09][Surat Untuk Raka
Raka seakan mau mati
-------------
"Mati aku!" umpat Raka spontan ketika selesai membaca surat dari Sesha. Tadi sebelum ia berangkat ke kampus, tiba-tiba Mas Abdul menghampirinya dan menyerahkan amplop cokelat kepadanya. Setelah membaca nama pengirim surat itu, Raka mendadak lemas. Ia tak menyangka jika Sesha kembali membalas suratnya. Sebenarnya Raka berniat untuk tidak membuka surat itu sampai kapan pun. Ia malah berniat membuangnya karena ia yakin surat itu akan membuatnya pusing dan bingung. Tapi ternyata rasa penasaran mengalahkan segalanya.
Suasana kalas yang tadinya hening menjadi semakin hening karena umpatan Raka. Kini seisi kelas melirik ke arahnya. Tak terkecuali Darryl, dosen yang tengah duduk di mejanya.
"Mati kenapa, Raka?" tanya Darryl.
"Mati aku," kata Raka lagi, menyadari bahwa sekarang dia dalam masalah karena sudah berisik di dalam kelas. Ia melipat surat yang tadi dibacanya dan menyelipkan surat itu ke dalam saku celana jinsnya. "Mati itu ... Pak. Itu ... saya salah masukin rumus," balas Raka cengar-cengir. "Maaf, Pak."
Darryl hanya menggelengkan kepala, lalu kembali fokus dengan tumpukan tugas di hadapannya. Setelah yakin bahwa dosennya itu tidak memperhatikan, Raka menoleh ke arah Gian dan Prima yang berada di samping kirinya. Kedua temannya itu menatapnya penasaran.
"Surat dari Sesha," kata Raka hanya dengan gerakan bibir. "Baca." Raka mengeluarkan kembali surat yang berada di saku celananya dan memberikannya kepada Gian.
Sebelum Gian sempat membuka lipatan kertas itu, Prima menyambarnya. Lalu ia membuka lipatan surat tersebut dan membacanya dalam hati.
Besok Minggu gue samperin lo di Semarang. Gue tunggu di bioskop Citra XXI Semarang jam 1. Awas aja lo nggak dateng, gue samperin lo di kost!
-Sesha Lutha
"Wah beneran meninggalkamu, Ka!" bisik Prima seraya menoleh ke arah Raka.
"Nah kan. Mati aku," kata Raka lemas.
Gian terkikik geli melihat sahabatnya kebingungan. "Asik, mau diajakin nonton tuh, Ka."
"Nggak mungkin," balas Raka.
***
"Gimana ini? Masak dia mau nyamperin ke Semarang." Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya menatap bingung surat dari Sesha yang berada di meja di hadapannya. Bukannya Raka sudah bilang untuk tidak membalas surat darinya? Ini kenapa malah Seshanya sendiri yang mau datang ke Semarang? "Aku harus gimana?" Raka mendongak dan menatap kedua temannya yang duduk di kursi di hadapannya. Berharap mereka berdua memberinya solusi ampuh untuk mengatasi kebingungannya ini.
"Ya nggak gimana-gimana," jawab Prima santai seraya meminum es teh pesanannya.
"Udah sih, Ka. Temuin aja dia. Kali aja cakep." Gian tersenyum lebar yang membuat Raka berdecak sebal.
"Aku kan nggak kenal sama Sesha."
"Ya nanti kenalan, Ka. Repot banget toh hidupmu."
"Ngomong sih gampang, Yan," balas Raka lesu. Lalu ia kembali mengamati surat dari Sesha. Tulisan tangan Sesha rapi, tidak seperti tulisan tangannya yang mirip sandi rumput. Dan hal ini entah kenapa membuat Raka membayangkan bahwa Sesha itu gadis yang cantik dan pintar. Tapi meskipun begitu, Raka tetap tak ingin bertemu dengan Sesha.
"Ka, ayo nanti futsal," seru seseorang dari arah belakang Raka. Seketika Raka menoleh. Dilihatnya Adam tengah berjalan ke arahnya dengan semangkuk bakso di tangan dan segelas es teh di tangan satunya. Lalu cowok itu mengambil duduk di sebelah Raka.
"Nggak ah," balas Raka lesu. Ia masih kebingungan dengan kabar Sesha yang mau ke Semarang untuk menemuinya.
"Nanti tanding sama Mas Jojo dan teman-temannya."
"Males, Dam. Aku tuh, lagi pusing." Raka benar-benar tak peduli dengan olahraga itu. Yang ada di otaknya sekarang adalah bagaimana caranya untuk menghindari Sesha.
"Minum obat, Ka," jawab Adam santai seraya menusuk bakso di hadapannya. Lalu ia menoleh ke arah Prima. "Ayok Prim. Futsal?"
Prima menggeleng. "Nanti aku ada jadwal ngelesin."
"Gian?"
"Nggak ah, takut menang nanti nggak enak sama yang diajakin tanding," jawab Gian santai.
"Yan, sini sekali-kali tak guyur kuah bakso. Kali aja kamu jadi mendingan," kata Adam gemas yang dibalas Gian dengan cengiran lebar. Prima tertawa mendengar candaan itu. Sepertinya hanya Raka seorang yang tak peduli. Karena sekarang cowok itu tengah memeras otak sambil memandangi surat Sesha. Berharap menemukan solusi secepatnya.
***
Sudah beberapa hari Raka gelisah. Ia jadi susah tidur dan mendadak galau tak keruan. Dan semua itu efek dari surat Sesha yang mengatakan bahwa hari ini dia akan datang ke Semarang untuk menemuinya. Sekarang, Raka tengah kebingungan. Antara mau pindah kost apa pindah planet sekalian. Dirinya tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi Sesha ini.
"Kamu sih, sok-sokan balesin suratnya Sesha. Puyeng sendirikan sekarang?" Prima yang tengah tiduran di kasur Raka melempar pandangan kepada sahabatnya itu yang tengah gelisah, mondar-mandir di kamar.
"Dulu Gian yang pertama kali nyuruh, Prim," kata Raka tak terima disalahkan. "Lagian aku mana tahu kalau Sesha itu bakalan datang ke sini." Raka akhirnya duduk manis di pinggiran kasurnya. Tapi beberapa detik kemudian ia berdiri dan kembali mondar-mandir.
Gian tertawa melihat Raka yang sedang gugup. Ia tak pernah melihat sahabatnya itu kewalahan seperti sekarang. Dan rasanya sangat lucu melihat tingkah Raka ini.
"Terus gimana, Ka? Mau nyamperin ke bioskop apa nunggu disamperin ke kost?" tanya Gian seraya terkekeh.
"Aku ngungsi ke tempatmu ya, Prim." Raka mengabaikan pertanyaan Gian dan menatap Prima dengan tatapan memohon. Ia tak ingin menemui Sesha di bioskop. Juga tak ingin ditemui Sesha di kostnya.
"Nggak bisa. Aku ada acara keluarga di rumah Tanteku, Ka."
"Gian, ke tempatmu, ya?" Raka berbalik dan memandang Gian yang tengah asik memakan kuaci di meja belajar Raka.
"Ngapain ke tempatku? Wong akunya di sini," balas Gian tersenyum jahil ke arah Raka. "Ke bioskop aja, yuk?"
Dengan kesal Raka melemparkan baju kotor yang berada di kaki ranjang ke arah Gian yang langsung mengenai kepalanya. Gian melirik Raka kesal. Prima yang menonton kejadian itu langsung tertawa.
"Temuin Sesha aja, Ka. Kasihan dia udah jauh-jauh dari Jakarta mau ketemu kamu malah mbok tinggal minggat." Prima bangkit dari posisi tidurnya dan duduk di pinggiran tempat tidur.
"Tapi kalau dia pengennya ketemu Raka yang lain gimana?" tanya Raka.
"Ya udah bilang aja, adanya Raka Triando. Kalau nggak mau sama Raka Triando, suruh pulang aja," sahut Gian cengengesan.
"Kamu tuh mbok ya serius dikit sih, Yan. Wong temen lagi bingung dibecandain terus," sungut Raka. Ia kembali duduk, di sebelah Prima.
"Bener omongan Gian, Ka. Udah sana siap-siap. Kasihan kalau Sesha nunggu." Prima berdiri dari posisi duduknya, lalu menepuk pundak Raka. "Good luck, brother. Aku tak pulang sekarang. Dari tadi diwasapin Valen terus disuruh balik."
"Nah, ayo tak anter ke bioskop." Gian tersenyum lebar dan terlihat sangat bersemangat.
Raka menghela napas panjang. Pikirannya melayang membayangkan semua hal buruk yang akan terjadi jika ia bertemu dengan Sesha. Dan kemungkinan terburuk yang bisa ia bayangkan adalah kena gampar. Di surat saja Sesha sudah marah-marah tak keruan. Apalagi ketemu langsung. Tamat riwayat Raka.
---------
[15.03.2018]
Btw aku mau bagi-bagi dedikasi di setiap part buat pembaca yang rajin vote dan komen. huehhehe
Makasih buat kalian yang udah mampir!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top