2. Putri diatas menara
Anggrek milik Theo punya kuncup yang tak kunjung mekar. Ia sirami setiap hari, beri pupuk dan dilindungi dari hama. Pot tempatnya berdiam juga indah, terbuat dari porselen dihias lukisan.
"Mungkin tempatnya bukan disini, Nona" ujar Betha. "Maksudku, di pot akarnya pendek dan tanaman jadi kerdil. Sedangkan di tanah terbuka ia bisa tumbuh setinggi yang diinginkan"
Sang putri mempertimbangkan kata-kata si pelayan. Mungkin ada benarnya. Seberapapun ia ingin ketika bangun disambut bunga anggrek. Anggrek Theo pantas mendapat lebih baik.
"Kau benar, dia butuh kebebasan" Theo angkat pot anggrek dari meja di samping cermin. Tapi pindah kemana?
Halaman depan bukan tempat untuk bunga tapi pohon yang lurus, seragam dan berbaris dengan rapi. Lord Florens memastikan. Rumput pun harus seragam dan tak boleh lebih tinggi dari sol sepatu. Sayap utara dan selatan kastil juga sama. Bunga dan tanaman disana harus sejenis dengan warna yang sama. Jika ada bunga liar yang masuk pasti akan dipotong. Itu menyisakan halaman belakang, hutan keramat.
Sementara Theo sibuk dalam pikirannya, Betha selesai mengepang rambutnya. "Sudah selesai Nona!" Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulutnya bagaikan dilumuri gula.
Wajah di cermin sangat mirip dengan milik Ibunya. Terutama hidung dan pipi dan ketika Ibu tersenyum senyumnya bagaikan bunga mekar. Theo teringat kata-kata yang Ibunya sering katakan, kalimat favoritnya mungkin. "Setiap orang punya peran dalam hidup masing-masing" yang biasanya dibarengi dengan ceramah tentang tanggung jawab dan pelukan yang hangat dan kecupan di dahi.
Mata dan rambut Theo mengingatkan hal lain sayangnya. Pupil semerah mawar darah dengan rambut bagai dikecup bara api. Sangat mirip dengan Ayah. Lengkap dengan mata yang selalu nampak marah. "Elang tak boleh lemah" ujar Ayah sembari menyodorkan pedang untuk Theo. Kumisnya bakal bergoyang saat berbicara. Theo terima pedangnya tentu saja, itu adalah perannya.
"Nona menunggu apa?" lamunan Sang putri diakhiri oleh Betha. Lebih baik selesaikan ini sebelum waktunya latihan harpa.
Langkah menuruni tangga menara putri selalu diiringi rengekan kayu yang lebih tua dari kastil ini. Setiap Theo melangkah diiringi rengekan yang menggantikan kesunyian dengan kegelisahan. Seakan mereka memberi peringatan terhadap sesuatu yang akan terjadi. Theo tak bisa bahasa kayu sayangnya.
Sampai dibawah Theo disambut lorong dengan tembok gelap dan dingin bagai malam, namun mulus bagai sutra. Setiap beberapa langkah ditempatkan lentera dan vas yang berjejer teratur bagaikan penjaga. Cahaya bagai dimangsa dinding lorong dengan nafsu makan tak kunjung habis. Tak ada keramaian seperti lapangan tempat kesatria berlatih ataupun hiruk-pikuk dapur. Hanya suara rok Sang putri yang berkibar saat melangkah menemani. Bahkan langkah kaki Theo teredam karpet. Apapun untuk mendandani kastil tua ini, agar para arwah pergi. Lord Florens memastikan.
Theo berpapasan dengan penjaga mengenakan panji Florens -Menara emas ditengah dataran hijau- Klan Florens bukan pertama yang menduduki Oldstone. Sejak... sebelum Ayah lari setelah membunuh Raja Gaval ke enam. Semua ini adalah miliknya. Milik Lord Donovan tepatnya, meskipun. Seberapapun Ayah ingin penerusnya itu laki-laki, Theo yang ia miliki.
Semakin lama Sang Putri berjalan semakin banyak suara yang ia temui. Pelayan dan penjaga berlalu lalang melewati dan menghindari dirinya bagaikan hantu. Semakin banyak cahaya diiringi dengan suara manusia. Lalu Sang Putri berbelok ke tempat dengan paling banyak cahaya.
Halaman dipenuhi dengan ksatria dan debu dan keringat. Nyanyian pedang di baja dan besi bergema di telinga. Lukisan kehidupan seperti yang Theo bayangkan. Sang Putri melangkah ke tanah lapang. Menahan keinginan untuk berlarian hingga ke seberang lapangan mengejar dirinya yang dulu. Theo menghitung setiap langkah ia ambil, menikmati sensasi tanah dan mandi di bawah sinar matahari.
"Kenapa disini Putri?" kata-kata penuh jeruk asam menyambut kedatangan Sang Putri, ini baru 3 langkah. Wyllas datang menghampiri, menghadang perjalan Sang Putri. Dia memakai rompi pelindung, tanpa helm tentu saja. Dia tak butuh helm, Wyllas bilang sendiri. Lagipula tak ada yang bakal menyakiti satu-satunya penerus Lord Florens.
"Bawa apa?" Willas bertanya pertanyaan yang tak perlu. "Kau tak pernah tertarik dengan bunga sebelumnya" tambahnya. Dia masih berdiri menghalangi.
"Sekarang iya" jawab Theo. "Ini adalah bunga anggrek jika kau tak tahu" menambah pernyataan yang tak perlu. Jidat Wyllas mengkerut, selalu saja mengkerut saat melihat Theo. Padahal saat pertama bertemu kata-katanya penuh dengan manisan dengan jidat yang hanya kadang kala mengkerut.
"Sesi latih tanding mungkin, Theo?" Wyllas nyengir, hatinya berdebar seketika kenangan datang bergegas masuk. Ayah selalu jadi lawan tanding Theo. Sesi latihan berakhir sampai Ia memar atau Ibu menyudahi. Setelah itu Ibu merawat memar Theo dengan air hangat berbau jahe. Ketika Theo menjadi lebih baik hingga tak dapat memar Ayah mengubah aturan latihan. Kenai Ayah dan latihan disudahi. Setelah lama akhirnya Theo berhasil memasang memar pada ayahnya. Saat itu pula bibir Ayah membentuk senyuman, senyuman bangga.
"Tidak sekarang, permisi" jawab Sang Putri lanjut kembali berjalan dengan menghitung langkah. Ia berjalan memutari Wyllas. Setelah itu pedang latihan menghalangi jalannya, disodorkan oleh Wyllas tentu saja.
"Wajah itu dan suara itu lagi, kau... Kau dulu tak seperti ini" ujar Wyllas dengan suara tegang. Theo tak menatap wajah Wyllas dan menjawab dengan menyingkirkan pedang latihan tanpa banyak perlawanan. Setelah tiga langkah Willas kembali berulah. "Ini semua karena ibumu bukan?" Sang Putri tetap berjalan. "Wanita pelacur itu membuatmu bermain peran ini!" Theo berhenti berjalan, tangan mencengkeram pot hingga terasa hampir pecah. Saat ingin Theo melempar pot ini ke kepala Wyllas, memberinya pelajaran untuk memakai helm. Theo menarik napas panjang, sangat panjang. Lalu Sang Putri melanjutkan perjalanan melewati tatapan orang penasaran.
Hutan Keramat berada terpisah dari kastil, hanya tembok luar yang menyatakan keduanya adalah satu entitas. Melewati lorong tak berujung yang tidak redup dan tidak terlalu terang. Pohon di Hutan Keramat tinggi, tebal dan keras. Warnanya abu-abu dan berbau anyir. Dari sini Theo bisa melihat menara-menara kastil tinggi menjulang bagai jari-jari berusaha menggenggam matahari. Theo mengucap salam dan membungkuk saat masuk. Hutan Keramat pada dasarnya adalah makam. Jasad leluhur Theo dan leluhur mereka dimakamkan di bawah pohon-pohon ini. Budaya Garda Lama yang mana Theo bakal dapat plot dan pohon sendiri saat mati.
Senandung daun mati mengikuti langkah Theo dalam perjalanan menuju pohon milik Ibu. Melewati pohon menjulang tinggi dan tebal dan yang lebih kecil. Theo membungkuk setiap berpapasan dengan mereka. Terutama yang tinggi dan lebar. Ibu dan Ayah sering membawa Theo untuk berdoa dengan pohon tertua sebagai saksi. Kadang membawa sesajen yang kemudian dikubur dekat pohon.
Pohon milik Ibu masih muda. Lebih tinggi dari Theo namun batangnya tak setebal paha. Theo berhenti lalu membungkuk dan mengucap salam. Ia berlutut.
"Aku membawa hadiah untukmu Ibu" ujar Sang Putri. "Rawatlah dia sebagaimana dirimu merawatku"
***
Kuku Sang Putri masih terisi tanah meskipun sudah dicuci. Membuat tidak fokus saat memetik senar. Melodi satu-dua-tiga-tiga-dua-satu terasa aneh dan melelahkan. Sementara yang lain bermain bagai malaikat, ia bermain bagai pemula.
"Perhatikan yang benar Theo" ujar Nyonya Marissa sembari menggerakkan tongkat kecil di tangan seolah-olah mulutnya ada di sana. Lebih baik daripada menatap wajahnya yang penuh dengan bedak dan keriput.
"Ya, maaf" ujar Sang Putri. Ia bisa dengar cekikikan kecil, pasti dari Melissa dan Renne. Saat ia menoleh ke arah suara mereka terdiam.
"Mari lanjut lagi" ujar Nyonya Marissa mengetuk tongkat. Mereka bermain lagu Cinta Seorang Ibu buatan Theo O'dovar. Bahkan lagu pun menghinanya hari ini.
Melodi satu-dua-tiga-tiga-dua-satu yang terngiang-ngiang berubah menjadi pe-la-cur, pe-la-cur. Theo bakal memberinya pelajaran. Tanpa sadar ia bermain dengan nada yang salah. Ketukan tongkat di tangan menghentikan performa Sang Putri. Ia menatap wajah Nyonya Marissa dengan semua keriput dan bedaknya.
"Perhatikan yang benar, jangan salah fokus" ujarnya dengan nada khawatir. "Saya tahu anda punya potensi dalam musik" dan untuk apa potensi itu? "Kamu tak apa?" Nyonya Marissa membelai rambut Theo dengan cara yang sama seperti ibu. Theo berdiri meninggalkan ruangan tanpa menghiraukan harpa atau pertanyaan yang diucapkan. Diluar Pangeran Emas rupanya menunggu Theo, ia abaikan.
"Hei tunggu-" ia segel telinganya agar tak mendengar suara asam Wyllas. Ia percepat langkah namun terlambat dan tertangkap Wyllas. "Aku cuma mau-" Theo menampar Wyllas cukup keras hingga terhuyung ke belakang, ini tak cukup. Dia menatap Theo dan membuka mulut. Ia memelototinya sehingga yang keluar hanyalah teriakan lalu Wyllas terjatuh kebelakang. Theo berbalik berjalan menjauh berusaha membendung air mata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top