4. Putri dan pangeran

Theo berdiri sendirian di lorong Oldstone. Tanpa vas, karpet ataupun lentera. Rambut dan kulitnya bersinar bagai lentera. Lorongnya besar, lebih besar dari yang ia ingat. Saat mendongak langit-langit meregang memanjang menjauh dari dirinya.

Nona Theooooo~

Para arwah memanggil. Suaranya dari belakang dan dari depan. Saat ingin melangkah tempat ia berpijak meleleh bagai lumpur. Kemanapun ia berpijak lantai meleleh menenggelamkan dirinya. Bagai api melelahkan batu.

Nona Theooooo~

Sekarang kastil berguncang dan Theo terjatuh. Tangannya tenggelam dan terjebak ke dalam lantai. Seolah-olah kastil menelan dirinya hidup-hidup.

Nona Theooooo~

Suara tapak kaki mengejutkan Theo. Pemiliknya punya senyum bagai bunga mekar.

"Ibu tolong aku!" teriak Theo sebelum wajahnya tenggelam. Dia berdiri di depan Theo, hanya berdiri. Entah kenapa Ia tak sanggup menatap wajah Ibu.

"Ini peranmu sayangku, tanggung jawabmu" lalu dia mengecup Theo di dahi, bibirnya sedingin batu. Dari sana apinya mulai padam diganti bedak abu-abu yang menjalar kemana-mana. Saat apinya sudah hilang semua yang tersisa adalah dingin tanpa akhir.

"Nona Theo!" ia disambut Betha sedang mengguncang dirinya. Bibir Betha montok dan merah muda, tidak terlalu basah ataupun terlalu kering. Jika ia rasakan bakal lembut juga hangat, bahkan mungkin manis. "Nona?"

"Ya?"

"Sarapan di kasur atau di meja?" tak biasanya Betha tanya hal itu.

"Di meja tentu saja" setiap hari selalu di meja, hanya saat ia sakit bakal di kasur. Ia keluar dari kasur masih memakai gaun tidurnya. Tak sekalipun bibir Betha pergi dari pandangannya.

"Ada masalah Nona?"

"Mendekatlah" Dia kelihatan terkejut tapi tetap patuh. "Lebih dekat lagi, lagi lagi, sedikit lagi" Dia berhenti saat napas mereka bertemu. Theo memegang lengan Betha dan menciumnya di bibir. Rasanya hangat, basah dan manis seperti yang ia kira. Inilah seharusnya ciuman terasa tetapi dimana perasaan bagai bunga mekar di dada? Apa ini ciuman palsu? Bibir mereka terpisah diiringi napas terengah-engah. Benang liur tipis terbentuk diantara mereka. Betha merona hingga ke leher

"Ya Nonaku, silakan" Betha menyenderkan bobotnya ke Theo. Sang Putri menegakkan Betha lalu memakan sarapannya dalam kesunyian. Ini tak pernah terjadi.

Roti segar, daging panas, sari buah nampak seperti batu dan pasir. Ia berusaha telan dengan paksa. Betha ingin mengatakan sesuatu tapi tak jadi dan melanjutkan tugasnya.

Ia makan ditemani wajah di cermin yang nampak lelah dengan mata lebih marah dari biasanya. Belakangan ini ia susah tidur, kebanyakan hanya menutup mata dengan melodi Wyllas terngiang-ngiang di kepalanya. Liur kering menempel di pipinya, ia butuh mandi, ya itu yang Theo butuhkan.

"Aku ingin mandi" perintah Sang Putri. Makanan di meja baru habis setengah, kegiatan makan menjadi kerja keras.

"Susu atau air hangat?" bau susu selalu menusuk hidung Theo sedangkan air hangat akan membuatnya mendidih.

"Air dingin" Betha terkejut dari jawaban Theo. Dulu Theo selalu dapat air dingin, tak pernah air hangat maupun susu. "Itu akan membuatmu lemah" kata Ayah. Ibu punya pendapat lain tentu saja dan saat Ayah pergi tak ada yang tak setuju.

Rengekan tangga menara putri terdengar bagai tawa untuk setiap langkah yang Theo ambil. Jika ia percepat langkah tawanya semakin menjadi. Rasanya dunia ini menertawai dirinya.

"Theo~ Theo~ Theo~" Ia bersenandung sebagaimana Ibu melakukannya. Biasanya saat merawat memar Theo atau setelah diserang mimpi buruk. Suaranya lebih merdu ketimbang Theo. Bagai nyanyian burung di tengah embun pagi.

"Theo~ Theo~ Theo~"

Tempat pemandian Sang Putri berada di kaki menara putri. Dibuat khusus untuk Theo dengan marmer putih dan air segar mengalir dari gunung. Kolam kecil di penghujung ruangan terdapat dua kepala Elang yang masing-masing memuntahkan air panas dan dingin. Tubuh telanjang Theo memperlihatkan bercak bekas memar disana dan disini. Di pinggang, bahu, paha, perut. Sangat samar setelah diberi salep berkali-kali, tapi masih ada. Ini sudah sembuh, tapi kadang jika disentuh rasa sakit kembali.

Guyuran air dingin membuka mata Theo. Menghilangkan keringat dan kotoran di mata. Air dingin anehnya terasa membakar. Betha menggosok kulit Theo dengan sabun berbau melati. Biasanya Betha bakal berbasa-basi terkait rumor dan gosip yang dia dengar. Sekarang tidak, dia melakukan tugasnya dalam kesunyian dan mata menunduk. Sayangnya bukan kesunyian yang ia inginkan.

"Jawabanmu tadi, itu dari rasa tanggung jawab atau cinta?" tanya Theo. Betha menghentikan tugasnya untuk sesaat.

"Itu... Saya tahu pelayan tak boleh mencintai majikan mereka" dia berbohong, Theo tahu. Saat Ayah masih ada Betha sering menghangatkan kasurnya.

"Katakan, ini perintah" tekan Sang Putri.

"Saat itu Nona sangat mirip dengan Nyonya Ra-Isha" dengan suara kecil dan merona. Theo ingat saat Ibu meninggal Betha menangis sekeras dirinya. Ia tak ingin dengar lebih banyak lagi.

"Beritahu aku hal lain" sembari meregangkan lengan untuk Betha.

"Raja Gaval ke tujuh ingin mengadakan turnamen untuk merayakan-" "Lewati yang itu"

"Jika berita buruk tak apa" ada keraguan di dalamnya. "Berita ini datang dari para pedagang. Nampaknya Rabbah telah jatuh"

Theo gemetar. Rabbah yang ia ingat punya tiga dinding tinggi dimana saat Theo berdiri di atas ia bisa menyentuh awan. Sangat tebal kau bisa merentangkan tiga orang di pucuknya.

"Bagaimana?" Ia tak sanggup untuk tak peduli. Theo punya darah Rabbah dari Ibunya dengan kulit zaitun sebagai penanda.

"Mereka bilang api melelahkan tembok, dan pasukannya bagaikan badai pasir. Mereka membawa panji tanpa gambar, hanya kata" Dia berhenti di tengah jalan.

"Katakan"

"Kandaris" namanya bagai guntur yang membawa kesunyian. Guyuran air memecah sunyi. Lalu Theo angkat bicara lagi.

"Tadi pagi di atas, apa yang ingin kau ucapkan?" ia tak mengharapkan apa-apa.

"Tuan Wyllas datang pagi buta tadi ingin berbicara dengan Nona" suaranya bagai tikus. "Dia bilang sesuatu tentang bunga anggrek"

Dia lagi, lelucon apa lagi yang direncanakan? Theo dapat merasakan dirinya mendidih, merubah air menjadi kabut. Kesunyian mungkin lebih baik.

***

Rambut Theo masih basah saat turun ke lorong. Semua pelayan dan penjaga yang berpapasan dengannya tersenyum bagai mereka tahu sebuah lelucon yang mana Theo tak diberitahu. Atau Theo adalah lelucon yang sebenarnya. Wyllas dengan cengiran dan tawa asam terngiang-ngiang di kepala.

Ia lihat Wyllas di lapangan sedang latih tanding dengan lawan yang tak berani menyerang. Wyllas menatap Theo lalu nyengir seperti Dia tahu sesuatu. Wyllas tak tahu apa-apa. Ia lewati lapangan tanpa menghitung langkah. Jalan cepat pecah menjadi lari. Jika sesuatu terjadi dengan anggrek Theo, Wyllas akan membayarnya.

Arwah hutan keramat bersiul ketika Theo datang. Senandung daun mati mengikuti setiap langkah Theo. Pohon-pohon mengamati setiap napas Theo yang terengah-engah. Seolah-olah mereka menunggu kedatangannya, dan ia datang terlambat.

Theo sampai ke pohon Ibu tak menemukan anggrek yang ia tanam disini. Yang tersisa hanyalah gundukan tanah bekas anggrek Theo. Arwah bersiul lagi. Siapa yang melakukan ini? Siapa lagi kalau bukan Wyllas. Angin berhembus setuju. Celaan dan tawa asamnya dapat terdengar dari sini. Mata Theo terasa panas, hati bagai dipenuhi api. Jahat, jahat, jahat. 

Theo tarik napas panjang, sangat panjang. "Atur amarahmu" Ayah bilang diantara sabetan pedang, Theo malah menjadi semakin marah. Jika ini adalah lelucon baginya maka akan Theo balas dengan lelucon juga. Jika Wyllas sangat ingin latih tanding maka itulah yang akan ia dapatkan. Akan Theo cat wajah tampan Wyllas merah, biru dan hitam.

Di perjalan para pelayang menghindari menatap mata Theo. Beberapa bahkan mengubah rute  agar tak berpapasan. Sampai di lapangan semua berusaha menghiraukan Theo. Ia melirik Wyllas yang masih bertarung lalu menghampiri Ser Antor. Dia berdiri dari istirahatnya, keringat menetes dari janggut putih panjang miliknya.

"Ada yang bisa saya lakukan Nona?" suara Ser Antor bagai dilumuri minyak.

"Aku butuh pedang, pelindung dan perisai. Nampaknya aku harus jadi pendekar" ujar Sang Putri. Ia berusaha mendinginkan suaranya sebisa mungkin.

"Tapi, Nyonya Ra-Isha-"

"Sudah mati" Ia potong. "Juga aku bukan gadis kecil lagi. Sumpahmu dengan Ibu memang penting, tapi aku lebih berharga dari itu bukan?"

Mata Ser Antor yang bagai batu mulai meleleh dan bergumam. "Demi leluhur, Nona sangat mirip dengan Lord Rovan" suaranya sangat kecil mungkin hanya mereka yang dengar. Saat setua Ser Antor semua perkara bakal mengingatkanmu tentang hal ini dan itu. "Dapat diatur Nona" lalu memerintahkan Garlan dan Penny untuk memenuhinya.

Tak lama kemudian mereka datang membawa pedang latihan, helm, pelindung dan perisai kayu. Rupanya keberadaan Theo menarik perhatian orang-orang. Ia dapat merasakan tatapan penasaran dari jauh dan dekat.

Penny membantunya memakai pelindung satu persatu yang mana Ia dapat mendengar Dia bergumam "Nona Donovan... Oldstone..." dengan samar, sisanya tak terdengar. Gadis ini selalu berbicara bagai membawa rahasia. Pelindung memeluk badan dengan ikatan erat, bagai tepukan di bahu dan punggung. Namun saat Theo menggenggam pedang tangan malah gemetar, ia genggam lebih erat, ini bukan waktu untuk itu.

Wyllas yang sudah penasaran dari tadi akhirnya berjalan mendekat, Dia selalu lambat dalam bertindak. Sebelum Dia membuka mulut Theo acungkan pedang latihan tepat di depan wajah yang akan ia hancurkan.

"Kuterima tantanganmu" ujar Theo menggelegar. "Lebih baik kau pakai helm" gumam datang dari segala arah, juga dari Wyllas.

"Apa maksudmu?" tanya Wyllas pura-pura bego, mungkin Dia memang bego. "Apa karena..." Wyllas bergumam lalu menoleh lalu menatap Theo, lalu menoleh lagi tapi sekarang dengan mata yang berbeda. "Tentu saja, selamat datang kembali Theo" Wyllas tersenyum bagai tahu sesuatu. Kau tak tahu apa-apa, angan Theo.

Orang-orang yang menonton membentuk lingkaran dengan tubuh mereka. Arena dari daging manusia. Beberapa bahkan bersorak seolah-olah ini adalah hiburan. "Nona Donovan! Nona Donovan!" terdengar juga "Tuan Florens! Tuan Florens!" mengiringi.

Wyllas dengan keras kepala atau sombongnya tak memakai helm. Theo tak pakai tapi Ia memang tak butuh, perisai pun tidak. Theo menatap Wyllas namun Dia tak berani balas menatap tetapi terus membaca kakinya. Dia takut, angan Theo. "Lawan yang takut akan menyerang hati-hati atau ceroboh" Ayah bilang, yang mana Wyllas? Tak perlu lama Theo bertanya karena jawaban Wyllas jelas ketika tiba-tiba Dia datang menyerang.

Sabetan Wyllas cepat dan keras tapi tak cukup untuk melewati Theo. Irama kayu menari mengisi udara diantara sorakan orang-orang. Jantung berdetak bersama irama pedang, untuk saat itu juga dunia hanya di isi mereka berdua. Wyllas membuat kesalahan dan membayar dengan sabetan di kepala. Dia mundur dan menggosok memar barunya.

"Sudah kubilang untuk pakai helm" Dia malah tertawa lalu mereka menari lagi. Irama berbunyi sama tak terlalu lama hingga Theo meleset dan membayar dengan sabetan yang sama. Ia berkedip, saat membuka mata disambut Ayah yang berdiri dengan mata penuh amarah dan pedang di tangan. Lengan Theo penuh dengan memar dan goresan setengah sembuh. Lalu Ia menyerang, menghindar, menyerang lagi. Hingga pedang Ayah patah dan orangnya terjatuh. Ia angkat pedang untuk mengakhiri ini. Ia berkedip, lalu saat matanya terbuka Ayah telah diganti oleh Theo yang merintih dan penuh memar.

"Cukup!" Ser Antor mengaum. "Dia sudah menyerah!" tangan-tangan menahannya di pinggang, di bahu, di kaki. Wyllas duduk di depan dengan pedang patah, pelindung pecah, wajah berdarah. Bagus, itu yang Theo inginkan. Ia dapat merasakan wajahnya basah, air mata mengalir di pipi hingga ke dagu dan jatuh ke tanah. Wyllas menghampiri dengan wajah khawatir dan berdarah.

"Kau tak apa?" ujar Wyllas seperti bagaimana Ibu berkata. Seharusnya bukan dirimu yang mengatakan itu! Dimana cengiran, hinaan dan leluconmu!? Seharusnya... Wyllas mengusap air mata di pipi lalu memeluk Theo, pelukan canggung namun hangat. Sehangat mentari pagi di musim panas.

***

Theo duduk mengamati bulan cembung dari jendela. Jendela cukup besar yang mana sering datang burung menyapa Theo saat bangun. Dulu di masa saat jendela itu terasa lebih besar Theo nekat ikut burung terbang. Rambutnya tersangkut di jendela sehingga hanya amarah dan nasehat yang Theo dapatkan. Menara putri adalah tempat paling bagus untuk melihat bintang dan bulan. Tak ada pohon yang menghalang dan "sudutnya pas" seperti kata Ibu. Saat malam cerah Ia sering menemaninya mengamati langit. Kertas dan lensa dan angka yang tak Ia pahami menemani mereka juga. Mereka bakal ngobrol tentang hal apapun, hal yang Theo tak pahami saat itu, hal yang Theo sesali saat ini. Tak pernah Theo temani hingga selesai sayangnya.

Ketukan di pintu membawa Theo kembali dari angan-angan. Ia berdiri melewati meja dengan pot kosong di atas dan menjawab ketukan. "Siapa?"

"Ini aku, aku hanya ingin bicara" nada suara Wyllas berbeda dari biasanya. Ia malu, mereka dilihat semua orang tadi siang. "Bisa aku masuk?" entah kenapa Theo dengan enggan membuka pintu. Dibalik pintu Wyllas berdiri kikuk dengan bunga di tangan. Sebuah anggrek baru mekar di dalam pot emas. "Seharusnya kukasih kemarin tapi..." Wyllas bergumam dengan bibir robek, hadiah dari Theo tadi.

"Anggrekku..."

"Ya ini untukmu, anggrek dari kebun Thoros. Nyonya Marissa membantuku memilih, mungkin bakal bagus jadi pasangan untuk anggrekmu yang satunya" hati Theo merosot, Ia tak pantas menerima ini. Tidak setelah apa yang ia lakukan padanya. "Jika kau menerimanya tentu saja" Theo mengangguk sambil menunduk. Pot emas lebih ringan dari yang ia kira. Ia pegang erat-erat agar tak lepas dan pecah.

"Terimakasih" suaranya serak. Saat Ia menatap wajah Wyllas dipenuhi luka sebagaimana Theo dulu hatinya tenggelam dalam rasa malu.

"Kalau begitu aku-" dia mulai undur diri.

"Tidak!" suaranya retak. "Tunggu disini sebentar, ayo masuk"

"Untuk apa?" tanya Wyllas.

"Untuk aku" Ia menarik tangan penuh memar lalu menutup pintu. Wyllas menunggu dengan kikuk, jari-jarinya sibuk menarik satu sama lain. "Duduk saja di kasur" Ia taruh anggrek Wyllas di samping pot kosong. Kenapa aku melakukan ini? Angan Theo.

"Ibu bilang tak baik untuk gadis sepertimu mengundang pria kedalam kamarnya" ujar Wyllas. Ibuku juga bilang begitu.

"Tapi kau tetap mengikuti ajakanku, kau tahu apa maksudnya bukan?" apapun itu. Wyllas merona semerah mawar. Ia duduk di samping Wyllas membelai luka di wajahnya. "Apakah masih sakit? Maafkan aku" Theo usahakan suaranya selirih mungkin.

"Aku pantas mendapatkannya, seharusnya aku tak bilang seperti itu tentang Ibumu. Aku bakal melakukan hal yang sama sepertimu" Wyllas tertawa kering, Theo juga. "Juga saat aku melihatmu dengan pedang jantungku berdebar seperti dulu" hatinya tenggelam lebih dalam kedalam penyesalan. "Jujur saja saat aku pertama melihatmu rasanya hidupku, untuk sekali saja, masuk akal" Theo ingat, mereka tak lebih dari bocah waktu itu. Bocah pemalu satunya lagi pemarah.

"Saat Ayah bilang dia punya rencana untuk membuatmu menjadi putrinya dunia ikut merayakan bersamaku" namun tidak untuk Theo, saat itu rasanya dunia menghina dan mencemooh. "Rencananya berubah sayang sekali. Ibu menangis hingga ke kubur saat kita menjadi saudara" lirih Wyllas serak, tapi dia tak menangis.

"Kau ingin itu kembali bukan? Ibu bilang pria tak akan lengkap tanpa wanita, juga sebaliknya" Ia genggam tangan hangat Wyllas. "Mari saling melengkapi" Theo mencondong untuk mencium dan dijawab oleh bibir robek Wyllas. Darah terasa ditengah rasa manis diiringi bunga mekar di dada. Wyllas mendorong Theo ke kasur namun Dia tak mengikuti. Wyllas berdiri membelakanginya.

"Kita tak boleh melakukan itu, ini tak benar" ujar Wyllas tanpa berani menatap. "Apa yang akan orang-orang katakan?" apa yang orang-orang katakan tak penting.

"Kau akan jadi Penguasa, dan aku jadi Nyonya. Apa yang orang-orang katakan tak berarti!" hanya bisikin tak lebih dari angin. Ia mencoba menggenggam tangan Wyllas tapi gagal.

"Tapi apa yang akan dikatakan Tuhan!?" Dia hanya cari alasan, Wyllas bukan orang yang beriman.

"Tuhan tak berkata apa-apa!" Theo memutar Wyllas agar menatap tepat di wajah. Mulut robeknya berkedut bersama mata yang tak mampu menatap. Theo menyenderkan bobotnya ke Wyllas. "Aku ingin kamu" dengan suara secentil yang bisa ia buat

"Tidak!" Tangan Wyllas mencengkeram bahu Theo menjauhkan dirinya. Tatapan Wyllas masih ke lantai. "Aku hanya, aku belum siap" Wyllas menatap Theo lalu mengecup keningnya dengan bibir robek. "Teman?" Theo mengangguk. Wyllas berjalan menjauh, sebelum sampai ke pintu Theo hentikan.

"Terimakasih untuk anggreknya, aku suka" dengan suara suara sehangat mungkin.

"Aku tahu kau bakal suka, aku tahu dirimu" Wyllas membuat senyuman terbaik yang bisa dibuat dengan bibir robek, dan tidak, dirimu tak tahu aku, tak lebih dari diriku. Lalu keluar dan menutup pintu.

Suara rengekan tangga dari luar bagaikan tawa ejekan dari kastil berhantu ini. Cepat atau lambat Ia benar-benar akan ditelan kastil ini hidup-hidup.

Theo ingin terbang...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top