan tatapan Theo menakutinya.

Ia sebaiknya meminta maaf. "Kalau begitu aku minta maaf, itu lelucon yang buruk" karena Renna bukan Theo Donovan. "Beritahu aku ada apa diluar" Renna menunjuk keluar jendela. Lenna beranjak membawa selimut untuk menutupi sebagian tubuh dan kemaluannya. Yang mana penampakannya membuat Renna ingin mendorong Lenna ke kasur dan menikmatinya lagi. Ia tahan godaan itu pada akhirnya.

Lenna mengintip dunia luar dari jendela tak cukup besar untuk dua orang. "Ini hari putri Helianha akan datang" untuk apa? Apa dia tersesat? Kampung Vaalen memang punya pesona tersendiri dengan jalan batu abu-abu penuh retak, tugu berjanggut lumut dan menara batu setengah roboh. Tetap saja ini bukan tempat untuk seorang putri. Lenna menjawab pertanyaan Renna sebelum ditanyakan.

"Beliau datang untuk mengadakan majelis perempuan" majelis biasanya diadakan oleh penguasa dan tempatnya di kastil mereka, bukan di kampung yang hanya punya satu penginapan. Tetap saja bendera dan panji ini nyata.

"Renna harus datang. Kamu bukan dari sini tapi aku yakin Sang Putri tetap akan mendengar" putri yang mana? Hampir ia tanya, Renna tak boleh lupa. Majelis, batin Renna, Dia ingin mendengar apa?

"Jika kau juga" mereka bahkan bisa tampil saat waktu istirahat.

"Tidak, ini majelis perempuan jadi hanya perempuan yang hadir" Lenna menghela sambil menjawab. Lalu untuk apa wajah cantik itu? batin Renna. Lenna bukan gadis, tapi bagaimana jika iya?

"Ya kau akan" jawaban Lenna adalah tatapan kebingungan. "Kau hanya butuh pakaian yang benar" sekarang terkejut dan mata Lenna menatap sedalam sumur.

"Tidak!" Lenna menoleh menjauh, tangan memeluk diri sendiri bagai melindungi barang berharga.

"Mengapa? Ini cuma pakaian" dengan suara Ibunya. Hasilnya kebalikan yang ia kira.

"Itu yang mereka katakan! Lalu mereka mulai menyentuh lalu... lalu..." Saat Lenna sudah terpojok baru Renna sadar, ia selalu telat untuk menyadari.

"Maafkan aku, seharusnya aku tidak" apalagi yang harus dikatakan? Batin Renna. "Memaksamu..." Lenna menatap dirinya sebagaimana dia menatap pria semalam. Apa yang sudah kulakukan, batin Renna. "Aku minta maaf" Renna berdiri tak bergerak bagai tugu di alun-alun.

Ia berdiri hingga suara huru-hara dari luar merembes ke dalam, Lenna akhirnya membuka membuka mulut. "Renna tidak lelah?" ucapnya dengan suara khawatir.

Memang, tapi ini tak seberapa, dulu ketika Theo tak patuh terhadap Ayah sering dirinya dihukum dengan berdiri di lapangan dibawah terik musim panas atau rangkulan musim dingin. Kadang dirinya bertahan, saat tidak ia terbangun di kasur dengan Ibu menggenggam erat tangannya.

"Tidak" Renna bohong.

"Reaksiku tadi kelewatan-"

"Tidak!" Renna bersikeras. "Kau punya hak untuk begitu" bagaimana caranya menjelaskan? Memahat kata bukan bakatnya. "Kau tak perlu minta maaf, aku yang harus minta maaf"

Lenna menatap Renna dengan mata menghakimi. Ia pakai tunik hijau selutut sedangkan Lenna masih dibalut selimut. Tapi dirinya terasa lebih telanjang dibanding Lenna dibawah tatapannya. Dia berdiri, selimutnya merosot ke lantai membuatnya telanjang bagai bayi baru lahir lalu berjalan mendekat.

Lenna menggenggam tangan Renna sebagaimana Ibu melakukannya. "Jika Renna ingin, aku bisa" dengan tangan lembutnya Dia menghentikan protes Renna sebelum terjadi. "Tapi dengan satu syarat, berjanjilah, bersumpahlah!"

"Kau tak perlu-" protesnya dipotong lagi.

"Bersumpahlah!" perintah Lenna terasa seperti permohonan, Renna mengalah. "Orang Rabbah tak melanggar sumpah, apa itu benar?" saat ini ia adalah Renna dari Rabbah, dirinya menjawab dengan anggukan.

Renna mengangkat jari ke dahi lalu dada. "Aku bersumpah" lirihnya. Lenna nampak puas lalu berbisik.

"Renna dari Rabbah aku ingin dirimu...."

***

Rombongan Putri Helianha sampai di gerbang disambut penduduk Vaalen, Renna lihat dari jendela penginapan. "Bisa lebih cepat?" Lenna masih berpakaian sementara dirinya sudah dan bertudung merah.

"Kalau begitu bantu aku, yang ini" Lenna memunggungi dirinya, tali korset masih menjuntai menyapa Renna. Ia ikat tali korset sebagaimana Betha melakukannya untuk Theo.

Renna menghela. "Kau bahkan tak butuh korset"

"Ya aku butuh, seorang Nona butuh korset" Lenna berkata dengan nada seperti Marissa. Renna mulai menyesali sumpah itu. "Juga kau tak suka pakaianku yang tadi"

"Karena kau bukan pelayan" ia sadar ada yang kurang. "Juga bukan Nona. Kenapa harus sampai begini, aku setengah bercanda waktu itu" ia bohong, petikan lute Renna setara seniman tapi tanpa suara Lenna dirinya hanya pengamen biasa. Putri Helianha orang yang dermawan, orang bilang, juga suka seniman dan penyair.

Uang tak pernah jadi benak pikiran Theo tapi Renna iya. Saat melompat Ia bawa sebanyak mungkin tapi jika ingin terus hidup nyaman Renna bakal butuh pekerjaan. Pedang datang pertama di kepalanya, juga yang pertama diusir. Yang ini jauh lebih aman, setidaknya mereka masih hidup jika gagal.

Saat mereka selesai Lenna berpakaian selayaknya Nona dari bangsawan rendah. Agak sederhana soal bahan pakaian, katun ketimbang sutra. Namun, lebih bermartabat soal warna ketimbang orang biasa. Dengan hijau segar dan kuning hangat untuk rambut coklat lembutnya.

"Apa aku cukup cantik?" tanya Lenna dengan -anehnya- suara kaku. Renna menyesal saat melompat tak membawa cermin bersamanya karena Lenna saat ini nampak lebih cantik dari setengah gadis di kerajaan.

"Gadis tercantik di seluruh negeri" ucap Renna bagaikan dalam drama. Rona Lenna meracuni dada Renna bagai kecupan bunga mekar. Seharusnya Ia biarkan Lenna berpakaian seperti pelayan. Jika mereka menikah... Renna menggelengkan kepala, Donovan tak boleh, tapi ia bukan Donovan sekarang.

"Renna kenapa?" suara Lenna lebih manis ketimbang semalam. Jika kita menikah, batin Renna, kita bisa berkeliling dunia sebagai kekasih seperti Putri Theohanha dan Ghaya. Akhir kisah mereka tak penting, ini kisah Renna.

"Kita harus-" menikah, itu yang ingin ia katakan hingga Ia sadar apa artinya. "Segera turun" darah ningrat tak boleh bercampur dengan milik orang biasa, Ibu bilang. Dulu ada anak laki-laki seumuran dirinya dengan tahi lalat sebesar lalat, penjaga kuda atau pelayan ia tak ingat, awalnya hanya main-main lalu berciuman lalu ketahuan Ibu, esoknya dia pergi, sekarang ia bahkan tak ingat namanya.

Dengan kecapi di tangan, Renna mengawal Lenna keluar kamar. Kayu tangga penginapan baru dan kuat dengan ketukan nyaring ketika dipijak. Seperti tepuk tangan yang mereka dapat semalam dan akan dapatkan nanti. Penginapan hampir kosong menyisakan Hollard menyapu sendirian ditengah orang mabuk yang belum bangun. Nampaknya Ibu dan para saudarinya sudah pergi menyambut dan dia ditinggal.

"Nampaknya sekarang dirimu pemiliknya" ucap Renna, embun kantuk mulai menguap dari mata Hollard saat dia mendengarnya.

"Renna, dia siapa?" ucap Hollard. Tangan Lenna mencengkeram lebih erat seperti berusaha agar tidak jatuh. Saat embun kantuk menguap semua Hollard baru sadar.

"Oh, Lenna" Hollard mengelus pipi tembemnya. "Juga itu pakaian mahal, darimu?" yang terakhir untuk Renna. Tangan Lenna masih mencengkeram.

Renna melangkah ke depan. "Ya, kamu mau coba pakai?" Kekhawatiran Renna tak membuahkan hasil. Hollard hanya tertawa sembari menepuk perut buncitnya.

"Kalau kau punya yang sebesar ini" Hollard menepuk perutnya bagai sebuah gong. "Kalian tahu, saat perutku masih datar dan keras aku sering bermain dandan dengan saudari-saudariku, masa itu adalah masa yang lebih manis" kalimat terakhir Hollard terdengar agak sedih. Lenna berhenti mencengkeram.

Dengan suara Penguasa, Hollard berkata. "Kalian ingin menghadiri majelis kan? Rayu Putri Helianha dengan nyanyian dan petikan kalian, penginapan ini tak pernah menaungi putri kerajaan" kau sudah menaungi putri disini, meskipun kerajaannya sudah tak ada.

Lagi-lagi tangannya dicengkeram Lenna. "Kita tak boleh telat"

"Kalau begitu diriku mohon maaf, Nona" Hollard menunduk palsu. "Perut kalian sudah diisi? Ada roti segar jika mau" tawaran Hollard menggoda, saat ini ia ingin makanan manis, roti dan madu atau teh dan madu atau manisan, jika bisa manisan timur yang asam dan pedas dan manis.

"Madu dan roti saja" ucap Renna, jawaban Lenna adalah mencengkeram lebih erat. "Kita tak akan telat, majelis bukan pertunjukan berjadwal ketat" ia pernah menghadiri majelis sebelumnya, tapi yang ia ingat hanya seberapa bosan dan mimpi apa yang ia dapat.

"Tapi sumpahmu-" ia cepat-cepat menjawab untuk menutup mulutnya.

"Kita akan makan sambil jalan" ucap Renna dengan suara lantang untuk Hollard. "Puas?" wajah merengut Lenna lebih manis dari madu.

"Pada akhirnya penyihir pun datang" ucap pria mabuk setengah bangun, caranya duduk mirip orang tenggelam di genangan air.

Tanpa diduga Lenna menjawabnya. "Jaga lidahmu kalau masih sayang. Beliau Putri Helianha, putri raja dan pewaris tahta Veden" pria itu ingin membalas namun tatapan Theo membisukannya. "Renna, lakukan sesuatu!" Lenna sekarang berkata bagai seorang Nona.

"Baik, Nona" ia rangkul Lenna pergi. Dia berusaha bebas tapi tak membuahkan hasil.

"Apa maksudmu?"

"Aku melakukan sesuatu, atau kau mau ku gendong saja?" itu membuat Lenna merona. Hollard mengamati dengan mata sehangat roti di tangannya.

"Cinta memang... Seperti..." Hollard merona. "Aku bukan penyair, tapi kalian, silahkan" roti penginapan sedikit lebih keras ketimbang yang Theo biasa makan, dengan gandum yang kemungkinan besar dicampur serutan kayu. Apa Putri Helianha rela makan seperti ini? batin Renna. Di dunia ada Putri dan putri, entah Helianha yang mana.

Dia baik dan murah hati, kata seniman. Juga penyihir, kata orang mabuk. Renna tahu harus mendengar yang mana.

Valeen penuh anak-anak, pikir Theo saat pertama kali datang, berlari tanpa alas kaki. Hari ini tak berbeda. Disini dan disana gadis kecil memetik bunga dari semak di pinggir jalan, juga berusaha agar tidak tertusuk duri. Diawasi rumah setua leluhur mereka.

Hati Renna berdegup dan tak sadar telah menggenggam tangan Lenna seerat kecapi.

Langkah mereka menuju alun-alun kota diawasi. Dari jauh tugu Valeen tampak mengambang diangkat orang-orang.

Majelis perempuan dihadiri wanita muda, tua, gadis, ibu, wanita cantik dan wanita jelek. Mereka masih berdiri di barisan belakang, hanya sedikit bagian Putri Helianha yang kelihatan, juga silau Perisai dan Pedang sang Putri. Suara putri Helianha diiringi tawa terbawa hingga ke belakang. Renna berdiri dan menunggu.

Gadis yang berdiri hikmat di samping Renna punya hidung terlalu besar dan terlalu bengkok, juga bibir yang tidak cocok untuk wajahnya. Theo ingat Ibu pernah berkata. "Apakah ada makhluk di dunia ini paling tak beruntung jika bukan wanita jelek?" ia tak paham saat mendengar itu. Namun, semakin ia pikirkan, semakin jelas.

Majelis perempuan putri Helianha tak lebih menarik ketimbang yang lain. Orang bertanya, memberi pujian, memberi hadiah. Saat ini Putri Helianha dengan senyum sopan sedang berbincang dengan wanita bungkuk. Kadang beliau tertawa sopan dan menggeleng dan mengangguk saat wanita bungkuk itu memberinya kotak hijau dengan tangan keriputnya.

Lambat laun mereka semakin ke depan, jika Lenna gugup, dia menyembunyikannya dengan sempurna. Pada akhirnya Putri Helianha terpampang jelas untuk mereka, lumut tugu dipangkas bersih ditempat dia duduk. Batu hitam mengintip dikelilingi lumut setua Renna. Ia mengira akan bertemu seseorang yang berbeda.

"Apa perihal kalian?" beliau tak nampak seperti putri di imajinasi. Putri Helianha memakai gaun datar Roqhan hijau, dengan topi lebar berpita emas palsu. Topi yang indah dan cocok untuk beliau, namun dibawah topi tak sehelai rambut pun tumbuh. Lenna menjawab sebelum Renna.

"Kami musisi yang mulia" suara Lenna lebih manis dari Putri Helianha. "Bermain untukmu adalah kehormatan terbesar kami" sopan santun Lenna sebagus gadis bangsawan. Meski begitu Putri Helianha tetap memandang mereka dengan tatapan menilai.

Saat Putri menatap mata Renna, bayangan ketakutan berkelip di mata beliau lalu pergi ke dalam. Akhirnya Putri Helianha terdiam, menatap Renna dengan wajah bagai matahari diselimuti awan. Dia tahu? Kita tak pernah bertemu

"Maafkan aku, kamu cantik sekali. Siapa namamu?" Putri Helianha bertanya kepada Renna, atau Theo yang dia cari? Renna sudah memastikan bahwa Lenna itu lebih cantik dan menarik perhatian ketimbang dirinya, agar semua mata tertuju padanya. Mataku, batin Renna, selalu mataku.

"Renna" rasanya salah tak punya nama belakang, bagai orang tanpa bayangan. "Dari Rabbah" ia memastikan untuk menunduk sekarang, membuat gugupnya terlihat akan membantu.

"Aku hanya... apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Putri Helianha, mungkin air mata akan bekerja. Theo mengingat malam Ibu meninggal, tangan lemasnya ia genggam seperti malam sebelumnya. Semakin lama napasnya semakin jarang, hingga pada akhirnya tak sama sekali.

"Tidak, aku... Maksudku" Theo mulai mengucurkan air mata, Putri Helianha pada akhirnya berhenti menggali.

Majelis perempuan dihentikan sejenak agar Putri bisa mengambil napas. Renna dan Lenna diberi kesempatan bermain untuk majelis perempuan. Ini kesempatan kami, batin Renna.

Renna memetik kecapi, Lenna bernyanyi. Mata majelis tertuju kepada mereka. Renna menunduk berlindung dengan tudung, meski sebenarnya mata mereka tertuju pada Lenna. Dalam pertunjukan mereka Putri sesekali menatap dirinya, menggali. Renna menunduk tak membalas tatapan, meskipun demikian saat ia membalas, matanya menghindar.

Mereka bermain tiga lagu; Termakan pohon, Putri dan Belalang, dan Gadis dari Awan. Ia suka semuanya, penonton mereka lebih suka lagi. Setiap lagu berakhir tepuk tangan keras menyambut mereka, seringkali juga mereka bernyanyi bersama Lenna. Putri Helianha tidak begitu sayangnya, ia tidak mengharapkan beliau untuk bertingkah seperti mereka. "Seorang Putri harus punya kesombongan tertentu atau dirinya hanya gadis biasa" itu dari ayah atau ibu, dirinya tak ingat.

Beliau hanya tersenyum sopan, sesekali berbisik kepada Perisai di sampingnya. Tawa kecil kadang datang, yang paling buruk adalah saat beliau menguap di belakang kipas lipat. Bagian dari dirinya berkata bahwa ini hanya buang-buang waktu saja. Akhir pertunjukan menyelamatkan dirinya. Aku tak lahir untuk menghibur, batin Renna.

Yang pertama bertepuk tangan adalah Putri Helianha lalu diikuti Pedang dan Perisai hingga merambat ke seluruh majelis. Rasanya seperti itu lebih lama dari yang dirinya rasakan. Putri Helianha mengangkat tangan mendiamkan majelis dan mengangkat kotak pemberian wanita tua tadi. Menyuruh mereka mendekat dan membukanya. Didalam adalah dua manisan berwarna manis-merah.

"Kalian bisa berbagi, atau ingin hadiah lain?" Ya, emas. Batin Renna. Namun manisan ini seharga emas juga. "Ini hadiah pertama, yang lain menunggu. Setelah majelis selesai, temui aku" Putri Helianha tersenyum dengan senyuman yang kamu mungkin temukan satu atau dua kali seumur hidup. Senyum yang mampu membayangi semua senyum setelah dan sebelumnya.

Lenna menerima hadiah mereka dan membungkuk, menarik Renna yang membeku menjauh. Renna sadar bahwa Lenna mencengkeram geram tangannya. Matanya mengadili, pipinya membengkak. "Dia itu putri, kita cuma penyair" ucap Lenna dengan suara menekan.

"Tapi aku juga seorang putri, dan dirimu pangeranku" itu membuat Lenna merona. "Pangeranku, hadiahku?" Ia merampas kotak dari Lenna yang masih merona,

"Hentikan" ucap Lenna berbisik. "Jika mereka, kau tahu"

Renna mengambil satu manisan apel dan langsung melahapnya. Rempah dan gula berdansa di mulutnya, untuk sesaat mulut Renna ada di surga. "Jika ada yang tahu lalu apa? Kamu tinggal berubah jadi gadis, aku bagus dengan pisau" butuh beberapa saat agar Lenna memahami perkataannya. Saat sadar dirinya diberi pukulan main-main di bahu.. yang mendorongnya jatuh bagai pohon diterjang bagai. Ia tak merasakan jatuhnya.

Di tanah kaki Renna berakar, benalu menggerayangi tubuhnya, tangan bagai daun layu. Suara dunia tenggelam dalam dedaunan kering. Angin mendorong Renna terbang dari menara. Dibalik langit biru dan awan abu-abu wajah Lenna sangat mirip Ibu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top