9- Godaan
Pukulan demi pukulan aku terima dengan sukarela, kali ini aku tak mau jadi jagoan, tubuhku terkapar.
Pandnagan kasihan nampak aku terima dari yang lainnya.
"Apa apan! Jangan liat sini!" amuk para centeng mengusir mereka.
Kaki dengan sendal kulit menginjak wajah kananku, hingga aku mencium tanah.
"Opo isek wani, kowe (ama masih berani kamu)." Tak inggin membuat semua jadi kacau, aku mengerang lemah, berucap pastrah, "mboten (ngak)."
Tawa mereka mengelgar, aku tak mau terjadi apa apa pada diriku serta anak istriku jika aku mati disini.
Mas, pulang. Dek.
Terbayang wajah senang istriku menyambut kepulanganku dengan anak kami yang lahir, bayangan indah untuk keluarga kecil kami ini.
Aku sudah pasrah kali ini mendaptkan hajaran dan pukulan hingga semua nampak menyakitkan.
* * *
Sapto berjalan dengan sombong ia melangkah begitu tenang saat ini dia tengah mangkal jalanan setapak biasanya orang melintasinya untuk ke pasar, Sapto tengah menunggu seseorang yang lama tak ia jumpai.
"Sih, Ningsih!" teriak Sapto mengecar Ningsih dengan berlari kecil.
Senyum Sapto merekan melihat pujaan hatinya, yang harus kalah oleh manusia rendahan baginya bernama Bejo.
"Baru dari mana ini?"
Ningsih tersenyum sopan, "dari pasar mas, ini beli bumbu buat masak."
Sampto melirik barang apa saja yang masuk dalam anyaman nya, "kau cuman beli itu saja?"
Terlihat jahe, serta bawang sebagian besar didapat dari pasar.
Ningsih menagngguk,, "iya cuman ini," Ningsih terenyum paksa, ia menangapi Sapto, sejak kecil orang itu selalu mengangunya, bukannya ia buta tak pernah tahu isi hati Sapto, tap ia tak menyukai tabiatnya.
Dengan enteng Sampto menole lengan Ningsin, "bajumu cuman ini, Sih?" tanyanta merendahkan.
Ningsih melihat pakainnya, bagi ia tak ada yang salah dengan kutu baru yang ia kenakan saat ini.
Pakainnya memang kusam, ada beberapa bagian yang sobek dan perlu di tambal, Ningsih bersingkut malu.
"Ndak papa, mas. Ini yang aku punya," sahut Ningsih menimpali dengan perasaaan tak nyaman.
"Kok ya iso ta, kamu nyaman pakai pakaian begitu, apa gam malu." Ledek Sapto lagi mengompori Ningsih, makin lama ia mendengar omongan sapto ada benarnya juga.
"Kamu masih muda, cantik. Masa mau sama Bejo."
Ningsih melempar senyum formalitas untuk Sapto, "ndak papa, mas. Aku permisi dulu ya," pamit Ningsih ngacir.
"Sih! Kalau mulai bosan bisa bilang aku, nanti tak kawin kamu jadi istriku yang ke enam." Teriak Sapto dari kejauhan.
Sapto geleng geleng kepala, "gendeng, masih istri orang aja cantik apa lagi jadi istriku." Kekeh Sapto menatap pinggung Ningsih berlenggok begitu tercetak dari kain jarik ia kenakan.
Ningsih buru buru memasuki dapur, tempat sehari harinya ia melakukan pekerjaan sedemikian rupa.
Ningsih kembali terpikir omongan Sapto sembari mengupas bawang merah, sesekali pikirannya melayang tak tentu arah.
"Lek aku kaya, pasti mas Bejo ndak bakal marah sama aku kalau beli ikan. Apa tak kerja juga ya, tapi apa?" ujarnya sembari melamun.
"Awuhh," ia merintin, mendapati luka ditangannya, segera ia berlari ke belakang menbuka air pancuran dari gendi, membasuh semua lukanya disana.
Ia terus mengosok goresan lukanya terasa perih cukup kuat hingga lecet.
Omongan tentang dirinya dari Sapto membuatnya kepikiran, "arggh! Sudah, aku capek." Gerutu Ningsih hampir basah sebagian bajunya, memilih membiarkan bahan masakannya yang ingin ia buat hari ini, ia enggan menyentuh bahan masakan, mungkin tak mempedulikan Bejo nantinya makan apa.
"Aku benci miskin." bisik Ningsih lirih sebelim matanya terpejam mengistirahatkan dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top