5. Wakil kapten

Argo bangun disambut kasur dingin. Pelacur semalam sudah mengambil koin dan pergi tanpa pamit. Apa yang Argo harap, mereka cuma pelacur. Kasur berderit bersama bangunnya Argo. Perut buncitnya berguncang setiap langkah. Argo minum dan cuci muka dengan air dalam kendi lalu mengambil hidung perak di rak meja. Awalnya Ia pakai emas dengan gaji pekerjaan ini, tapi setelah dicuri berkali-kali mungkin Tuhan berkata sesuatu. Kebanyakan pencurinya adalah pelacur, tentu saja.

Cermin sekepala membantu Argo memasang hidung dengan pas. Menutupi lubang yang dulunya adalah hidung besar, bulat, panjang dimana semua orang di desa memanggilnya Kodok. Hanya Kodok. Tak tersihir tak menyihir, para gadis menyebutnya. Tak ada lagi yang berani menyebutnya Kodok setelah Ia pakai  seragam dan tombak dan pedang.

Hidung perak Argo ramping, kokoh dan berkilau saat kena cahaya. Ia pakai erat-erat agar tak lepas dan menunjukkan isinya. Seragam hari ini adalah zirah perunggu, tugasnya hari ini adalah menjadi pengawal sepupu Tuk Rezan dan rekannya. Tuk Rashid namanya, pria kurus dengan alis dan jari lentik yang akan dicemburui pelacur. Pria macam apa itu, pikir Argo. Tetapi rekan Tuk Rashid membuat Argo tak nyaman, Tun Shuuyi namanya. Caranya bicara dan bergerak sangat mirip dengan Hildanh. Hingga ke senyum dan tatapan yang menghancurkan, sama seperti Hildanh. Hidung Argo gatal di bagian yang sudah di potong.

Memori datang menerjang, menuju ketempat dimana perutnya masih ramping dan hidung masih utuh. Hildanh bahkan tak memberi Argo berkatnya saat berduel melawan bajingan Garin demi dirinya. Semua orang memanggilnya gila untuk itu. "Kau akan membayar dengan nyawamu" ujar kapten Rodanh sembari mengguncang dirinya. Pada akhirnya Argo membayar dengan hidung yang Ia benci, pekerjaan yang Ia banggakan, dan Hildanh. Wanita tak tahu diri. Argo menghela napas, tak baik terus-terusan menyesal, tak ada yang akan berubah.

"Oi Argo s'dah siap belum?" teriak Skazan dari luar, Ia tak menjawab. "Oi apa masih tidur?"

"Sudah bangun jangan masuk" Ia mempererat sabut di pinggang dan perutnya, hingga rasanya bagai dililit ular. Ia mengikat zirah perunggu lebih erat lagi. Setelah selesai perutnya tidak sebuncit sebelumnya dan nampak lebih berwibawa ditutupi seragam. "Aku datang"

Skazan menunggu dibalik pintu. Pria jangkung sekurus dan selurus tombak. Tahi lalat sebesar kelereng mendiami pipi Skazan dan saat Dia tersenyum bakal memperlihatkan dua gigi ompong.  "Akhirnya wakil kapten s'dah datang, apa pelacurnya bagus?"

"Lumayan, setidaknya aku tak rugi" pelacur semalam berusaha menyembunyikan ekspresi jijik dengan desahan saat Argo melepas hidung peraknya.

Skazan bawa dua roti dan memberi Argo satu. "Makan di jalan, Tuk Rezan s'dah memanggil. Dia tak akan s'ka ada yang telat saat ini" ujar Skazan. Tuk Rezan tak suka ada yang telat dari dulu tapi semenjak Tuk Rashid datang hati Tuk Rezan bagai diisi garam lebih banyak dari biasanya. Mereka mulai berjalan menuju tujuan. Saat berpapasan dengan orang lain Argo memasang wajah berwibawa. Hingga sampai ke ruang tengah penuh orang dihantui bau kantuk.

"Bersiap!" Ia meraung dan mereka berdiri. Kantuk yang menghantui langsung hilang seketika.

"Siap pak!" mereka teriak beriringan. 'Seorang kapten butuh raungan singa' kata kapten Rodanh saat Ia masih di Myranh. Tak lebih dari bocah Ia saat mendengarkan itu, saat hidung Argo masih utuh. Kapten Rodanh selalu menginspeksi setiap anggota pleton satu persatu dengan mata baja miliknya. Dan Argo juga.

Ia berjalan ke Vallyg memasang ekspresi Kapten mengamati wajah yang masih tak lebih dari bocah dengan kumis dan janggut tipis. Sebelum selesai satu orang saja Skazan menepuk pundak Argo.

"Nanti saja, Tuk Rezan sudah menunggu" ujar Skazan dengan nada datar.

Argo menoleh ke arah pleton, lalu ke Skazan. "Tuk Rezan bisa menunggu"

***

Kediaman Tuk Rezan tak lebih dari sepuluh langkah dari barak pengawal. Faktanya seluruh bangunan di sekitar kediaman adalah untuk pengawal. Mengubah bagian kota ini menjadi benteng pribadi. Manor dijaga gerbang baja dengan empat pengawal, dua diluar, dua didalam masing-masing bersenjatakan busur silang. Mereka mempersilahkan Ia masuk.

Yang datang di halaman bakal disambut patung seorang bravo berdiri tegap berbadan ramping, dengan tangan mengangkat pedang bagai menantang matahari. Terbuat dari marmer dipulas hingga berkilau bagai perak. Dia berdiri menghadap Putri Tenggelam dengan mata penuh dosa. Wajahnya mirip Tuk Rezan tanpa janggut dan kumis, tanpa kerutan maupun kantong mata. Patung Tuk Qohrys saat masih muda, Tuk Rezan bilang.

Ia dapat merasakan mata mengikuti setiap langkah. Tuk Rezan bilang penjaga tak terlihat lebih mematikan. Penjaga yang bisa Ia lihat berdiri di samping pintu, kanan dan kiri. Mereka membagi tatapan lalu membiarkan Argo lewat.

Skazan berdiri menenteng tangan di samping pintu ruang makan menatapi Argo dengan mata menilai, tapi Dia tak berniat membuka mulut. Ia ikut Skazan mendengarkan. Pengawal mendengar banyak hal, kadang rahasia. Orang lain akan menyebutnya menguping tapi untuk apa punya telinga jika tidak untuk mendengarkan. Tuk Rezan orang yang menyimpan rahasia di kepala dan tidak dikeluarkan.

"Kita adalah Pangeran dulu, setelah Nabi atau Raja atau apalah ini kalah kita satu-satunya Pangeran yang Rabbah butuhkan" suara itu nampaknya dari Tuk Rashid. "Pengikutnya mendewakan dirinya tapi dia tetap manusia, kita bisa membuatnya berdarah"

"Dan bagaimana cara kita melakukannya?" sekarang dari Tuk Rezan dengan suara datar.

"Orang berkata denyut nadi Rabbah adalah Selat Kering tapi sebelum itu ada selat Ramshah. Saat Rekka dan Rabbah berperang dahulu Rekka memblokir selat Ramshah memaksa Rabbah bertarung dimana Rekka menentukan. Dan pasukan yang Kandaris bawa adalah orang gurun, bukan laut" Tuk Rashid terdengar sangat percaya diri mengatakannya. "Kita tak butuh banyak kapal, hanya pastikan tak ada kapal yang masuk. Kita bisa mengajak bajak laut untuk itu"

"Tapi Gratia-"

"Kita punya teman disana, Kakek sudah memastikan" Tuk Rashid memotong.

"Kuharap bukan hanya ini rencanamu" nada Tuk Rezan masih datar.

"Tentu saja tidak, sementara Dia berdarah kita membuat pasukan. Prajurit bayaran seperti biasa, juga Klan Donovan"

"Kau pikir mereka akan ikut?" Tuk Rezan membuat kata 'mereka' terdengar seperti hinaan.

"Mereka harus" Tuk Rashid berhenti sejenak. "Ra-Isha sudah mati tapi anaknya masih ada. Dia punya darah Yakash, soal Florens... mereka berhutang dari kita" kalimat terakhir Tuk Rashid tak terdengar cukup percaya diri.

"Dan membawa mereka ke Rabbah, tak mungkin lewat Gurun Emas jadi dari laut, apa ada cukup kapal?" Argo dengar terakhir kali pasukan nekat melewati Gurun Emas adalah saat Kaisar Topal ke 4 membawa 20.000 untuk menaklukkan Rabbah, hanya 5000 orang tersisa untuk bertarung.

"Tak perlu, kita punya ini" jawaban yang Tuk Rashid dapat adalah keheningan lalu cekikikan Tuk Rezan, lalu hening lagi.

"Kau tidak bercanda kan?" ujar Tuk Rezan dengan nada kering.

"Aku serius dan aku punya saksi"

"Wanita Suyyen ini? Dan dimana dia? Juga bukannya..." Argo tak mendengar sisanya.

"Pengawal yang baik tidak menguping" untuk sesaat Argo kira ia mendengar Hildanh. Tun Suyyi dengan shari maroon berdiri menghakimi mereka berdua. Tongkat tetap ditangan seolah-olah itu bagian tubuhnya. "Kakakku bakal-" ucapan Tun Suyyi dipotong oleh pintu terbuka.

"Kamu disini, bagus. Seseorang butuh saksi keajaiban" Tuk Rashid memakai rhyas ungu dengan aroma berbagai macam bunga menjadi dayang yang terus mengikuti. Hanya orang kaya paling kaya punya ungu, dan ungu berkaki adalah Tuk Rashid saat ini. "Ayo masuk"

"Dan Argo juga" ucap Tuk Rezan tanpa berdiri. Tuk Rashid menilai Argo dengan bulu mata lentik lalu kembali ke dalam. Argo mengikuti tapi dihentikan Tuk Rashid.

"Tak perlu, tetap diluar. Jika Rezan ingin berbicara lakukan diluar" Argo patuh dan menunggu diluar lalu menutup pintu. Kali ini Ia tidak menguping lalu tak lama pintu terbuka dan mereka keluar. Tuk Rashid yang pertama keluar bersama Nona Shuyyi, Tuk Rezan mengikuti di belakang dengan langkah berat.

"Kenapa tetap disini, lakukan tugasmu" Argo berniat melakukan itu namun Tuk Rezan tetap berusaha mengingatkan. Argo mengikuti mereka keluar.

"Pengawal atau pengawas? Kita tak akan pernah tahu" Tuk Rashid berkata sembari tertawa. "Setidaknya kamu cukup mengerikan"

"Ini perintah dari Tuk Rezan" ucap Argo penuh wibawa. Jangan minder, batinnya.

"Aku tahu"

"Si pengawal penguping" ucap Nona Shuyyi. Itu satu-satunya obrolan yang mereka lakukan. Sisanya Argo bersikap selayaknya pengawal, diam dan patuh. Tuk Rashid naik joli bersama Nona Shuyyi sementara Argo berjalan beriringan bersama pengawal yang tidak Ia kenal. Mata yang mengikuti mereka penuh penasaran dan orang-orang menyingkir dari jalan yang ingin mereka lewati.

Mereka lewati banyak turunan dan lekukan hingga bangunan Rekka yang padat di setiap sudut menjadi surut dan bau laut masuk kedalam lubang yang dulunya hidung. Dari sini kapal seribu jenis berlabuh dan berlayar dari segala penjuru dunia. Dan dari jauh sebuah patung kepala gadis mendongak dari laut penuh lumut dan kotoran burung. Putri Tenggelam, orang bilang tapi lebih mirip sedang mandi. Dengan karang di sekeliling sebagai bak mandi. Dulu Putri Rekka tapi gempa menenggelamkannya.

Kapten galiung terbesar hingga cog terkecil berlari mendatangi mereka. Joli berhenti dan diturunkan. Tuk Rashid keluar bersama Nona Shuyyi. Tuk Rashid menyambut para kapten dengan namun Nona Shuyyi lebih tertarik terhadap Putri Tenggelam. Dengan suara nyaring Tuk Rashid berkata.

"Para kapten yang baik aku Rashid Yakash butuh kapal kalian, semuanya kalau bisa"

"Untuk perihal apa Tuk Rashid" salah satu kapten bertanya.

Dan Tuk Rashid menjawab dengan suara rendah namun tetap dapat didengar. "Untuk perang"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top