1. Pangeran musafir

Rashid rindu manisnya madu dan lembutnya sutra. Yang mana tak mungkin terpenuhi disini. Gurun Emas tidak penuh dengan emas melainkan pasir, pasir dan pasir. Tetapi matahari yang bersinar sangat cerah mengecat pasir dengan warna emas mentah, juga panas, panas yang cukup untuk membuat roti. Dan lonceng masih berdentang.

Tak terhitung telah berapa lama Ia mengarungi lautan pasir ini. Bukan tak ingat tetapi karena berhenti menghitung. Awalnya Rashid tak tersesat, ia bawa peta, roti putih, madu, daging asap, segelondong keju, sekantung air, sekantung koin dan kalung safir hijau. Tidak begitu lagi sekarang.

Petanya hilang karena badai pasir yang tiba-tiba datang, air habis, makanan juga habis. Setidaknya hujan tak turun. Koin-koin itu bisa dibuat berdagang dengan suku lokal disini tentu saja, itupun jika bertemu.

Mereka orang macam layang-layang putus, mengikuti kemana angin bertiup. Rencananya Rashid naik kuda, bertemu mereka untuk beli bekal dan ganti kuda terus ke Kota Rekka mengarungi gurun. Kudanya sudah mati, tinggal nasib yang sama menimpa dirinya. Biasanya orang mengarungi Gurun Emas dalam karavan, tidak, tak ada orang yang cukup bodoh melakukan itu, jalur laut lebih murah dan nyaman dibandingkan neraka ini. Tapi Rashid tak ada pilihan, hidup atau mati itu pilihannya.

“Harusnya dipikir lebih matang...”

Apa sebaiknya tetap di Rabbah? Rashid pikir. Rashid juga para Pangeran percaya Rabbah dapat menang melawan pasukan manapun. Tiga lapis dinding kota -Ammar, Shaliv, Yakash- tetap kokoh melawan persatuan suku-suku Gurun Emas hingga raja Gaval “Roadmaker”. Itu berubah saat dinding kedua jebol. Lonceng masih berdentang di kepalanya.

“Seharusnya ikut Ishan...” Dia tak disini tentu saja. Di Rabbah juga tak ada. Ishan mengikuti langkah Shentason Shenta mungkin lebih. Ini sudah 5 tahun, pasti setengah dunia dan lebih sudah dia langkahi.

Batuk tiba-tiba mencekik tenggorokan dan paru-paru terasa terbakar. Rashid berlutut, kakinya serasa dihisap kedalam pasir. Tak pernah Rashid berdoa, untuk Tuhan manapun tak pernah. Tapi untuk saat ini saja, jika Tuhan memang ada siapapun Dia. Tolong selamatkan hamba.

Dasar munafik, hanya saat mau mati jadi beriman.

Rashid terjatuh ke pelukan gurun. Pasir kasar serasa sehalus sutra. Tenggelam dalam ketiadaan.

***

Rashid mengintip melalui pintu coklat berbau kayu manis. Diseberang pintu ada balkon, anak laki-laki duduk di kursi dengan meja di depannya, membaca dengan tenang. Bagai lukisan, dapat Rashid kagumi selama berjam-jam. Pada akhirnya ketahuan juga, Ishan terkekeh lalu melambai mengundang Rashid.

Hanya ada satu kursi dan Ishan memaksa untuk duduk bersama jadi paha dan pundak mereka menempel. Rasanya nyaman bersama Ishan. Ingin Rashid menggandeng tangan Ishan yang tetap lembut meski mengayun pedang tiap hari. Rashid menyandarkan kepalanya di bahu Ishan.

“Shentason Shenta melangkah melintasi dunia dari Selat Kering hingga Kekaisaran Emas. Tak hanya itu, dia berhasil pulang! Membawa kekayaan dan kisah bersamanya” mata Ishan berkilau bagaikan mengalami kisah itu sendiri. Jadi ini artinya dengan buku kau bisa hidup seribu kehidupan.

Itu kisah yang bagus, luar biasa malah. Tapi buku itu tidak menceritakan hari-hari dimana Shentason Shenta terpaksa tidur di tanah, memakan makanan yang tidak enak, menghabiskan waktu di alam liar. Memang pergi ke tanah yang tak kau ketahui, mencicipi makanan mereka dan mencium gadis di sana cukup bagi sebagian orang. Tidak untuk Rashid, disini ia bisa tidur beralaskan sutra, makan makanan yang penuh rempah diatas piring perak. Untuk apa pergi jauh-jauh demi mencari kisah?

“Rashid, kau mau ikut?” tanya Ishan. Rashid mengangguk, tentu saja itu jawabannya. Senyuman Ishan secerah matahari.

Suara lonceng datang bagai badai datang menerjang, berdentang keras, sangat keras hingga Rashid harus menutup telinganya dengan kedua tangan. Sekali berkedip Ishan hilang siang pun menjadi malam dengan bau asap dan arang.

“Butuh bantuan? Atau ini yang kau inginkan?” Suara feminim dengan aksen asing membangunkan Rashid dari ketiadaan. Rashid belum menghilang ternyata, dirinya masih ada. “Butuh bantuan?”

“Ya, tolong...” suaranya serak dan menjijikkan. Dengan sisa tenaga Rashid membalikkan badannya dan membuka mata disambut bulan yang melotot menyambut dirinya. Dan topi jerami mengikuti.

“Minum” air pemberian Nona topi jerami rasanya manis bagaikan madu, Rashid minum hingga tetes terakhir. “..terima” kasih itu yang Rashid ingin katakan, tenggorokannya bagaikan penuh pasir. “Jangan ngomong” Dia menyodorkan satu lagi. Rashid malu menghabiskan air orang lain seperti ini.

Rashid duduk menghadap penyelamatnya. Nona topi jerami punya senyum menyejukkan dan mata menghangatkan. Ada dua kuda di belakangnya, abu-abu dan coklat menikmati angin malam -yang tak seperti siang- menyegarkan. Dan disampingnya, sebuah tongkat berdiri kokoh bagai pohon ditengah kubangan air. Rashid menatapinya hingga Nona topi jerami mengingatkan kondisi mereka.

"Lebih baik sekarang?" Ujar Nona topi jerami. Dari aksennya bisa ditebak dia orang Suyyen. Rashid pernah bertemu mereka. Biasanya sebagai pedagang atau petualang dan tak pernah ditengah gurun seperti ini.

"Ya, terima-kasih, Nona?"

"Shuuyi Shenta dari Suyyen" Nona Shuuyi membungkuk sedikit khas gaya orang Suyyen.

"Nona Shuuyi" Rashid menegapkan diri. "Saya Rashid Yakash dari Rabbah bersumpah akan membalas budi kebaikan anda" Rashid mengangkat satu jari ke dahi lalu ke dada.  Gestur Rashid dibalas dengan tawa kecil oleh Nona topi jerami. Mungkin Rashid sedikit berlebihan.

"Tolong jangan berlebihan, aku hanya lewat. Lagipula Rabbah? Anda dari sana? Mengapa bisa sampai disini?" Ku bertanya hal yang sama tentangmu, Rashid pikir. Itu tak penting sekarang, hujan bisa turun kapan saja. Langitnya cerah tak berawan namun awan bisa bergerak.

"Perang, itu yang terjadi" Rashid merosot. "Aku beruntung bertemu dirimu"  mengingat apa yang terjadi beruntung terasa terlalu karim. Bagaimana jika Rashid menunggu lebih lama atau mengambil rute yang berbeda? Apa nasibnya jika triknya tak bekerja?

"Aku turut berduka" ujar Nona Shuuyi dengan lembut. "Tapi bukannya Rabbah, kau tahu" kata-kata Nona Shuuyi tersendat entah karena batasan bahasa atau hati. Rashid setidaknya paham apa yang dimaksud.

"Aku juga berharap itu, tapi aku melihat dengan mataku sendiri tembok kedua jebol dan aku lari" namun lonceng mengikuti. Ia tak menunggu jawaban, tak ada yang perlu dikatakan.

Mereka duduk dalam diam hingga Nona Shuuyi mendekat dan memeluknya. Hanya pelukan, bau rempah asing menyelimuti tubuh Nona Shuuyi dan pelukannya sehangat selimut bulu. Mereka begitu untuk beberapa saat, dan pada masa-masa itu lonceng berhenti berdengung di kepalanya.

Nona Shuuyi juga membagi bekal bawaannya. Daging asap, keju dan kurma. Nona Shuuyi komplain bagaimana kurma yang dia beli tak semanis yang penjual janjikan. Rashid makan dengan rakus hingga makanannya habis sebelum ia menyadari. Daging asapnya sangat lezat, kejunya gurih, dan kurmanya semanis madu.

"Kupikir seleramu bakal lebih sulit untuk dipenuhi" ujar Nona Shuuyi sambil makan.

"Gurun dapat merendahkan ego siapapun, raja maupun gembel" apalagi jika kotamu tak pernah jatuh meskipun kekaisaran yang ditempatinya sudah jadi debu sejak dulu. Sekarang bara terakhir Kekaisaran Lama telah tiada.

"Nona mau kemana sebenarnya?" tanya Rashid. "Pertemuan kita betapapun luar biasa... tak seharusnya terjadi" seharusnya Rashid tak bertemu siapapun.

Nona Shuuyi menjawab dengan tatapan yang panjang. Matanya hijau zamrud, saat menyipit tatapannya setajam silet. Tetapi mulutnya tersenyum.

"Mungkin dewa menginginkannya" jawab Nona topi jerami. Dewa yang dia sembah mungkin Bunda Suyye, yang bersemayam di sungai Suyye diatas istana terapung. "Aku juga punya tempat yang ingin kutuju" tambahnya.

Nona Shuuyi nampak lebih muda dari Rashid tapi anehnya terasa lebih tua. Dengan kerutan dibawah mata dan caranya bicara. Auranya seperti orang-orang kuil.

"Tujuanku adalah Rabbah tapi sepertinya itu akan berubah" ujar Nona Shuuyi. "Tujuanmu kemana?"

"Kita bisa pergi ke kota Rekka, cukup keselatan pasti sampai" usul Rashid. Juga kota Rekka ada cabang Bank Yakash jadi setidaknya mereka tak perlu mengemis untuk uang. "Lebih baik mulai berkuda sekarang, kita bisa sampai saat fajar"

"Aku bertanya tentangmu, bukan kita" jawaban Nona Shuuyi berhembus bagai angin dingin. Rashid lupa ini bukan Rabbah.

"Tapi Rekka pilihan yang bagus, aku ingin melihat Putri Tenggelam" ujar Nona Shuuyi. "Juga kita akan berkuda saat fajar" itu adalah perintah.

"Tapi bagaimana jika turun hujan?" makhluk mati di pasir. Berjalan saat basah, berhenti saat kering.

"Tak akan"

***

Rashid tiduran di alas pemberian Nona Shuuyi menatapi genangan air dan tongkat yang berdiri kokoh ditengah. Entah sejak kapan itu dibuat hingga kini tak kering juga. Rashid pikir airnya bakal keruh tapi ternyata jernih dan manis.

"Tidak bisa tidur?" tanya Nona Shuuyi tanpa menoleh dari buku di pangkuannya. Cahaya bulan cukup terang untuk melihat wajah satu sama lain tapi tak cukup buat membaca. Lentera menerangi buku-buku bawaan Nona Shuuyi.

"Ya" Rashid duduk menghadap Nona Shuuyi. Siapa dia sebenarnya? pikir Rashid. Dia bawa dua kuda tapi hanya butuh satu. Awalnya dia tidak sendirian, Rashid tebak.

Nona Shuuyi datang sejauh ini lewat daratan meskipun laut lebih cepat dan aman. Sejauh ini menuju Rabbah, untuk apa? Apa dia punya keluarga atau teman? Lebih baik tanya orangnya langsung.

"Nona kenapa datang jauh-jauh kesini?" tanya Rashid.

Nona Shuuyi menoleh dari buku dan menjawab dengan mata menghakimi. Namun Dia melepas mata itu dengan cepat.

"Hanya mengikuti langkah leluhurku. Nama belakangku Shenta jika kau lupa" dia kembali ke buku-bukunya. Nona Shuuyi nampak tak berniat untuk melanjutkan percakapan. Jawaban itu cukup untuk Rashid.

Rashid kembali tiduran dan menutup mata. Kembali ke dengungan lonceng...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top